Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Aferi S Dufail, Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintah Desa Kementerian Dalam Negeri, semakin sibuk sepekan belakangan. Desa siluman jadi pangkal soal. Ternyata, dari 70 ribuan desa di seluruh Indonesia yang kinerjanya ia monitor setiap hari, terdapat deretan desa siluman yang tak berwujud alias tak memiliki pemerintahan. Ya, mereka desa fiktif yang tak benar-benar ada.
Aferi menegaskan, Kemendagri tak abai soal desa siluman. Menurutnya, kementeriannya sudah sejak lama membereskan problem keberadaan desa-desa yang bermasalah secara administrasi. Kemendagri bahkan telah mencabut beberapa desa bermasalah pada 2018.
“Itu sebenarnya yang menjadi pekerjaan berat kami saat ini,” kata Aferi saat berbincang dengan kumparan di Kemendagri, Kamis (7/11).
Perkara desa siluman mengemuka lewat pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam rapat perdana dengan Komisi XI DPR RI, ia menyebut bahwa kemunculan desa baru yang cacat administrasi membuat penyaluran program dana desa tak efektif.
“Sekarang muncul desa-desa baru yang nggak ada penduduknya karena adanya Dana Desa,” ujar Sri Mulyani, Senin (4/11).
Setelah berbagai pihak menelusuri, desa siluman yang ia maksud itu beberapa di antaranya terletak di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Desa-desa itu ialah Desa Uepai dan Desa Morehe di Kecamatan Uepai, serta Desa Ulu Meraka di Kecamatan Onembote.
Selain ketiga desa siluman itu, terdapat 56 desa lain di Sulawesi Tenggara yang proses pembentukannya bermasalah.
kumparan mendatangi lokasi tiga desa siluman di Konawe, dan menemukan memang tak ada pemerintahan desa di sana. Meski ketiga desa itu abal-abal, aliran dana desa dari Jakarta terus mengalir. Pemerintah Kabupaten Konawe mengatakan mengamankan dana tersebut di kas daerah.
Ribut-ribut desa siluman direspons Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan mengerahkan tim gabungan dari Kemendagri dan Polda Sulawesi Tenggara untuk menyelidiki kasus itu.
Selain di Sulawesi Tenggara, desa-desa siluman kemungkinan juga ada di wilayah lain. “Kami belum punya data valid tentang kefiktifan itu maksudnya seperti apa,” kata Aferi.
Meski begitu, desa siluman maupun desa cacat administrasi jelas menunjukkan adanya masalah dalam tata kelola otonomi daerah. Desa siluman pun berpotensi merugikan negara, mengingat jumlah dana desa dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 mencapai Rp 72 triliun untuk hampir 75.000 desa di seluruh Indonesia.
Sesungguhnya, bagaimana desa siluman bisa terbentuk? Kenapa pengawasan pemerintahan desa bisa kebobolan? Berikut wawancara kumparan dengan Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintah Desa Kemendagri, Aferi S Dufail, di kantornya, Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan:
Kenapa bisa muncul desa siluman?
Patut untuk kita ketahui bahwa desa-desa yang ada saat ini termasuk yang disinyalir desa fiktif itu, adalah desa yang terlanjur ada sebelum adanya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa yang disinyalir fiktif di Konawe itu pembentukannya berdasarkan peraturan daerah tahun 2011. Artinya, desa itu terbentuk sebelum UU No. 6 Tahun 2014.
Nah, kewajiban Kemendagri sesuai amanat UU No. 6 adalah mengklarifikasi seluruh desa yang sudah ada sebelum UU No. 6 itu untuk didaftar sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 116 UU tersebut, bahwa desa yang ada sebelum penetapan UU No. 6 tetap diakui sebagai desa.
Sehingga dengan demikian, kebijakan Kemendagri terhadap desa-desa yang sudah terlanjur ada namun belum diberi kode saat pemberlakuan UU No. 6 menjadi prioritas untuk kami beri kodefikasi, termasuk 56 desa yang ada di Konawe, yang kemudian dalam praktiknya seperti disebutkan oleh Ibu Menteri Keuangan terdapat desa hantu atau desa yang tidak punya penduduk. Nah, itu adalah masalah yang kami lihat belakangan ini.
Jadi kasus desa siluman tidak sedikit?
Itu sebenarnya yang menjadi pekerjaan berat kita saat ini. Makanya berkaitan dengan penataan desa ini jangan hanya dilihat desa untuk implementasi Undang Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa dengan menggunakan kacamata dalam hal uang saja. Desa itu harus kita dilihat secara utuh, menyeluruh, menatanya dari sistem pemerintahan, dan kewilayahannya dulu. Kalau ini tidak dengan baik administrasi pemerintahannya dan kewilayahan desa kemudian digelontorkan dana desa jadi begini.
Kalau tidak tertata sistem pemerintahan desa bahwa desa itu berjalan berdasarkan atas kewenangan, itu juga menjadi masalah. Karena nanti kalau dikasih uang tapi dia tidak pahami kewenangan penggunaan yang tidak mengacu pada kewenangan kan salah. Tapi sekarang ini di tingkat bawahnya tidak mampu memahami apa yang menjadi kebijakannya. Seyogyanya seluruh Kementerian ini bersinergi secara baik.
Terdapat kesalahan administrasi dalam proses inventarisasi desa?
Bisa. Saya tidak mau mengatakan kesalahan penomoran, bisa juga kesengajaan memang karena dia tidak proses di dalam penetapannya melalui legislasi di daerah, untuk mempercepat buat aja Perda asal-asal, bisa juga. Tapi saya tidak mau mengatakan itu adalah Perda asal-asalan.
Saya tidak mau menyatakan apa itu yang pasti sebelum ada data yang akurat, karena ini tugasnya Provinsi melakukan verifikasi di lapangan. Kita di Kemendagri kan tugasnya hanya melakukan tugas-tugas persetujuan formil. Formil itu ada surat, (memastikan) memenuhi syarat, dan memberi kodenya.
Bagaimana fungsi kode itu dalam tata kelola pemerintahan desa?
Hanya kode, angka berdasarkan provinsi, kabupaten, kecamatan, desa. Tetapi punya makna terhadap bagaimana penyaluran dana desa, itu kan memperhatikan kodenya, karena kalau hanya mengacu kepada nama, jangankan antar kabupaten, dalam satu kabupaten bisa terjadi dua desa yang sama namanya.
Maknanya itu untuk berbagai hal, dalam rangka kebijakan pemerintah, karena kode itu sama dengan E-KTP, "one person, one identity", "satu desa, satu identitas". Kalau desa itu seandainya terjadi sesuatu harus dihapus, desa itu dihapus bersama dengan kodenya, tidak boleh dipakai untuk desa lain. Kode itu harus mati.
Pernah terjadi di Sumatera Barat, 43 desa melapor ke Pemprov untuk mendaftarkan kode dan Kita sudah berikan. Tapi ada selentingan (kurang enak) kita mendapati (informasi) dari daerah, bahwa (desa) itu belum beroperasi pemerintahannya dan kita langsung ngecek. Ternyata betul, belum beroperasi. Kita batalkan saat itu juga, sehingga tertunda waktu itu satu tahun. Dengan situasi itu dia segera bentuk (pemerintah desa) baru kita berikan (lagi nomornya).
Anda sempat ke Konawe untuk mengecek langsung 56 desa bermasalah?
Iya, saya ke Konawe mengumpulkan 56 kepala desanya, bupatinya dan kepala biro tata pemerintahan, dan jajaran Polisi Sulawesi Tenggara.
Cuma persoalannya di empat desa yang dinyatakan fiktif itu saya nggak tahu persis apakah kepala desanya dari masyarakat atau pejabat yang diangkat dari ASN. Wallahualam.
Jadi desa siluman itu belum jelas perangkat desanya?
Iya. Saya ingin membuktikan bahwa betul-betul tidak valid sebagai satu desa. Saya tidak mau mendengar hanya sekadar dilaporkan ada sekian jumlah warganya. Saya minta Dinas Dukcapil yang memahami betul sistem kependudukan, coba berapa jumlah warga, buka di sistem informasi kependudukan. (Laporan Dukcapil) hanya ada tujuh Kepala Keluarga (KK). Oke itu tidak memenuhi syarat.
Dengan penduduk sejumlah itu, apakah tetap memenuhi syarat pembentukan desa?
Iya. Tapi dasar pembentukannya yang menjadi sangat dipertanyakan oleh aparat penegak hukum sekarang. Kita harus berpikir logis juga dong, masa memberikan anggaran begitu besar kepada penduduk yang sangat-sangat terbatas.
Kenapa desa siluman bisa menjadi penerima dana desa?
Wallahualam, (urusan) Pemda itu. Kan di bawah binaan Kemendes untuk pengelolaan dana desa ya. Pengelolaan dana desa itu prioritas penggunaannya diatur oleh Kemendes, kita mengatur sistem pemerintahannya termasuk membentuk desanya.
Memahami tentang dana desa baik peruntukannya dan penyerapannya segala macam itu ada di Kementerian Keuangan dan Kementerian Desa bukan di Kemendagri. Tugasnya Kemendes itu memfasilitasi dan mengkoordinasikan pembangunan di desa.
Kemendagri tidak berwenang memonitor transfer dana desa?
Bukan Kemendagri, kita hanya menyiapkan wadahnya saja. Tapi bagaimana operasional yang berkaitan dengan dana desa itu sudah masuk ranahnya Kementerian Keuangan, Kementerian Desa dan Pemerintah Daerah itu sendiri. Kemendagri tidak tahu itu.
KPK menyebut bahwa selain desa siluman, terdapat pula desa rekayasa yang cacat administrasi. Bagaimana Kemendagri menyikapi temuan ini?
Itu lah yang mungkin dimaksudkan rekayasa. Kita belum punya data yang valid tentang kefiktifan itu maksudnya seperti apa. Tapi yang saya tangkap kefiktifan itu adalah dasar hukum pembentukannya tidak benar. Secara faktual desa itu ada di lapangan. Salah satu di antaranya, ada desa tetapi jumlah penduduknya yang sangat minim. Nah itu yang bahasanya Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) desa hantu karena tidak ada orangnya.
Data BPS setiap tahun jumlah desa di Indonesia meningkat hingga 700 desa.
Banyak persoalan yang memang menyebabkan terjadi seperti itu, itu yang harus kita sinkronkan dengan berbagai Kementerian, dalam hal ini penyalur dana desa. Seharusnya penyaluran dana desa itu tidak boleh berdasarkan jumlah desa, tapi berdasarkan: jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
Berdasarkan kondisi itu, daerah menyalurkan kepada desanya. Jakarta jangan menyalurkan berdasarkan desa, karena kalau disalurkan berdasarkan desa, maka animo masyarakat, pemerintah daerah, itu terus menerus menambah jumlah desanya.
Apakah setelah ini mungkin akan ada evaluasi soal pemekaran desa?
Belajar dari situasi ini bahkan kami meminta untuk melakukan penataan secara menyeluruh kepada seluruh Kabupaten Kota karena jangan sampai banyak desa-desa terjadi seperti itu. Sangat tidak rasional kan, kalau jumlah Kepala Keluarganya di bawah 100 orang, warganya, mendapatkan dana yang sama dengan daerah yang jumlah KK-nya lebih banyak, penduduknya banyak. Kita lakukan itu tergantung pemerintah nanti pimpinan menyetujui atau tidak, tapi itu mendesak menurut saya untuk kita lakukan.
Kebijakan apa yang bakal diterapkan Kemendagri menyikapi keberadaan desa siluman?
Kalau (yang disebut desa siluman ) di Konawe memang terbukti tidak ada, kita hapus. Apalagi kalau administrasi pengusulannya itu tidak benar, ya segera kita hapus. Pada tahun 2017-2018 kami sudah mencabut (menghapus) tiga desa di Sulawesi Tenggara, kabupaten Muna, Konawe dan Buton. Mencabut desa karena sebelum dipersoalkan oleh aparat penegak hukum kami sudah mendapatkan data bahwa (desa) ini tidak ada.