Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tiket yang ia yakini akan datang, tak jadi mampir sampai hari terakhir.
ADVERTISEMENT
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo gagal menyempurnakan gerilya politiknya dengan maju sebagai calon presiden. Nama besarnya, yang dikarbit selama setahun terakhir, tak mampu meyakinkan 11 partai pengusung untuk berpindah dari duel dua seteru lama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Meski gagal maju, nama Gatot sebetulnya tak pernah jauh-jauh amat dari bursa capres-cawapres. Bersama Anies Baswedan, Gatot selalu muncul sebagai sosok alternatif di luar dikotomi Jokowi-Prabowo. Sosoknya juga populer dalam isu politik lima tahunan: konservatisme agama, kebangkitan PKI, dan neokolonialisme.
Popularitasnya yang meningkat itu terlihat dalam temuan berbagai lembaga survei nasional . Dalam survei yang dilakukan Poltracking, Populi Center, Polcomm Institute, Median, hingga Indo Barometer dari Januari hingga Mei, nama Gatot hanya kalah dari Jokowi dan Prabowo soal elektabilitas.
ADVERTISEMENT
Safari politik dan temu politisinya pun tak putus-putus. Pertemuan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR cum Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Gerindra Prabowo, hingga Presiden RI ke-6 yang juga Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, jadi bukti bahwa ia tak main-main.
“Tunggu saja. Politik ini masih cair, belum final. Semua belum ada yang pasti. Yang pasti itu tanggal 10 (Agustus) jam 23.59,” ujar Gatot usai bertemu Zulkifli Hasan, awal Mei lalu.
Bahkan, hingga dua hari terakhir sebelum masa pendaftaran capres/cawapres berakhir, nama Gatot masih beberapa kali berseliweran dalam opsi-opsi darurat partai politik.
Ketua DPP PKB Ida Fauziyah, misalnya, di tengah berlangsungnya Musyawarah Pimpinan Masional PKB, Kamis (9/8), menyebut opsi poros ketiga dengan mengusung pasangan Gatot-Cak Imin masih terbuka. “Suasana tegang, antarsatu dan lain ada pandangan yang bertolak belakang.”
ADVERTISEMENT
Namun, seperti kita semua tahu, opsi tersebut urung diambil. Hingga pukul 23.59 WIB 10 Agustus 2018, tak ada satu partai pun yang menyebut nama Gatot Nurmantyo dan mengusungnya sebagai calon presiden.
Yang jadi pertanyaan: apa yang salah dari manuver Jenderal Gatot beberapa bulan belakangan?
Dalam setengah tahun terakhir, ada beberapa upaya yang sebenarnya telah ditempuh oleh Gatot Nurmantyo. Opsi pertama, mendekat ke koalisi Gerindra sebagai sosok pengganti Prabowo. Cara ini gagal.
Gerindra yang tak mau suara dalam Pemilu Legislatif 2019-nya terancam merosot, menolak memberikan kursi capres ke orang luar partai. Prabowo harus tetap maju untuk memberikan coattail effect ke partainya.
Gagalnya upaya tersebut membuat opsi membuat poros ketiga menjadi paling mungkin buat sang Jenderal. Betul, Gatot sebenarnya mungkin menjadi cawapres Jokowi. Secara data matematis berbagai survei, pasangan sipil-militer itu pun cocok. Gatot dinilai mampu menjadi solusi atas persepsi publik bahwa Jokowi lemah dalam soal ketegasan dan religiusitas.
ADVERTISEMENT
Namun, agaknya kedua pihak senada dalam penolakan. Kursi RI 2 bukan pilihan buat Gatot. Sementara, orang-orang terdekat Istana berang betul dengan tindak tanduk Gatot yang merongrong wibawa Jokowi saat ia masih menjadi panglima.
Maka, poros ketiga diupayakan. Sampai minggu lalu, volatilitas di koalisi kedua belah kubu masih amat tinggi. PAN, PKS, dan Demokrat tak berhasil satu suara sampai menit akhir soal cawapres Prabowo. Sedangkan PKB yang sampai Kamis sore masih terdesak dengan menguatnya nama Mahfud MD, terang-terangan mengancam keluar dari koalisi.
Pendekatan dilakukan. Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais sempat mengakui Gatot adalah calon alternatif yang paling siap April lalu. Bahkan, ia juga menyebut ayahnya, Amien Rais, telah bertemu Gatot dan menyadari bahwa melejitnya nama Gatot bisa jadi adalah refleksi kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, situasi berubah dua bulan setelahnya. Dradjad Wibowo, Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN, dua hari sebelum deadline pencalonan capres-cawapres, mengatakan bahwa kemungkinan poros ketiga terbentuk hampir pasti tumpas. PAN tak yakin Gatot akan mampu mendapatkan partai pengusung sejumlah 20 persen kursi DPR RI.
“Mas Gatot mengatakan akan bisa mengajak Golkar dan beberapa partai lain. PAN mengatakan, ‘Oke, tunjukkan kalau memang ada riil partai-partai yang mendukung, kami akan pertimbangkan,’” ujar Dradjad kepada kumparan, Rabu (8/8).
Jawaban skeptis tersebut, menurut Dradjad, wajar saja. Dradjad menyadari mengajak partai dengan kekuatan massa yang nyata untuk mendukung --dan menyerahkan kursi capres-cawapres pada orang luar-- bukanlah hal mudah. Setiap partai sudah tentu mau mengajukan kader sendiri untuk mengerek pendapatan suara di pemilu legislatif.
ADVERTISEMENT
“PAN ingin tahu, benar nggak ada partai (di belakang Gatot). Mas Gatot kan bukan orang partai,” kata Dradjad.
Alasan yang sama mencuat dari blok PKS dan Demokrat. Direktur Pencapresan DPP PKS Suhud Alynudin mengatakan, penjajakan agar PKS mengusung Gatot memang sempat terjadi. Meski begitu, sama seperti PAN, ia mengaku opsi tersebut berat, sebab negosiasi dengan partai poros baru akan sama alotnya dibandingkan dengan koalisi Prabowo.
“Kami juga bilang, kami ini cuma 7 persen. Tidak mungkin kami mengusung tanpa keterlibatan partai lain,” ujar Suhud kepada kumparan, Sabtu (11/8).
Demokrat juga demikian. Sumber dari internal Partai Demokrat menyebut komunikasi dari pihak Gatot memang sempat dilakukan. Demokrat ditawari opsi Gatot-AHY, dan diberi pemahaman bahwa sudah ada partai yang bersedia mengusung Gatot di belakang.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti halnya PKS, Demokrat meragukan kemungkinan partai mengusung Gatot.
Partainya mana?
Ada, dua. Tapi yang satu minta wakil presiden.
Nah, itu masalahnya. Bagaimana kalau kami juga minta kursi wapres?
Jelas-jelas Demokrat punya AHY yang dibawa ke mana-mana.
Menurut sumber yang sama, opsi untuk mengusung Gatot penuh ketidakpastian. Demokrat juga menolak klaim sumber internal Gatot bahwa SBY dan Gatot sempat bertemu sehari sebelum masa pencalonan berakhir guna membahas kemungkinan mengusung Gatot.
“Jawab dulu pertanyaan itu (partainya mana?) Kalau tidak, ngapain ketemu?”
Kesan kurangnya pengalaman dalam lobi-lobi yang dilakukan kelompok Gatot juga terlihat dari testimonial kubu PKB. Terkait munculya opsi Gatot-Cak Imin di Rapat Pimpinan Nasional PKB (8/8), Wasekjen PKB Daniel Johan menjelaskan opsi tersebut dimunculkan karena keinginan dari dewan pengurus wilayah, bukan karena lobi kuat kelompok Gatot.
ADVERTISEMENT
“Dengan Pak Gatot nggak ada komunikasi apa-apa,” ujar Daniel.
Sumber lain dari PKB mengamini hal tersebut. Menurutnya, PKB --selain karena alasan bahwa koalisi Jokowi lebih menjanjikan-- menganggap upaya Gatot untuk mencalonkan diri tidak terlihat cukup serius.
“Kalau pun ada pendekatan, yang didekati cuma elitenya saja. Tapi elite saja nggak yakin dia maju. PBNU juga tidak mau Gatot,” ujar sumber tersebut.
10 Agustus berlalu. Gatot dipastikan tak bisa ikut serta dalam Pilpres 2019. Menanggapi hal itu, salah satu kelompok relawan terbesar Gatot Nurmantyo, Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN), mengaku mafhum dengan perkembangan politik yang ada.
“Itulah politik, tiap menit bisa berubah. Sampai sekarang RSPN menunggu arahan Pak Gatot Nurmantyo,” ujar Sumiarsi, Ketua Umum RSPN, kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
RSPN, sampai sehari sebelum deadline pendaftaran, masih yakin poros ketiga dapat terbentuk dan Gatot melenggang sebagai capres. “Pak SBY itu condong ke Pak Gatot, tapi mungkin terganjal (presidential threshold) 20 persen,” sambung Sumiarsi.
Walau begitu, Sumiarsi yakin langkah Gatot tak akan terhenti oleh kegagalannya masuk arena Pilpres 2019. RSPN, menurutnya, dalam waktu dekat akan melahirkan partai politik sendiri.
“Desakan dari daerah, sudah pasti bikin partai. Kami akan minta beliau sebagai pembina,” aku Sumiarsi soal masa depan RSPN. Ia menganggap, langkah yang sudah jadi opsi di Rapimnas RSPN April lalu ini menjadi jalan keluar atas situasi saat ini.
“Karena beliau sekarang ini kan mengalami, partai dan pemiliknya itu kan dominan. Jadi beliau dengan prinsip-prinsipnya, (kalau tidak) di dalam partai tampaknya tidak bisa diterapkan.”
ADVERTISEMENT
Sampai jumpa lain waktu, Jenderal Gatot.
Simak selengkapnya dalam tautan di bawah ini: