Jerat Ujaran Kebencian Berbalut Kebebasan Bicara

23 Mei 2017 13:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Freedom of speech cartoon (Foto: Flavorwire)
zoom-in-whitePerbesar
Freedom of speech cartoon (Foto: Flavorwire)
Wajah Indonesia dinodai coreng kebencian. Ungkapan dan celotehan sarat permusuhan acap kali dilontarkan seseorang atau kelompok tertentu kepada mereka yang tak sepandangan. Kasus ujaran kebencian (hate speech) pun tak jua surut, malah cenderung meningkat.
ADVERTISEMENT
Tahun 2015 misalnya, sekelompok penggemar klub sepak bola Persija (Jakmania) bertikai dengan kelompok pendukung Persib (Bobotoh) pada ajang Piala Presiden 2015. Kala itu, Persija sudah tereliminasi di penyisihan.
Ujaran kebencian merebak ketika Bobotoh melempar tagar #MakanyaMasukFinal. Tagar tersebut lantas dibalas oleh Jakmania dengan #KatanyaMilitan --maksud hati menyindir Bobotoh yang berangkat ke Jakarta dengan bantuan transportasi dari Ridwan Kamil.
Tak berhenti sampai tagar #KatanyaMilitan, JakMania kembali melontar tagar #TolakPersibMainDiJakarta yang membuat api emosi tersulut makin besar.
Ujaran kebencian yang wara-wiri di media sosial itu lantas berujung pada rusuhnya Piala Presiden. Kedua kelompok pendukung saling tendang-serang. Sebanyak 30 orang lebih terluka, termasuk polisi, suporter, dan sopir bis.
Ujaran kebencian sesungguhnya sudah mendapat perhatian sejak 2011, hingga akhirnya pada 8 Oktober 2015, surat edaran bernomor SE/6/X/2015 dikeluarkan dan kemudian dikirimkan ke seluruh kepolisian sektor dan resor di Indonesia.
Surat Edaran Kapolri. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Surat Edaran Kapolri. (Foto: Dok. Istimewa)
Surat edaran tersebut menyebutkan bahwa ujaran kebencian adalah segala tindak tanduk dalam bentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, serta penyebaran berita bohong yang memiliki tujuan dan bisa membuahkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, hingga konflik sosial.
ADVERTISEMENT
Ujaran kebencian ditujukan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/ kelompok tertentu seperti suku, agama, aliran kepercayaan, keyakinan, ras, golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Ujaran kebencian bisa melalui beragam media seperti spanduk, orasi, unggahan media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa, hingga pamflet.
Surat edaran tersebut sesungguhnya telah melalui beberapa kajian terdahulu yang didasarkan pada deretan kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia seperti peristiwa Sampang, Cikeusik, Tolikara, dan Aceh Singkil.
Konteks yang melatarbelakangi penerbitan surat edaran tersebut menjadi dasar tegas untuk meminimalisasi hingga menihilkan ujaran kebencian yang mampu menyulut dampak sosial yang besar dan merugikan.
Namun, surat edaran tersebut menuai pro-kontra, antara lain disebut sebagai salah satu bentuk pengekangan pemerintah terhadap kebebasan berpendapat, terutama ihwal kritik pemerintah. Padahal, ujaran kebencian dan kebebasan berbicara tentu memiliki tujuan dan dampak berbeda.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi ujaran kebencian. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ujaran kebencian. (Foto: Pixabay)
Hate speech is not free speech,” kata Senior Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Mugiyanto Sipin, kepada kumparan (kumparan.com) di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (15/5).
Ujaran kebencian (hate speech) dan kebebasan berbicara (free speech) sering kali susah dibedakan, lebih tepatnya dicampuradukkan. Banyak pelaku ujaran kebencian yang lantas berlindung di balik justifikasi kebebasan bicara. Padahal, keduanya jelas berbeda dan memiliki dampak berbeda pula.
Berikut sejumlah aturan yang mengatur ihwal ujaran kebencian di Indonesia:
1. Pasal 156 KUHP
Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
ADVERTISEMENT
2. Ayat (1) Pasal 157 KUHP
Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3. Pasal 310 ayat (1), (2) dan (3) KUHP
1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
ADVERTISEMENT
2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
4. Pasal 311 KUHP ayat (1)
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Aturan-aturan tersebut memberi batasan guna mengatur setiap kata yang keluar dari mulut rakyat. Sayangnya, tak ada distingsi jelas yang dicantumkan dalam hukum tersebut. Tak ada variabel jelas yang digunakan untuk mengategorikan apa yang dianggap sebagai ujaran kebencian dan kebebasan bicara.
ADVERTISEMENT
Tak berbeda jauh dengan polemik yang dihadirkan oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung banyak pasal karet, pasal yang mengatur tentang ujaran kebencian pun kerap kali terlalu licin.
“Sekali lagi, hate speech is not free speech. Itu sudah mesti tegas. Ketika aku bilang, “Bunuh dia!” atau “Dia kafir” dan kafir di kepala orang itu adalah halal darahnya, nah itu sudah hate speech, karena mengandung seruan atau ajakan untuk bertindak. Itu sudah bukan free speech,” kata Mugi.
Ujaran kebencian menjadi salah satu kasus yang mendapat perhatian besar dan perlu diusut hingga tuntas. Pasalnya, ujaran kebencian bisa berdampak besar bagi sebuah sistem masyarakat, dimulai dari seruan berpotensi menjadi perang horizontal.
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus ujaran kebencian yang berdampak besar di Indonesia adalah ketika suku Madura dan Dayak berseteru dalam konflik Sampit. Konflik muncul saat terlontar seruan “sapi” dari salah satu suku kepada suku lainnya. Hal itu memicu kemarahan dan berakhir aksi saling serang kedua suku.
Hate speech (Foto: Harvard Political Review)
zoom-in-whitePerbesar
Hate speech (Foto: Harvard Political Review)
Ujaran kebencian tak berhenti di situ, tapi menjalar ke jagat maya. Tahun 2016, ujaran kebencian menjadi salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan. Setahun sebelumnya, 2015, terdapat 670 laporan ujaran kebencian, dan masih banyak pula yang tak dilaporkan.
Dari 670 kasus yang masuk, kepolisian baru berhasil menyintas sekitar 200 kasus.
Terlebih, kini teknologi internet yang membawa percakapan dan diskusi ke ranah tak berjarak, dapat dengan mudah mengeliminasi pemikiran yang tak sesuai dengan narasi dominan yang beredar dalam grup masing-masing orang.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya, Political Communication Ethics: An Oxymoron, Robert Denton menyebutkan pada dasarnya internet bersifat anti-dialektis. Premis ini menjelaskan bagaimana proses diskusi dan pembentukan wacana akan dengan mudah disetir oleh sebagian pihak yang dominan, sehingga kelompok kecil akan dengan mudah dihilangkan ketika ia tak turut dalam wacana dominan.
Premis ini dengan mudah ditemukan dalam ranah online messenger seperti WhatsApp. Tinggal “leave group” atau “delete member” ketika ada satu atau dua orang yang pemikirannya dirasa tak sesuai dengan mayoritas.
Tak jarang, ujaran kebencian beredar cepat dari grup ke grup, entah dalam rupa meme maupun pesan panjang yang “tidak boleh putus di tanganmu.”
Kemudahan untuk mengeliminasi perbedaan menjadi lingkungan subur untuk memarakkan ujaran kebencian. Pada 2016, ujaran kebencian yang beredar dalam bentuk pesan daring meningkat hingga setidaknya 200 persen.
ADVERTISEMENT
Ujaran kebencian berbalut kebebasan berbicara yang ibarat serigala berbulu domba, menjelma jadi salah satu tantangan terbesar era Reformasi.
Simak pula: