Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menatap Kelam Mei ‘98 dari Mata Lensa Firman
18 Mei 2017 10:04 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Hari itu, 12 Mei 1998, Jakarta pekat dengan rasa mencekam. Seorang anak muda bernama Muhammad Firman Hidayatullah kala itu bekerja sebagai jurnalis foto untuk Forum Kota, organ gerakan yang terus memekikkan Reformasi.
Firman tahu betul, Jakarta tengah membara dan ia harus bergerak. Ketika banyak orang lain berusaha keras keluar dari Jakarta, Firman dan rekan-rekannya malah berkubang dalam kerusuhan dan bentrokan yang saat itu berpusar di Semanggi dan Cawang.
ADVERTISEMENT
Ia bersama jajaran anggota Forum Kota merangsek terus deretan tentara yang tak segan mengadang demonstran dengan ujung senapan mereka.
Firman sudah meniatkan sejak melangkahkan kaki keluar rumah dengan menenteng kamera Nikon FM 78 andalannya, untuk mengabadikan setiap detik sejarah yang berlangsung di depan matanya.
Dengan modal kamera lungsuran ayahnya itu, Firman bergegas turun ke lokasi kerusuhan, juga melebur dengan segala pekik yang diserukan oleh mahasiswa.
Saat itu Firman terbilang “gila”. Profesinya, wartawan foto, sesungguhnya berisiko tinggi karena rentan “dihilangkan”.
Memikirkan hal itu, rasa takut perlahan timbul. Tapi Firman yakin ia sedang melakukan hal yang benar untuk bangsanya. Maka dengan kameranya, ia mulai mengambil kejadian demi kejadian yang mungkin akan menjadi salah satu titik kelam dalam pendewasaan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Firman kala itu tak sekadar mengambil foto. Ia bahkan berdiri tegak di samping orator. Dan ikut siap di garda depan saat harus berhadapan dengan tentara di Gedung MPR/DPR yang sudah mulai didatangi mahasiswa.
Sepanjang rangkaian tragedi Mei ‘98, Firman terus berada di lapangan. Walau lensa kameranya sempat rusak dan hilang, belum lagi ia harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli rol film --sampai-sampai dompetnya makin tipis tak berisi, Firman siap berkorban untuk demi menjadi saksi sejarah dan mendukung gerakan prodemokrasi.
Sebelum Tragedi Mei ‘98 pecah, Firman tahu betul bahwa bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Utang negara tidak masuk akal, bisnis bangsa tak sehat dan rawan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), hingga berujung pada krisis moneter yang membawa nilai rupiah anjlok tak tertolong ke angka Rp 18 ribu per Dolar AS.
ADVERTISEMENT
“Wah, kalau menyentuh Rp 20 ribu, revolusi nih kita,” kata Firman ketika mengenang rangkaian persoalan negara 19 tahun lalu, ketika berbincang dengan kumparan, Rabu (17/5).
Dia mulai dan kawan-kawan aktivis serta mahasiswa berkonsolidasi untuk mulai merencanakan aksi guna mendesak turun pemerintahan yang sudah tidak sehat.
Satu, dua, hingga belasan pertemuan mereka gelar. Tujuan gerakan mulai dikerucutkan. Bentuk perjuangan boleh beragam, namun satu hal pasti: Reformasi harus terjadi.
Aksi itu terus beriringan dengan Forum Kota, juga bersama organisasi-organisasi lain seperti Gerakan Muda NU dan Forum Bersama. Semua bahu-membahu saling menjaga agar gerakan mahasiswa tak lantas disisipi aparat keamanan yang tak segan memukul dan menendang demonstran.
ADVERTISEMENT
Setiap hari selama rangkaian Tragedi Mei, terdapat satu atau dua kisah yang kuat melekat di benak Firman. Salah satunya ketika mahasiswa mulai bergerak ke arah Universitas Atma Jaya di Semanggi. Long march yang mengarah menuju Semanggi tiba-tiba dicegat tentara Angkatan Darat.
“Kalian harus ikut kami! Ini perintah Panglima ABRI!” ucap Firman menirukan komando dari salah satu tentara yang kala itu menahan laju mahasiswa yang hendak menggelar aksi. Tapi tak ada satupun mahasiswa yang mau bergerak mengikuti arah yang ditunjuk si tentara.
“Tidak, kami mau ke Semanggi!” kata Firman menirukan jawaban salah satu mahasiswa.
Para mahasiswa menolak, menduga ajakan itu bertujuan untuk “menghilangkan” mereka.
Perdebatan antara mahasiswa dan tentara pun pecah. Melihat ada potensi kerusuhan, salah satu kawan Firman mencari cara agar dapat bernegosiasi dengan tentara.
ADVERTISEMENT
Tahu bahwa gerakan kawan wartawan dikawal marinir, mereka bergegas meminta marinir membantu proses negosiasi mahasiswa dengan tentara AD.
Salah satu anggota marinir akhirnya sepakat untuk bicara dengan tentara AD. Para mahasiswa pun buka jalan.
Derap langkah marinir memecah suasana, melangkah maju ke baris depan massa.
Proses negosiasi keduanya pun berlangsung, berujung pada berhasilnya para mahasiswa menjebol garis blokir tentara.
“Gak hidup kali gue kalau gak ada marinir sama kami,” kenang Firman.
Mei ‘98 menjadi kisah yang tak pernah dilupa Firman walau sedetik pun. Jakarta membara di tiap sudut bersama aroma anyir darah para korban.
“Tragedi Mei ‘98 ‘nikmat’ untuk diceritakan, tapi tidak untuk kembali dirasakan,” kata Firman.
Rawat ingatanmu di sini
ADVERTISEMENT