Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Buka Jilbab di Bandara: antara Keamanan dan Diskriminasi
12 April 2017 11:19 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Aghnia Adzkia diminta membuka hijabnya di Bandara Ciampino Roma, Italia. Begitu pula Saama Sarsour di Bandara Arvidsjaur Swedia, Enaas Sarsour di Bandara Washington AS, dan puluhan perempuan muslim berhijab lain di seluruh dunia yang mungkin ceritanya tak tertangkap media.
ADVERTISEMENT
Kasus Aghnia, melewati perspektif berbagai kejadian yang lain, menjadi tidak spesial.
Alasan di balik peristiwa-peristiwa tersebut adalah keamanan bandara. Anda tentu belum lupa bahwa peristiwa penabrakan dua pesawat ke menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, 16 tahun lalu yang dikenal dengan serangan 9/11, membawa konsekuensi tak terbantahkan bagi kehidupan muslim di dunia.
“Teror bukanlah kepercayaan Islam yang sesungguhnya. Islam bukanlah soal teror. Islam adalah soal perdamaian. Teroris-teroris ini tidak merepresentasikan Islam. Mereka merepresentasikan kejahatan dan peperangan,” ucap George W. Bush, enam hari setelah serangan 9/11 terjadi.
Bush saat itu menegaskan bahwa yang ia incar lewat jargon War on Terror adalah teroris, bukan Islam itu sendiri. Islam, kata Bush waktu itu, tak pernah sama dengan terorisme.
ADVERTISEMENT
Namun 16 tahun kemudian, sulit untuk percaya apa yang dikatakan Bush adalah kebenaran. Amerika dan aksis War on Terror-nya kerap gagap membedakan Islam dan terorisme dalam aksi-aksi pengamanan di berbagai lini bawah kehidupan.
Kegagapan untuk membedakan Islam dan teroris setidaknya kentara pada proses pengamanan di bandara.
Membawa memori kelam soal robohnya gedung WTC yang mengakibatkan hampir 3.000 jiwa melayang belasan tahun silam, pengamanan bandara dan segala macam moda aviasi terus diperkuat. Ini beralasan, sebab sejak peristiwa 9/11 pada September 2001 itu, telah terjadi 8 usaha pengeboman dan 17 peristiwa pembajakan pesawat di seluruh dunia.
Akibat dari rentetan teror tersebut adalah lahirnya Aviation and Transportation Security Act (ATSA), undang-undang yang dikeluarkan kongres Amerika Serikat untuk membentuk peraturan keamanan udara yang lebih canggih dan rumit. Hasilnya, pada 19 November 2001, terbitlah Transportation Security Administrastion (TSA).
ADVERTISEMENT
Kesan keterlibatan keamanan yang eksklusif sangat kentara dalam TSA tersebut. Apabila pada awal pembentukannya ia berada di bawah agensi eksekutif yaitu Federal Aviation Administration, lewat Homeland Security Act (2002) ia menjadi ranah kerja Departemen Keamanan Nasional.
Transportation Security Administrastion (TSA) bertanggung jawab dalam regulasi dasar atas musabab keamanan penerbangan, mulai pengamanan bandara hingga penerbangan. Semula, keamanan bandara dan penerbangan diserahkan kepada maskapai masing-masing.
Prosesi pemeriksaan keamanannya pun awalnya tak muluk-muluk. Hanya melalui screening sebelum check in dengan menggunakan tenaga kontrak swasta.
Namun itu tak lama. Setelah TSA muncul, prosesi keamanan menjadi kewenangan pegawai dan pejabat federal AS. Peraturan yang sama juga mewajibkan pemeriksaan 100 persen terhadap barang bawaan penumpang, perluasan layanan Federal Air Marshal atau polisi udara, dan penguatan sistem ruang kokpit.
ADVERTISEMENT
Aturan TSA ini, meski pada awalnya dikeluarkan secara eksklusif oleh AS, menjadi tolak ukur standar pengamanan aviasi dunia. Hampir seluruh industri penerbangan kini merujuk ke aturan tersebut, dengan standar pengamanan penumpang yang terdiri dari beberapa tahapan, yakni screening technology dengan metal detector dan X-ray, pat-down screening, screening bagasi, dan standar TSA Pre✓® Screening.
Aturan tersebut juga mewajibkan pelayanan di meja tiket untuk mempertanyakan beberapa hal kepada penumpang, seperti: 1) apakah ada benda yang penumpang bawa telah berada di luar kontrol penumpang tersebut setelah ia mengemasnya, dan 2) apakah ada seseorang yang tidak penumpang tahu telah meminta penumpang membawa sesuatu barang ke kabin pesawat.
ADVERTISEMENT
Penumpang juga diharuskan untuk melewati detektor metal dan memeriksa barang bawaan mereka di bawah sensor sinar-X sebelum memasuki pesawat. Setelah fase inilah penumpang, terutama yang memakai penutup kepala, biasa mendapati perlakuan "tak menyenangkan" itu: dianggap berbahaya untuk penerbangan hanya karena memakai hijab, niqab, burka, atau turban.
Pertanyaan yang kemudian menyeruak ke permukaan adalah: apakah beberapa lapis screening tersebut benar-benar berasaskan keamanan ataukah sebuah bentuk diskriminasi?
Sebelum menjawab hal tersebut, rasanya kita perlu membaca guideline dari TSA terlebih dahulu terkait hal yang memang sensitif ini.
Dalam regulasi TSA yang mengatur soal pat-down screening, petugas diperkenankan untuk menguji apakah ada barang-barang yang dilarang atau barang-barang lain yang mungkin mengancam keamanan transportasi udara.
ADVERTISEMENT
Pat-down screening --yang harfiahnya berarti pemeriksaan dengan meraba, dilakukan ketika alarm screening berbunyi pada pemeriksaan awal. Namun tidak sebatas itu, pat-down screening juga bisa dilakukan tanpa harus ada alarm berbunyi dari screening teknologi sebagai bentuk pemeriksaan acak (random check), juga pemeriksaan lebih lanjut.
Aturan tersebut secara jelas mengatakan, orang bisa saja diberikan pat-down screening walaupun sudah melewati TSA Pre✓® passengers screening.
Lalu, apa yang boleh dilakukan petugas dalam pat-down screening ini?
Langkah-langkah yang boleh dilakukan petugas adalah memeriksa bagian kepala, leher, lengan, tubuh, kaki, dan telapak kaki. Itu, situs TSA menekankan, termasuk memeriksa penutup kepala dan area sensitif seperti payudara, selangkangan, dan pantat.
TSA juga menyatakan, penumpang bisa menyesuaikan busana yang dipakai ketika proses pat-down screening berlangsung, yang secara garis besar memperbolehkan petugas meminta calon penumpang membuka jilbabnya. Hal tersebut, tentunya, dilakukan oleh petugas yang berjenis kelamin sama dengan calon penumpang, dan berlangsung di tempat privat.
Lalu di mana letak diskriminasi dalam peraturan TSA tersebut?
ADVERTISEMENT
Biasanya, orang yang merasa diperlakukan secara diskriminatif oleh aturan keamanan bandara adalah orang-orang yang memakai penutup kepala --yang menurut Fiyas Mughal, direktur lembaga swadaya masyarakat Faith Matters yang berbasis di Inggris, mengenakan atribut yang terlihat dari luar.
Itu berarti, orang-orang yang mengenakan hijab, niqab, dan burka lebih kerap menjadi target pat-down screening lanjutan.
Masalah muncul ketika orang-orang yang mengenakan penutup kepala tersebut menjadi target racial profiling. Racial profiling adalah sebuah cara pemilihan target pemeriksaan yang dilakukan secara bias, hanya berbasis hal-hal yang sebetulnya tak ada hubungannya dengan keamanan --meski petugas sering berdalih dengan menyebutnya random checking.
ADVERTISEMENT
Islamofobia tercipta karena narasi "Islam bukanlah teroris" yang gagal digalakkan oleh Bush, dan justru aksi invasi terhadap Timur Tengah-nya yang semakin melanggengkan asosiasi teror dengan wajah Islam.
Sementara itu, fobia kaum liyan sudah tercipta terlebih dahulu, yang sebelas-dua belas dengan pandangan orientalisme: keyakinan (dan imaji) bahwa orang selain keturunan Eropa adalah orang-orang yang eksotik, terbelakang, tak beradab, dan karena itu berbahaya.
Pada dasarnya, screening dalam pemeriksaan keamanan bandara diperbolehkan oleh hukum apabila "dirasa diperlukan". Aturan tersebut juga mensyaratkan tak ada diskriminasi dalam proses pemeriksaannya. Penumpang dengan penutup kepala sudah diberikan hak untuk diperiksa di ruangan tertutup, dengan petugas yang berjenis kelamin sama. [Baca: ]
ADVERTISEMENT
Namun begitu, keadaan di dunia nyata kadang tak seindah dimensi peraturan. Frase "dirasa diperlukan" tersebut sering kali menjadi basis racial profiling. Ia kerap menargetkan perempuan Islam berhijab, yang kepala dan rambutnya tertutup kain untuk menutup apa yang dinamakan sebagai aurat.
Meski begitu, ternyata tak hanya perempuan yang menjadi korban. Laki-laki Singh yang memakai turban juga sering menjadi target racial profiling tersebut.
Lagi-lagi, fobia terhadap beberapa agama tertentu dan pandangan orientalisme menjadi gambaran fenomena petugas-petugas yang getol memeriksa perempuan berhijab, sedang suster-suster perempuan diperbolehkan melenggang tanpa diperiksa apa yang ada di balik kain penutup kepalanya --seperti yang dirasakan oleh Aghnia . [Baca: ]
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh penumpang dengan keadaan dunia yang sedemikian tak idealnya?
ADVERTISEMENT
Saadia Faruqi, seorang hijabi yang kerap diundang menjadi pelatih petugas keamanan bandara di AS, meminta kepada orang-orang yang merasa akan jadi sasaran empuk racial profiling, untuk: 1) berangkat ke bandara lebih awal, 2) bersabarlah, karena petugas kerap hanya melaksanakan prosedur perintah atasan, dan 3) mendorong perubahan kebijakan lewat jalur konstitusional.
Pertanyaannya: apakah cara-cara tersebut ideal dan benar dilakukan?
Menurut Mussurut Zia dari Jaringan Perempuan Muslim Inggris: jelas tidak. Baginya, stereotip soal orang Islam yang pasti terorislah yang harus diubah.
“Kita semua harus punya tanggung jawab dalam menghancurkan mitos dan stereotip ini,” ucapnya lantang.
Jadi, lawan?
Sebelum keburu emosi, mari dengarkan ucapan Duta Besar Indonesia untuk Italia, Esti Andayani. Alangkah baiknya, kata dia, jika semua warga negara bersikap tenang dan berkepala dingin. Jangan langsung tersinggung apabila mengalami pemeriksaan ketat di bandara-bandara Eropa, terlebih benua itu belakangan dilanda teror beruntun.
ADVERTISEMENT
"Memang situasi dunia sedang tidak aman. Siaplah jika dipegang-pegang kepalanya (untuk diperiksa di bandara). C'est la vie (itulah kehidupan). Saya juga kadang mengalaminya. Paling nggak enak waktu di bandara New Delhi, kami yang perempuan disuruh masuk ke ruangan tertutup dan diraba seluruh tubuh. Saya nggak suka, tapi aturannya begitu," ujar Esti, mencoba memahami.
Saling memahami satu sama lain, dan mencoba melihat dari perspektif yang berbeda. Itulah yang diminta Esti --agar perdamaian dapat terwujud.