Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
1 Mei. Jakarta siang ini begitu panas --sebelum deras hujan membasahi tanah di sore hari.
ADVERTISEMENT
Terik memanggang mereka yang berkeliaran di luar rumah, gedung, dan itu artinya para demonstran yang sedang merayakan Hari Buruh atau May Day di jalanan ibu kota.
Mereka yang menyemarakkan May Day di Jakarta datang dari berbagai latar belakang profesi, dan bernaung di bawah ragam kelompok serikat pekerja.
Tuntutan demonstran tak beda jauh dengan tahun lalu: naikkan upah buruh.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, kenaikan upah buruh selama ini masih tergolong kecil. Dibanding beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam dan Malaysia, upah buruh Indonesia terhitung rendah.
“Upah kita hanya naik Rp 130.000 hingga 260.000, atau jika dikonversikan dalam dolar seharga 10-20 dolar AS. Itu hanya seharga satu buah kebab di Eropa,” kata Said di tengah aksi May Day di Monas, Jakarta Pusat, Senin (1/5).
ADVERTISEMENT
Maka para buruh yang tak bosan meneriakkan kenaikan upah dari tahun ke tahun --seiring harga barang-barang yang juga terus naik, bergerak turun ke jalanan ibu kota dari berbagai penjuru, mulai Salemba hingga Bekasi.
[Baca juga: Masih Mau Bilang Demo Buruh Cuma Bikin Macet? ]
Berbarengan dengan suara tuntutan yang dipekikkan para buruh berbaju merah itu, para jurnalis dari berbagai media ikut turun ke jalan --sebagian berpartisipasi dalam aksi May Day, sedangkan sebagian lainnya meliput.
Mereka yang bertugas, seperti biasa ketika melakukan peliputan, siap siaga dengan kamera atau ponsel di tangan --siap merekam tiap momen yang dirasa menarik.
Sebagian dari mereka sudah berangkat pagi buta dari rumah atau kosan masing-masing, tak mau ketinggalan menyambut rombongan buruh yang datang dari berbagai daerah --karena tugas kantor tentu saja.
ADVERTISEMENT
Bahkan di antara wartawan itu, ada yang belum tidur semalaman karena dikejar tenggat waktu untuk menyelesaikan tugas liputan sebelumnya.
[Baca juga: Menjadi Buruh Berkemeja di Jakarta ]
Berjalan beriringan dengan para buruh, antara lain anggota Aliansi Jurnalis Independen. AJI sadar, sebagian jurnalis bukannya bebas dari persoalan. Mereka misalnya berhadapan dengan jam kerja yang tak menentu dan gaji yang tak jauh dari batas upah minimum.
Belum lagi cukup banyak jurnalis yang mau-tak mau dirumahkan karena media tempat mereka bekerja tengah melakukan digitalisasi dan konvergensi media.
Berbagai persoalan itu membuat AJI bersama-sama dengan pekerja media kreatif yang tergabung dalam Sindikasi (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi) ikut bergabung dengan aksi May Day.
ADVERTISEMENT
Setidaknya 100 orang ikut serta dalam long march AJI dan Sindikasi. Mereka jurnalis, kontributor, hingga desainer.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menunjukkan, sedikitnya 31,9 persen pekerja kreatif menghabiskan lebih dari 48 jam kerja tiap pekan atau lebih tinggi dari batas 40 jam per pekan seperti tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Artinya, lebih dari sepertiga pekerja kreatif Indonesia mengalami overwork atau kelebihan jam kerja.
Sekretaris Jenderal AJI Jakarta Muhammad Irham menuturkan, ketidakadilan pun masih dirasakan sebagian jurnalis.
“Kita sekarang berada di tengah era digital. Dan itu berpengaruh ke media massa. Dari sisi ketenagakerjaan, yang paling rentan terkena dampak era digital ya pekerja media. Mereka diminta untuk bekerja di banyak platform dan memperoleh gaji yang tak jauh beda dengan gaji media satu platform,” kata Irham kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi media juga menyebabkan sejumlah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat perusahaan media tak bijak dalam melakukan restrukturisasi organisasi.
“Pekerja media sangat rentan di era digital ini. Sekarang, berbagai pekerjaan bisa dikerjakan oleh satu orang, lalu buat apa perusahaan membayar untuk beberapa orang?” kata Irham.
Ironisnya, serikat pekerja yang menjadi wadah bersuara dan menuntut hak bagi para jurnalis, cukup sulit tumbuh di sejumlah perusahaan pers nasional maupun daerah.
Data terakhir berdasarkan AJI dan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen menunjukkan, hanya terdapat 25 serikat pekerja media yang bisa diidentifikasi di seluruh Indonesia. Jumlah ini terbilang minim, hanya sekitar 1 persen dari jumlah media berdasarkan data Dewan Pers.
[Lihat Video: Yakin Anda Bukan Buruh? ]
ADVERTISEMENT
Pada aksi May Day hari ini, papan bertuliskan “Jurnalis juga Buruh” terpasang di salah satu sudut Jalan Medan Merdeka Barat.
Tak semua jurnalis setuju disebut buruh, memang --meski Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja/buruh sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain,” dan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan serupa, yakni “orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja.”
Apapun, soal apakah “jurnalis juga buruh” bukan hanya setuju atau tak setuju dengan ucapan tersebut, melainkan lebih dari itu: sudahkah mereka mendapatkan hak-hak sesuai UU Ketenagakerjaan ?