Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Halim Perdanakusuma, prajurit Angkatan Udara Republik Indonesia dan pejuang kemerdekaan, wafat sebelum sempat melihat anak semata wayangnya.
ADVERTISEMENT
Saat pesawatnya jatuh di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia, 14 Desember 1947, putra Halim masih dalam kandungan.
Sang putra kemudian diberi nama Ian Santoso, sesuai keinginan Halim. Ian adalah sahabat karib Halim saat ia bertugas di Royal Canadian Air Force pada awal Perang Dunia II.
“Ian gugur dalam suatu serangan besar-besaran terhadap Jerman,” kata Halim kepada istrinya, Kussadalina, dalam perjumpaan terakhir mereka, sebelum ia gugur dalam tugas.
Ucapan Halim itu tertuang dalam biografinya, Halim Perdanakusuma, karya Drs. M. Soenjata Kartadarmadja terbitan Widjaya Jakarta pada 1980.
Halim pergi ketika usianya baru seperempat abad, 25 tahun.
Manusia tak bisa menerka takdir yang digariskan semesta.
“Ibu jarang cerita (soal ayah),” kata Ian, putra Halim, saat menerima kunjungan kumparan di kediamannya, Pondok Indah, Jakarta Selatan, bulan lalu.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, Ian kemudian mengikuti jejak sang ayah. Ia memilih karier militer, masuk TNI AU, dan menjadi penerbang.
Pilihan Ian menjadi penerbang sempat ditentang sang ibu, yang ditinggal mati Halim di usia amat muda.
“Dia sebenarnya takut saya jadi pilot. Ibu khawatir,” kata Ian, mengenang.
Tapi apa boleh buat, Ian kadung jatuh cinta dengan dunia penerbangan.
“Saya memaksa. Saya bilang ke ibu, saya pokoknya mau jadi pilot,” ujarnya.
Meski Ian tak mengenal Halim dan tak tahu langsung sepak terjang sang ayah, bukan berarti ia tak mengenalnya sama sekali.
Paman Ian yang merupakan adik Halim, Makki Perdanakusuma, menceritakan kisah-kisah heroik Halim kepadanya. Kebetulan, Makki pun penerbang Angkatan Udara.
Seperti Halim, Makki ialah salah satu dari deretan penerbang pertama yang dimiliki TNI AU setelah Indonesia merdeka.
ADVERTISEMENT
Dari Makki, Ian mengenal sang ayah, sekaligus dunia kedirgantaraan dan penerbangan. Tak heran ia memilih jalan hidup serupa dengan Halim.
Ian di kemudian hari bahkan menduduki jabatan cukup penting, sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis TNI.
Hidup terus berjalan, roda terus berputar.
Ibunda Ian, Kussadalina, juga menata hidup dan berupaya bangkit dari kesedihan selepas ditinggal pergi Halim.
“Setiap pagi, ibu mengajar anak-anak di belakang rumah,” kata Ian.
Kussadalina menyibukkan diri, membuka sekolah gratis untuk rakyat di halaman rumah. Ia mengajar banyak gelandangan, tanpa dibayar.
Kussadalina juga menjadi salah satu pengurus di Yayasan Pembinaan Anak Cacat. Ia melakukan seabrek aktivitas sosial, melayani negeri dengan caranya sendiri.
Enam tahun setelah kepergian Halim, Kussadalina membangun keluarga baru.
ADVERTISEMENT
“Ibu menikah lagi. Dia masih sangat muda saat itu,” ujar Ian.
Walau begitu, sosok Halim tak pernah lekang dari ingatan.
Ian masih ingat betul lagu yang setiap hari disenandungkan ibunya sejak ia kecil.
You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are grey
You never know, dear, how much I love you
Please don’t take my sunshine away
Jangan lewatkan rangkaian kisah Halim:
Wisnu Prasetiyo & Ulfa Rahayu