Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Hamas-Ikhwanul Muslimin: Peta Pertarungan Politik Ganas Timur Tengah
13 Juni 2017 10:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
“AS memandang Hamas sebagai organisasi teror. Tapi bagi sebagian negara Arab, ia adalah gerakan perlawanan yang sah. Kami tidak mendukung Hamas, kami mendukung rakyat Palestina.”
ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan jelas dalam sebuah wawancara dengan Russia Today ketika berkunjung ke Moskow, Sabtu (10/6).
Hamas ialah salah satu organisasi teror yang disebut Aliansi Saudi (sekutu kental AS) didukung oleh Qatar, dan mendapat suplai dana dari sejumlah orang yang memiliki kaitan dengan Qatar. Dan karena alasan itulah Aliansi Saudi memutus hubungan diplomatik dengan Qatar.
Selain Hamas, Saudi memukul rata tiga organisasi lain, melabeli mereka dengan sebutan teroris. Ketiganya ialah ISIS, Al-Qaidah, dan Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood).
Dari empat organisasi tersebut, Hamas dan Ikhwanul Muslim segera memprotes, tak terima disamakan dengan ISIS dan Al-Qaidah.
ADVERTISEMENT
Pemimpin senior Hamas, Musa Abu Marzouk, menyatakan bahwa gerakan Hamas yang berbasis di Gaza murni demi rakyat Palestina.
“(Gerakan Hamas) tetap diarahkan bagi Palestina dan Yerusalem, serta untuk persatuan nasional rakyat Palestina,” ujar Marzouk di Beirut, Lebanon.
Ia menegaskan, “Seharusnya tak ada satu orang pun berbeda dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. Senjata kami semata-mata diarahkan pada musuh, yakni Zionis (Israel) yang akan terus kami tolak keberadaannya.”
Hamas sejak tahun 2007 memerintah Gaza --daratan berupa jalur kecil yang ditinggali 2 juta orang Palestina, dan dalam kondisi nyaris lumpuh karena berada di bawah blokade Israel selama satu dekade.
[Baca juga: Bank Sentral Bahrain Bekukan Aset terkait Qatar ]
Mengakhiri dukungan untuk Hamas dan Ikhwanul Muslimin. Itulah syarat Arab Saudi kepada Qatar bila hubungan diplomatik hendak dipulihkan.
ADVERTISEMENT
“Kami menganggap (dukungan untuk Hamas dan Ikhwanul Muslimin) ini tidak baik. Qatar harus menghentikan kebijakan tersebut sehingga dapat menjaga stabilitas Timur Tengah,” kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, seperti dilansir Al Jazeera.
Dengan memberikan dukungan kepada Hamas dan Ikhwanul Muslimin, Qatar dinilai berupaya meruntuhkan otoritas Palestina dan Mesir.
[Lihat juga: Daftar Pendukung Teroris versi Arab Saudi ]
Ikhwanul Muslimin, kekuatan oposisi di Mesir, kerap tak disukai pemerintah Mesir, termasuk penguasa saat ini, Presiden Abdul Fattah as-Sisi yang berasal dari militer.
As-Sisi ialah mantan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir yang pada 2013 berperan dalam kudeta terhadap presiden Mesir sebelumnya, Muhammad Mursi, Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and Justice Party). FJP didirikan Ikhwanul Muslimin pasca-Revolusi Mesir 2011 --gerakan yang mengakhiri 30 tahun kekuasaan Presiden Hosni Mobarak.
ADVERTISEMENT
Kudeta terhadap Mursi itu “direstui” oleh Saudi dan Uni Emirat Arab.
[Baca juga: Gas Alam Qatar, Sumber “Kedengkian” Arab Saudi ]
Mursi, setelah dikudeta di tengah ketidakstabilan ekonomi negara, diadili dan dijatuhi setumpuk dakwaan. Ia dituding melakukan spionase atau kegiatan mata-mata untuk kelompok militan luar negeri seperti Hamas (Palestina), Hizbullah (Lebanon), dan Garda Revolusi Iran; serta dituduh membocorkan dokumen rahasia negara kepada Qatar.
Jaksa Agung Mesir menyebut perkara Mursi sebagai “kasus spionase terbesar dalam sejarah Mesir.” Ia mengatakan, organisasi internasional Ikhwanul Muslimin, dengan bantuan Hizbullah dan Hamas, adalah dalang atas kekerasan di Mesir.
Mursi sempat dijatuhi vonis hukuman mati, dan hal tersebut langsung diprotes Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Erdogan mengkritik pemerintah Mesir, sekaligus menyebut negara-negara Barat bermuka dua alias munafik.
ADVERTISEMENT
“Sementara Barat menghapus hukuman mati di negara-negara mereka, mereka kini hanya menonton Mesir menjatuhkan vonis mati (tanpa berbuat apa-apa),” ujar Erdogan.
Juni 2016, pengadilan tingkat kasasi membatalkan hukuman mati atas Mursi atas tuduhan spionase, dan akan meninjau dua tuduhan lain yang dijatuhkan padanya terkait dugaan peran dia dalam pencurian dokumen rahasia untuk pemerintah Qatar.
[Baca juga: Qatar vs Saudi: Semua yang Perlu Anda Tahu ]
Tak cuma Mursi yang tersudut, tapi juga Ikhwanul Muslimin. Anggota senior IM, Ibrahim Mounir, menyebut pemerintah Mesir “totaliter” dan IM akan bertahan “dengan pertolongan Tuhan” apapun kondisinya.
Ikhwanul Muslimin yang didirikan cendekiawan Mesir Hasan al-Banna pada 1928, memiliki riwayat fluktuasi tajam sepanjang perkembangannya, dengan sejumlah rekam jejak berhadapan dengan pemerintah, hingga beberapa kali dilarang karena dianggap berbahaya dan dituduh terlibat upaya kudeta.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, Ikhwanul Muslimin yang memiliki misi menegakkan syariat Allah, berkembang menjadi organisasi Islam terbesar dan berpengaruh di dunia pada abad ke-20, dan secara luar biasa dapat bertahan hingga kini.
Pola kerja IM yang mengkombinasikan aktivitas politik dengan kegiatan amal Islam, berhasil membuatnya meraup dukungan luas di dunia Arab, dan menjadi inspirasi bagi kelompok Islam lain seperti Hamas di Palestina --yang berdiri pada 1987 setelah Intifada Pertama pecah di Palestina.
Intifada, pemberontakan Palestina melawan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza, berlangsung Desember 1987 sampai 1991-1993. Intifada inilah yang menjadi awal kemunculan Hamas --yang disebut sebagai cabang Ikhwanul Muslimin Mesir karena dibentuk oleh Sheikh Ahmed Ismail Yassin yang aktif di IM Palestina.
ADVERTISEMENT
Yassin disebut mendirikan Hamas sebagai kepanjangan tangan politik Ikhwanul Muslimin di Palestina, dan organisasi itu dengan cepat mendapat simpati luas dari rakyat Palestina.
Sejarah Hamas, yang mau-tak mau berkelindan dengan Ikhwanul Muslimin, menjadi tambahan masalah bagi IM.
Pada 2015, Ikhwanul Muslimin sudah dicap sebagai organisasi teroris oleh sejumlah negara di dunia, termasuk negara-negara Arab seperti Suriah, Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negerinya sendiri tempat ia tumbuh --Mesir.
Sebelumnya, tahun 2003, Mahkamah Agung Rusia lebih dulu melabeli Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris dan menuduhnya mendukung pemberontak Islam yang ingin mendirikan negara Islam di utara Kaukasus.
Awal tahun ini, Januari 2017, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menyebut Ikhwanul Muslimin dan Al-Qaeda sebagai “agen Islam radikal” --sebuah penyebutan yang langsung dikritik oleh Human Rights Watch karena dinilai tak tepat.
ADVERTISEMENT
Bulan berikutnya, Februari 2017, New York Times melaporkan bahwa Presiden AS Donald Trump mempertimbangkan untuk memasukkan Ikhwanul Muslimin ke dalam kategori organisasi teroris.
Rencana Trump tersebut ditentang Human Rights Watch dan The New York Times. Dalam editorialnya, The New York Times menekankan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kumpulan gerakan, dan organisasi itu secara keseluruhan tak sesuai diberi predikat “teroris”.
“Sementara IM memperjuangkan masyarakat yang diatur oleh hukum Islam, ia sudah lama meninggalkan kekerasan, mendukung pemilu, dan telah menjadi organisasi sosial dan politik,” demikian tulis The New York Times.
Pengkategorian Ikhwanul Muslimin sebagai teroris organisasi tak hanya ditentang Human Rights Watch dan The New York Times, tapi juga Amnesty International, Council of American-Islami Relations, American Civil Liberties Union, dan The Wall Street Journal.
ADVERTISEMENT
Direktur Human Rights Watch, Kenneth Roth, menyatakan, jika Ikhwanul Muslimin dicap sebagai kelompok teror oleh Trump, maka hal tersebut hanya akan memuluskan penindasan yang diduga dilakukan pemerintahan as-Sisi di Mesir.
[Baca juga: Qatar Terjepit Kobar Api Perseteruan Saudi-Iran ]
Pada akhirnya, perbedaan sikap terhadap Ikhwanul Muslimin membelah negara-negara Arab menjadi dua kubu. Kubu pertama menolak penggolongan IM sebagai organisasi teroris oleh Trump. Mereka yang berada di kubu ini ialah Qatar, Turki, dan Tunisia.
Februari 2017, dalam wawancara dengan media milik Saudi berbasis di Dubai, Al Arabiya, Erdogan membela Ikhwanul Muslimin, mengatakan tak menganggapnya sebagai organisasi teroris karena “belum melihat aktivitas bersenjata dari mereka.”
[Baca juga: Di Balik Keputusan Erdogan “Bentengi” Qatar ]
ADVERTISEMENT
“(Ikhwanul Muslimin) bukan kelompok bersenjata, tapi organisasi ideologis. Kami belum melihat ada tindakan mereka yang mengindikasikan (keterkaitan dengan teror). Jika mereka terkait terorisme, tentu tak akan ada toleransi untuk Ikhwanul Muslimin di Turki,” ujar Erdogan yang diwawancarai saat berada di Riyadh, Saudi.
Ia menekankan, “Memperlakukan IM sebagai teroris bukan hal yang tepat untuk dilakukan.”
[Baca juga: Donald Trump, sang Berandal di Krisis Qatar-Saudi ]
Sementara kubu kedua yang anti-Ikhwanul Muslimin dan dengan demikian berada di sisi Trump ialah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Kubu kedua ini kemudian bertambah, dan bersama-sama memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.
Terbelahnya jazirah Arab terlihat pula dari pemberitaan media mereka atas Trump. Trump banyak diberitakan negatif dan dibenci media Qatar, sebaliknya disambut hangat dan dipuji-puji media Saudi dan UEA.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: Al Jazeera Terhantam Krisis Qatar-Saudi ]
Menghadapi tudingan Aliansi Saudi, Ikhwanul Muslimin membantah tudingan organisasi teror. Dalam pernyataan resmi di website mereka, IM menuntut Saudi untuk tak terus mendukung Presiden Mesir as-Sisi.
Dengan berada di belakang rezim as-Sisi, Ikhwanul Muslimin menyebut Saudi “mempertaruhkan kredibilitas Kerajaan karena menyerang gerakan Islam moderat yang diwakili IM.”
Ikhwanul Muslimin juga berang karena selama ini mereka merasa terus berupaya memertahankan hubungan baik dengan rakyat dan pemerintahan negara-negara Teluk.
Hamas tak kalah kesal. Organisasi itu terkejut dengan tuntutan Aliansi Saudi kepada Qatar untuk menghentikan dukungan bagi mereka.
“Hal ini mengagetkan rakyat Palestina,” kata Hamas dalam pernyataan resminya.
ADVERTISEMENT
Mediterranean Affairs menyebut, sejak berdiri pada akhir 1987, Hamas dengan perlahan dan bertahap mengonsolidasikan serta meningkatkan posisi dan kewenangannya di Jalur Gaza.
Hamas menggelar kegiatan sosial untuk membantu masyarakat, misalnya membangun klinik, sekolah, dan badan amal, serta memberikan perawatan kesehatan gratis. Mereka membangun reputasi dengan baik, dan dipercaya rakyat karena dinilai jujur.
Fatah yang didirikan pada 1958-1959 oleh Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (Organization for the Liberation of Palestine; PLO), merupakan tulang punggung perjuangan bersenjata Palestina melawan Israel sebelum Fatah terbentuk.
Fatah, yang kini dipimpin Mahmoud Abbas, bertujuan mendirikan Negara Palestina di atas wilayah konflik Israel-Palestina. Secara teknis, Fatah ialah faksi terbesar dalam PLO.
Saat ini Fatah menguasai Tepi Barat, sedangkan Hamas yang dipimpin Perdana Menteri Ismail Haniyeh menguasai Jalur Gaza.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Kesepakatan Oslo 1993, pihak yang diakui Israel sebagai tim negosiasi mewakili rakyat Palestina ialah PLO (Fatah). PLO kemudian membentuk badan administratif sementara, Otoritas Nasional Palestina, untuk menjalankan fungsi pemerintahan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Itu sebelum Jalur Gaza diambil alih oleh Hamas pada 2017. Kini setelah pengambilalihan Gaza, wilayah Palestina terbagi dua secara politik: Tepi Barat dalam genggaman Fatah, dan Gaza dalam cengkeraman Hamas.
[Baca juga: MUI Kritik Raja Salman Atas Sanksi untuk Qatar ]
Hamas kemudian memenangkan pemilu di Palestina. Walau begitu, pihak yang diakui internasional sebagai otoritas Palestina resmi ialah Fatah.
Hamas yang lahir dari sebuah kampanye militer melawan Israel, tumbuh menjadi kelompok independen dan muncul di garis depan perlawanan bersenjata terhadap Israel --menggantikan peran Fatah yang tak lagi garang.
ADVERTISEMENT
Sepak terjang Hamas yang agresif menyerang Israel dan dengan demikian dinilai menghambat proses perdamaian, membuatnya “dihadiahi” label organisasi teror oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Pada 2003, Hamas secara resmi dimasukkan Uni Eropa ke dalam daftar kelompok teroris, setelah organisasi itu mengklaim bertanggung jawab atas rangkaian serangan ke Israel selama Intifada Kedua mulai tahun 2000.
Desember 2014, Pengadilan Uni Eropa memerintahkan agar Hamas dihapus dari daftar kelompok teroris. Namun Maret 2015, Uni Eropa memutuskan untuk tetap menempatkan Hamas dalam daftar hitam terorisme, dan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Uni Eropa.
Hingga 2017, Hamas tetap tercantum dalam daftar organisasi teroris. Ia bahkan kini tak hanya disebut teroris oleh Uni Eropa, tapi juga oleh Aliansi Saudi yang dibekingi AS.
ADVERTISEMENT
Dan Qatar yang menolak menyebut Hamas dan Ikhwanul Muslimin teroris, harus menerima risiko atas pilihan politiknya.