Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Negosiasi koalisi oposisi bak benang kusut. Ijtima Ulama mengindikasikan keruwetan itu. Sejak awal, forum tak terlampau menyambut hangat Demokrat yang kini jadi sekutu baru Prabowo Subianto . Demokrat tak seperti PKS (kawan lama Prabowo) yang masuk koalisi keumatan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama, salah satu organisasi alumni Aksi 212.
ADVERTISEMENT
Petinggi Demokrat tak pernah menyambangi Habib Rizieq Syihab layaknya Ketua Umum Gerindra Prabowo, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais. Itu sebabnya Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono tak diundang ke Ijtima Ulama--walau Demokrat mengklaim mengirim utusan ke acara itu, yakni Ketua DPP Demokrat Sultan Yotama Bubu.
Lebih pahit lagi, GNPF Ulama menyarankan agar SBY meniru Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang tak memaksakan anaknya maju di Pemilu Presiden. Menurut Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, Agus Harimurti Yudhoyono, sang putra mahkota Cikeas, belum layak ikut Pilpres 2019 , baik sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden.
Padahal, sebelum Ijtima Ulama berlangsung 27-29 Juli, nama AHY santer disebut berpeluang menjadi cawapres Prabowo, meski SBY sendiri mengatakan “Bagi Demokrat, (posisi) cawapres bukan harga mati.”
Laku Sekutu Baru
ADVERTISEMENT
Malam itu, Selasa (24/7), pekik “AHY! AHY!” lamat-lamat terdengar dari dalam kediaman SBY di Mega Kuningan, Jakarta Selatan. AHY tampak dikerubuti dan dipeluk oleh rekan-rekannya. Tak lama kemudian, SBY dan Prabowo, diikuti AHY , melangkahkan kaki keluar rumah.
Sekitar dua jam sebelumnya, di perpustakaan SBY, ia dan Prabowo berbincang empat mata selama kurang lebih 1,5 jam. Di tengah perbincangan, AHY menyusul masuk. Ketiganya membahas rencana koalisi kedua partai pada Pilpres 2019.
Koalisi Demokrat-Gerindra sepintas terlihat seperti manuver politik mengejutkan. Sebab selama satu tahun terakhir, Demokrat justru secara intensif menjajaki koalisi dengan Jokowi.
Sayangnya, upaya penjajakan SBY bertepuk sebelah tangan. Ia merasa, Megawati jadi faktor penghambat.
“Saya benar-benar merasakan ketulusan Pak Jokowi mengajak kami. Kalau ada yang mengatakan ‘Pak SBY kena PHP (pemberi harapan palsu)’, tidak. [...] Tapi melihat realitas, hubungan dengan Ibu Mega masih belum pulih. Masih ada jarak,” ujar SBY usai bertemu petinggi PAN, Rabu (25/7), sehari setelah bertemu Prabowo.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Majelis Tinggi Demokrat Amir Syamsuddin mengatakan, PDIP khawatir dengan kemungkinan kader Demokrat menjadi rising star di pemerintahan Jokowi, sementara kedua partai berpotensi menjadi lawan di Pemilu 2024.
Kegagalan Demokrat bergabung dengan koalisi Jokowi membuat posisinya serba sulit. Apalagi pembentukan poros ketiga yang diidamkan SBY juga mustahil dilakukan setelah PKB resmi mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi dua pekan sebelumnya, Sabtu (14/7). Satu-satunya jalan yang paling mungkin adalah berpaling ke kubu Prabowo.
Pucuk dicinta ulam tiba. Pada awal Juli, Wakil Ketua Umum Demokrat Syarief Hasan ditemui Adhyaksa Dault, mantan Menpora yang belum lama ini bergabung dengan Gerindra.
Menurut Syarief, Adhyaksa diutus Prabowo menyampaikan pesan penting: Prabowo tertarik berkoalisi dengan Demokrat dan tidak keberatan untuk mengusung AHY sebagai cawapres.
ADVERTISEMENT
“Gerindra bisa menerima (AHY sebagai cawapres),” kata Syarief saat berbincang dengan kumparan di Senayan, Jakarta Selatan, Jumat (27/7).
Pesan itu lantas disampaikan ke SBY . Komunikasi pun terbuka. SBY balik mengutus Syarief menemui Prabowo. Pesannya singkat saja: ia ingin mendengar minat Prabowo pada AHY langsung dari Prabowo sendiri.
Maka pada 24 Juli, berlangsunglah pertemuan istimewa antara SBY dan Prabowo--meski sempat tertunda sepekan karena SBY gering dan harus dirawat di rumah sakit.
Pertemuan berlangsung hangat. Fungsionaris Demokrat dan Gerindra bahkan kompak mengenakan batik berwarna senada, yakni cokelat tua. Kedua partai mengisyaratkan, koalisi di antara mereka hampir pasti terjalin.
“AHY cawapres bukan harga mati,” ucap SBY. Meski demikian, Prabowo secara tersirat menyatakan bahwa AHY adalah pendamping yang sesuai buat dia. Menurut Prabowo, AHY mampu mengerek elektabilitas di kalangan milenial dan perempuan--dua segmen yang menjadi kelemahannya selama ini.
ADVERTISEMENT
“Jadi seumpama dalam pertemuan-pertemuan koalisi nanti nama AHY muncul dibicarakan, saya akan bilang, why not?” ujar Prabowo.
2019 untuk 2024
Persekutuan Demokrat-Gerindra sesungguhnya pilihan rasional bagi kedua partai. Gerindra membutuhkan Demokrat untuk meningkatkan kekuatan mesin politik, mengurangi beban logistik pemilu, sekaligus menambah alternatif bakal cawapres Prabowo yang sebelumnya didominasi nama-nama kader PKS.
Demokrat juga memerlukan Gerindra untuk mengusung AHY. Nama AHY, berdasarkan sejumlah survei, setidaknya berada di urutan lima besar bakal cawapres Prabowo dengan elektabilitas tertinggi.
Survei Litbang Kompas April lalu menunjukkan tingkat elektabilitas AHY sebagai cawapres Prabowo berada di kisaran 3,9 persen, sedangkan survei Charta Politika bulan Mei memperlihatkan elektabilitas putra sulung SBY itu mencapai angka 8,2 persen.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurut Wasekjen Demokrat Rachland Nashidik, koalisi dengan Gerindra setidaknya dapat menciptakan coattail effect buat partainya di Pemilu Legislatif 2019. Coattail effect ialah pengaruh yang muncul saat partai mencalonkan tokoh populer. Disebut coattail effect ketika partai mendapat limpahan suara elektoral dari tokoh tersebut.
“Kalau tidak mengusung calon sendiri, berisiko tidak mendapat suara di Pileg Serentak,” ujar Rachland.
Padahal, itu tidak boleh terjadi. Demokrat mesti meraup suara tinggi pada Pemilu Legislatif untuk mendapat jumlah kursi parlemen yang signifikan di 2019.Kursi parlemen amat krusial bagi Demokrat dan AHY. Tanpa penguasaan kursi dalam jumlah besar di DPR RI, kans AHY untuk bertarung di Pilpres 2024 boleh jadi akan beresiko.
Kenapa bisa begitu?
ADVERTISEMENT
Rupanya muara dari kekhawatiran Demokrat adalah aturan presidential threshold yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Berdasarkan Pasal 222 regulasi tersebut, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Artinya, untuk dapat mulus mengajukan AHY di Pilpres 2024, Demokrat harus merebut 20 persen kursi parlemen atau setara dengan 112 legislator di DPR.
“Jadi kalau kami (Demokrat) tidak mencalonkan presiden saat ini, di Pilpres 2024 nanti kami berisiko kehilangan hak (mencalonkan). Itu yang complicated,” kata Amir Syamsuddin.
ADVERTISEMENT
Prinsip coattail effect ini pula yang mendasari kader-kader Gerindra tetap solid mendorong Prabowo maju . Ketua DPP Partai Gerindra Desmond Junaedi Mahesa menegaskan, pencapresan Prabowo dapat mengerek suara partai di Pemilu Legislatif 2019 yang dihelat serempak dan bersamaan dengan Pemilu Presiden.
Menurut Desmond, Prabowo menyadari pentingnya coattail effect untuk Pileg tersebut, sehingga sekalipun ia kalah dalam Pilpres, setidaknya Prabowo effect dapat mengamankan jumlah kursi Gerindra di parlemen.
Ini tak cuma perkara Pilpres, tapi juga Pileg. Maka ini bukan tentang Prabowo menang atau kalah saja, tapi juga kelangsungan hidup Gerindra--partai yang selama ini ia besarkan.
“Kalau Gerindra bukan Pak Prabowo yang maju (capres), elektabilitas kader Gerindra untuk terpilih lagi (di Pileg) tidak sebesar kalau Pak Prabowo maju nyapres,” ujar Desmond.
ADVERTISEMENT
Secara teoritis, itu alasan kuat yang mestinya membuat Prabowo tak bakal menyerahkan kursi capres Gerindra kepada siapapun.
Manuver Kawan Lama
Sebelum menemui SBY pada 24 Juli, Prabowo sudah lebih dulu membicarakan penjajakan koalisi dengan Demokrat bersama dua partai yang selama ini dekat dengannya--PKS dan PAN. Sejumlah elite kedua partai Islam itu diundang Prabowo ke rumahnya di Kertanegara pada Sabtu akhir pekan, 21 Juli.
Presiden PKS Sohibul Iman, Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dalam pertemuan itu, menyatakan mendukung penjajakan koalisi oleh Demokrat. Namun, PKS memberi catatan: cawapres harus dibicarakan bersama.
Langkah Demokrat yang merapat sekaligus mencuatnya nama AHY sebagai cawapres memang membuat posisi sembilan bakal cawapres PKS jadi tak aman. Dan PKS tentu belum menyerah selagi ada waktu.
ADVERTISEMENT
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menegaskan, partainya akan memperjuangkan sembilan kadernya di pertemuan koalisi Prabowo. Bahkan bila ternyata kesepakatan soal cawapres tak sesuai dengan kepentingan partai, PKS bisa saja membentuk poros baru.
“Koalisi di kedua belah pihak saat ini masih memungkinkan ‘pindah kamar’,” ujar Mardani.
Direktur Pencapresan DPP PKS Suhud Alynudin mengatakan, kengototan PKS agar kadernya diambil sebagai cawapres, bukan tanpa alasan. Menurutnya, Gerindra dan PKS punya kesepakatan tertulis soal pasangan capres-cawapres.
“Kesepakatan tertulis dibuat Pak Prabowo dengan Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al-Jufri. Isi kesepakatan itu bahwa calon presiden dari Gerindra, dan wakil dari PKS,” kata Suhud.
Selain getol mengusulkan sembilan kadernya sebagai cawapres, PKS juga sempat menyodorkan nama Anies Baswedan sebagai capres, berpasangan dengan Ahmad Heryawan. Itu jika Prabowo legawa menyerahkan mandat kepada Anies--mantan juru bicara Tim Pemenangan Jokowi-JK yang baru 9 bulan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Anies, bersama Prabowo, juga termasuk nama-nama yang dibahas di komisi politik Ijtima Ulama. Menurut sumber di lingkaran koalisi Prabowo, Anies sesungguhnya bersedia maju sebagai capres. Namun ia tak mau ‘mengkhianati’ Prabowo yang telah mendorongnya ke kursi DKI-1.
“Saya tidak ingin menikam orang yang dulu sudah membantu dan berjuang bersama (saya). Saya tidak mau dibawa berhadapan dengan Pak Prabowo dan menjegalnya,” kata Anies kepada kumparan di kediamannya, Cilandak, Jakarta Selatan.
Nama Anies kemudian terpental dari daftar rekomendasi capres-cawapres Ijtima Ulama. Ia dieliminasi dari lis karena, menurut Yusuf Martak, “tampak masih ingin bertanggung jawab sebagai gubernur. Dia memegang jabatan (Gubernur DKI Jakarta) itu belum lama.”
Alih-alih memilih Anies, Ijtima Ulama merekomendasikan Prabowo tetap sebagai capres, dengan dua tokoh sebagai alternatif cawapres, yakni Ustaz Abdul Somad dan Salim Segaf Al-Jufri yang tak lain Ketua Majelis Syuro PKS.
ADVERTISEMENT
“PKS memang identik dengan Ijtima Ulama karena ia memainkan sentimen pemimpin muslim dan umat. Ia menggunakan momentum ini untuk menaikkan lagi daya tawar partainya agar dirangkul. Tujuannya jelas: akses pada kekuasaan,” ujar Wasisto Raharjo Jati, peneliti politik LIPI, Minggu (29/7).
Rekomendasi Ijtima Ulama menjadi beban tambahan bagi Prabowo. Rencana dia bertemu SBY Minggu malam (29/7) ditunda sampai Senin pagi (30/7), sementara masing-masing partai--Demokrat dan Gerindra--sama-sama menggelar pertemuan internal terlebih dahulu.
Saat ini, menurut Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Prabowo mengantongi empat nama cawapres. “Salim, AHY, Somad, dan satu lagi lupa.”
“Beliau perlu mendapat masukan-masukan karena kerumitan dalam mengambil keputusan (soal cawapres) ini akan jadi komplikasi tersendiri,” kata Muzani.
Kompromi soal cawapres jelas bukan perkara mudah buat Prabowo. Menggandeng kawan baru sekaligus menjaga teman lama akan jadi tantangan berat.
ADVERTISEMENT
------------------------
Simak aksi Para Penantang Jokowi di Liputan Khusus kumparan.