Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Menjelajah Dunia Penuh Bahaya Para Penambang Emas
22 Maret 2017 13:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Petak-petak kering di gugusan bukit bebatuan kerontang itu ternyata menyimpan kehidupan.
ADVERTISEMENT
Tenda-tenda biru menempel di sekujur tubuh bukit batu. Di baliknya, manusia-manusia berlalu-lalang mengangkut karung berisi batuan diiringi dentuman palu.
Kami, tim kumparan (kumparan.com), mendekati mereka, melalui jalan terjal dan berbatu di Poboya, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (13/3).
Di pintu masuk terpal biru, seorang pria duduk bersila sambil asyik mengaduk air di piring kecil dalam baskom.
Dia tampang sangat fokus pada kegiatannya, dan tak menengok ketika kami sapa.
Ia terus melanjutkan aktivitasnya itu sembari menjawab pertanyaan kami. “Saya sedang cek emas. Tadi habis turun ambil sedikit batu.”
Ketika butiran warna kuning mulai muncul di piring, barulah lelaki itu menghentikan adukannya.
ADVERTISEMENT
“Saya penambang di sini. Setiap hari kami semua turun ke lubang ambil emas,” ujar dia, memperkenalkan diri bernama Hussein.
Untuk turun ke lubang tambang, Hussein hanya mengenakan baju yang menempel di tubuhnya saat itu, yaitu kaos dan celana pendek. Tak ada alat pengaman sama sekali. Tak ada sepatu lapangan atau helm.
Di kawasan tambang itu, terdapat 25.000 penambang seperti Hussein yang mengadu nasib. Mereka ini penambang ilegal. Disebut pemerintah sebagai penambang emas tanpa izin (peti).
Hussein menunjukkan lubang tambang seluas satu meter persegi yang hanya cukup untuk dimasuki satu orang. Pintu lubang itu jadi jalur keluar-masuk penambang dan karung-karung batu hasil tambang mereka yang akan akan diolah menjadi emas.
ADVERTISEMENT
Di atas lubang itu, terdapat tuas yang dipasangi tali. Tali difungsikan bergantung kebutuhan. Bisa untuk mengangkut emas, bisa juga mengangkut penambang memasuki lubang.
Sementara kedalaman antara satu lubang dengan yang lain bervariasi. Lubang tambang Hussein terhitung dangkal.
“Lubang ini dalamnya hanya 4 meter ke bawah. Kalau di Poboya, lubang ada macam-macam. Di tempat lain ada yang sampai 30 meter,” kata Hussein.
Ia lalu meminta salah seorang kawannya menunjukkan cara untuk turun ke lubang tambang. Sang kawan, Haris yang masih berusia 27 tahun, bersiap turun.
Hussein lalu berjalan ke belakang lubang untuk menyalakan sakelar sebuah mesin. Sakelar itu mengaktifkan pompa yang ternyata berfungsi untuk mengisi udara ke corong plastik yang menjalar menuju bagian bawah lubang.
ADVERTISEMENT
“Ini alat untuk mengalirkan udara (blower). Jadi di dalam lubang kita tidak kepanasan dan masih bisa bernapas,” ujar Hussein.
Ketika blower telah dinyalakan, Haris mulai turun. Tanpa tali pengikat apapun untuk mengamankan tubuhnya.
Di lubang itu, Haris menunjukkan bagaimana dia, Hussein, dan kawan-kawan mereka lainnya turun ke dalam lubang. Mereka menapaki kayu demi kayu yang terpasang di sekeliling lubang.
Haris seperti orang yang memanjat gedung dua lantai tanpa takut. Meski lubang tambang itu ia sebut dangkal, jatuh dari ketinggian 4 meter tetap saja risiko.
Kami terheran-heran melihat aksi Haris yang tak kenal takut.
“Bapak tidak takut jatuh?” tanya kami, yang lantas disambut tawa oleh Haris.
“Dulu saya sempat gemetar, tapi lama-kelamaan tidak takut sama sekali karena sudah biasa,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Haris dengan lincah kembali menapaki kayu-kayu menuju dunia bawah tanah. Sesampainya di dasar, ia berjongkok santai sambil menengok ke atas.
“Mari turun ke sini,” ujarnya cengengesan.
Ajakan itu kami tolak meski harus jatuh gengsi, sebab kaki kami gemetar membayangkan kemungkinan terburuk jatuh ke dasar lubang.
Lubang tambang Hussein memang terhitung dangkal. Asar, rekan seperantauan Hussein dari Gorontalo, bahkan harus masuk ke dalam lubang sedalam 30 meter. Bedanya, Asar turun dengan tali, tak merayap seperti Hussein.
Untuk lubang yang dalam, para penambang memodifikasi sebuah medium untuk turun ke bawah tanah. Medium itu yakni sebuah dudukan berbahan dasar kayu dengan tali yang digantungkan ke katrol di atasnya.
“Nanti saya duduk di sini, lalu turun ke bawah dibantu oleh teman saya yang lain,” ujar Asar yang bersiap turun.
ADVERTISEMENT
Peralatan Asar tak jauh berbeda dari penambang emas lain. Hanya senter, palu, dan betel yang ia bawa ketika turun.
Tak ada yang pasti dengan situasi yang bakal dihadapi dalam lubang tambang. Apalagi tak ada cahaya dan udara memadai di dalam bumi.
“Tidak ada yang tahu bahaya di bawah seperti apa,” ujar Asar.
Oleh karena itu, selalu ada dua orang yang menjadi operator untuk menjaga rekan-rekan mereka di bawah. “Kasihan kalau ada apa-apa di bawah,” kata Asar.
ADVERTISEMENT
Namun ia tak mau bercerita tentang seperti apa dunia bawah tanah yang ia jalani sehari-hari, dan memilih menyingkirkan segala ketakutannya.
Kehidupan di gelap perut bumi jelas tak sesederhana yang dibayangkan.
Turun ke kaki bukit, kehidupan yang sesungguhnya lebih terasa. Suasana lebih ramai dibanding di puncak bukit tempat Asar dan Hussein bekerja.
Di permukiman penambang, seseorang berbaju merah terlihat sedang beristirahat. Lelaki 40 tahun itu duduk santai di seberang sungai yang menghubungkan permukiman dengan bebatuan yang dipenuhi penambang.
Dia rupanya orang penting di antara ratusan orang yang ada di sana. Namanya Deko.
Sebagai orang yang mengatur semuanya, Deko paham betul dinamika kehidupan para penambang. Salah satu yang tidak diketahui banyak orang adalah konflik kekerasan yang berlangsung di dunia bawah tanah.
ADVERTISEMENT
Para penambang, ujar Deko, tidak menetap pada satu titik yang sama. Mereka terus mencari sumber batu yang mengandung emas.
“Jadi tergantung medan di bawah. Kalau dapat gua tapi ternyata sudah dimiliki orang lain, ya harus belok lagi, cari yang lain. Sementara kalau ada orang masuk ke wilayah kita, orang itu kita suruh mundur,” kata Deko.
Masalahnya, pertemuan antarpenambang yang tak disengaja di bawah tanah itu, kerap memicu konflik yang berujung kekerasan.
Mereka berebut sumber batu yang sama-sama mereka temukan. Namun mereka tak dapat berbagi begitu saja karena berasal dari lubang tambang yang berbeda --artinya, beda kelompok dan beda pemodal.
Nah, ketika sama-sama tak mau mengalah, baku hantam pun terjadi di perut bumi.
ADVERTISEMENT
“Biar orang duluan, tapi kalau di wilayah kita, di titik kita, dia harus menyingkir, harus mengalah. Nah yang yang tidak mengalah itu memicu adu fisik,” cerita Deko.
Namun di atas kertas, hingga saat ini tak tercatat insiden apapun terkait tambang.
Dunia bawah tanah hanya milik para penambang. Angka kematian dan kriminalitas di antara mereka, tertutup rapat.
Dunia kaum penambang adalah semesta mara bahaya. Mulai menuruni lubang tambang hingga di berada di dasar bumi, mereka bertaruh nyawa.