Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Penyair, eksentrik, dan bebas.
“Mampus kau dikoyak sepi”, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, atau “Hidup hanya menunda kekalahan” merupakan salah sedikit dari kutipan karyanya yang abadi baik lewat mural, sablon kaus, atau menjadi pepatah milik sejuta umat.
ADVERTISEMENT
Chairil Anwar namanya. Penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922 ini menjadi salah satu ikon puisi modern tanah air. Tanggal kelahirannya bahkan dideklarasikan sebagai Hari Puisi Indonesia pada 2012.
Di balik nama besar Chairil yang kita kenal sebagai Pelopor Angkatan ‘45, terkandung kisah hidupnya yang bisa dibilang tragis.
Chairil Anwar mati muda pada usia 26 tahun --tanpa alamat, miskin, komplikasi penyakit, dan lain-lain.
Karier kepengarannya cukup singkat, dari 1943 hingga 1949.
Meski singkat, Chairil tercatat melahirkan 73 puisi, 2 sajak saduran, dan beberapa prosa.
Di antara puisi-puisinya, terselip nama-nama perempuan yang menjadi persembahan bagi karyanya. Siapa saja mereka?
ADVERTISEMENT
Ida Nasution
Nama Ida ditemukan dalam beberapa puisi Chairil. Jika melihat kronologi waktu pada puisinya, nama Ida pertama kali muncul dalam puisi berjudul Ajakan pada Februari 1943.
"Ida. Menembus sudah caya/Udara tebal kabut/Kaca hitam lumut/Pecah pencar sekarang," bunyi baris pertama puisi itu.
Ida Nasution adalah seorang esais dan penerjemah yang juga mengelola ruang kebudayaan Gelanggang di Majalah Siasat bersama Chairil.
Ida, perempuan kelahiran 1924 ini, dikenal sebagai penerjemah yang handal. Di antara terjemahannya adalah Pemenang atau Les Conquerents karya Andre Gide dan dimuat oleh Majalah Pembangunan.
Selain dalam puisi Ajakan, Ida disebut oleh Chairil dalam Bercerai (7 Juni 1943), Merdeka (14 Juli 1943), dan Selama Bulan Menyinari Dadanya (1948).
ADVERTISEMENT
Tak hanya dalam puisi, nama Ida pun disebut Chairil dalam pidato yang dibuat pada 1943 untuk dibacakan di muka Angkatan Baru Pusat Kebudayaan pada 7 Juli 1943.
Apakah ungkapan cinta Chairil berbalas?
Sayangnya tidak. Ida, kepada HB Jassin, menyebut Chairil sebagai "binatang jalang" sesungguhnya.
"Apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tidak karuan itu?" ujar Ida kepada Jassin kala itu.
Nasib Ida berkahir tragis. Pada tahun 1948, di usia 24 tahun, ia hilang tanpa bekas dalam perjalanan naik mobil dari Jakarta ke Bogor.
Atas tragedi tersebut, Chairil menuliskan, ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan "pas bebas"/Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam/ranjang padang putih tiada batas.
Sri Ajati
ADVERTISEMENT
Puisi berjudul Hampa dipersembahkan kepada Sri yang selalu sangsi ini bertanggal Maret 1943. Chairil tahu perasaannya tak akan terbalas karena Sri telah memiliki tunangan --seorang dokter bernama Soeparsono.
Sri berkenalan dengan Chairil pada 1942. Ketika berkuliah di de Faculteit der Oorsterse Letteren en Wijsbergeerte --yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Sri terpaksa menganggur karena Jepang menutup semua sekolah.
Sri pun menjadi penyiar radio Jepang, Jakarta Hoso Kyokam. Di situlah Sri bertemu Chairil.
Kecantikan Sri yang menarik pandang mata Chairil diceritakan Alwi Shahab, wartawan senior Republika.
"Ibu Sri masih terlihat rupawan meski sudah menginjak kepala sembilan."
Sri wafat pada 30 Desember 2009.
Dien Tamaela
ADVERTISEMENT
Dien Tamaela diperkenalkan pada Chairil oleh Des Alwi, putra dari Sutan Sjahrir, ketika Chairil menumpang di rumah Sjahrir tahun 1942. Mereka bertiga lantas menjadi sahabat baik karena rumah Dien tak berjarak jauh dari rumah Sjahrir.
Dien, putri asal Maluku kelahiran 1923 ini, ditinggalkan ayahnya sejak berumur 15 tahun. Sebagai seorang Maluku yang tinggal di Batavia, Dien harus menghadapi berbagai kecurigaan dari suku lain.
Des Alwi dalam Friends and Exiles menyebut Chairil dan Dien seperti kakak-adik.
Beta Pattiradjawane/Yang dijaga datau-datu/Cuma satu merupakan salah satu penggalan lirik dari Chairil dalam puisi Cerita buat Dien Tamaela. Pattirawadjawane merupakan nama belakang ibu Dien Tamaela.
Dien meninggal di usia 25 tahun akibat tuberkulosis pada 8 Agustus 1948.
ADVERTISEMENT
Gadis Rasid
Gadis Rasid, wartawan asal Sumatera kelahiran 1923 ini dikenal ulet dan gigih. Begitu kagumnya Chairil pada Gadis hingga mempersembahkan satu puisi berjudul Buat Gadis Rasid pada 1948.
Gadis pernah berkarier sebagai reporter surat kabar di Negeri Belanda, Nieuwe Rotterdamse Courant (NRC). Kemudian ia menjadi wartawan di koran Pedoman sejak akhir 1940-a.
Pada tahun 1950-an, Gadis menjadi anggota dewan redaksi Majalah Siasat yang dipimpin oleh Rosihan Anwar dan Soedjatmoko. Dari situlah kekaguman Chairil muncul.
Namun Gadis menikah dengan Henk J. Rondonuwu dan dianugerahi seorang anak perempuan bernama Ratna Irma. Meski kemudian bercerai, Gadis memilih tetap menjanda hingga ajal menjemputnya pada 1988 --pada tanggal yang sama dengan kematian Chairil, 28 April.
ADVERTISEMENT
Tuti Artic
Tidak diketahui nama sebenarnya, namun puisi Tuti Artic dicipta Chairil pada 1947. Pergaulan Chairil yang luas membuat dia banyak berkenalan dengan pelajar-pelajar sekolah MULO, HBS, atau AMS.
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Banyak orang berpendapat, Tuti hanyalah cinta sesaat Chairil.
Karinah Moordjono
Karinah adalah putri seorang dokter di Medan. Jalinan kisah antara Chairil dan Karinah mungkin hanya mereka saja yang tahu.
Puisi persembahan untuk Karinah berjudul Kenangan yang digubah pada 1943, berbunyi, Halus rapuh ini jalinan kenang/Hancur hilang belum dipegang/Terhentak/Kembali di itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
Barangkali Karinah adalah kasih tak sampai Chairil atau sekadar cinta monyet di masa muda sebelum Chairil hijrah ke ibu kota.
Sumirat
Mirat tak sengaja bertemu Chairil di pantai Cilincing ketika Chairil duduk tenggelam dalam sebuah buku.
"Sikap masa bodonya terhadap keramaian yang membuatku tertarik," cerita Mirat mengenang awal pertemuan mereka.
Mirat yang seorang pelukis jatuh cinta pada Chairil sang penyair. Namun hubungan ini ternyata mencemaskan orang tua Mirat.
Mirat dipanggil pulang ke Paron, desa kecil di perbatasan Solo dan Madiun. Chairil sempat menyusul Mirat, namun penolakan secara halus terpaksa diterima oleh Chairil.
"Anak cari kerja dulu yang baik dan tetap, nanti kita bicarakan lagi," jawab orang tua Mirat pada Chairil.
ADVERTISEMENT
Hapsah Wiriaredja
"H, Aku berada di kamarku sendiri. Terasa sendiri/dengan buku-bukuku lagi ketika sebelum kawin dengan kau.."
Fragmen yang belum usai itu ditulis Chairil untuk Hapsah, perempuan yang dinikahinya pada 6 September 1946.
Dalam buku Nasjah Djamin, Hari-hari Akhir si Penyair, Chairil meluapkan kerinduannya pada Hapsah setelah mereka berpisah.
Hapsah, perempuan kelahiran Sukabumi pada 11 Mei 1922, menikah dengan Chairil setelah tiga bulan berkenalan. Mereka dikaruniai putri bernama Evawani Alissa pada 17 Juni 1947.
Namun kelahiran putri mereka tak bisa menyelamatkan keretakan rumah tangga Chairil dan Hapsah yang berakar pada persoalan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Baca juga