Syafii Maarif: Politik Praktis Akan Rusak Masjid

30 April 2018 13:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Amien Rais di Al-Azhar. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Amien Rais di Al-Azhar. (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
Kritik pedas Amien Rais terhadap pemerintah yang berkuasa mungkin sudah biasa. Sejak dulu ia memang dikenal seperti itu. Dari era Soeharto hingga Joko Widodo, tak ada satu pun pemimpin yang luput dari komentar tajam Amien Rais.
ADVERTISEMENT
“Sejak dulu sudah begitu… Sampai dia disebut lokomotif reformasi kan karena begitu. Selalu memilih posisi berhadapan dengan penguasa,” ujar tokoh NU yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD kepada kumparan, Jumat (27/4).
Pernyataan Amien belakangan bukan hanya kontroversial, tapi juga menimbulkan keresahan. Misalnya, pendiri Partai Amanat Nasional itu pada satu subuh di pertengahan April, mengelompokkan diri bersama PAN, PKS, dan Gerindra sebagai golongan yang membela Allah, sedangkan yang berseberangan dengannya dia sebut partai setan.
Ucapan Kontroversial Amien Rais (Foto: Chandra Dyah A./kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ucapan Kontroversial Amien Rais (Foto: Chandra Dyah A./kumparan)
Sepuluh hari kemudian, di hadapan para ustazah di Balai Kota DKI Jakarta, Amien--sambil meramal kekalahan Jokowi di Pilpres--minta agar tiap pengajian disisipi pesan politik.
Dua pernyataan itu lantas menimbulkan kegaduhan di masyarakat, mulai dari yang menyayangkan hingga menentang langsung.
ADVERTISEMENT
Ketua MUI Ma’ruf Amin, misalnya, meminta agar tempat ibadah, kantor pemerintah, dan pengajian tidak digunakan sebagai forum kampanye. Cendekiawan muslim Azyumardi Azra pun menuturkan hal senada. Ia menolak keras jika kantor pemerintah dan rumah ibadah dijadikan alat kampanye politik.
Menanggapi berbagai tentangan itu, Amien menjawab kalem. “Maaf, hanya orang dungu dan superbodoh (yang bilang) Islam nggak boleh bicara politik di masjid.”
Betul, politik bukannya terlarang dibicarakan di ruang-ruang ibadah. Hanya, ujar Syafii Maarif, “Jangan salah gunakan masjid untuk kepentingan jangka pendek atau pragmatisme.”
Masjid Kubah Emas, Depok. (Foto: Abdul Latif/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Kubah Emas, Depok. (Foto: Abdul Latif/kumparan)
Seperti apa seharusnya batasan pembicaraan politik di masjid? Apa sebenarnya hakikat dan fungsi masjid? Dan apa dampaknya jika masjid jadi kampanye politik?
Berikut perbincangan kumparan dengan mantan ketua umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Syafii Maarif. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Syafii Maarif. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)
Bicara politik di masjid boleh atau tidak?
ADVERTISEMENT
Syafii Maarif: Tergantung politiknya. Kalau politiknya untuk meningkatkan moral bangsa, untuk keadilan, boleh. Tapi kalau untuk kepentingan partai, itu ndak. Jelas (akan) rusak itu masjid.
Situasi politik kita kan masalahnya tidak normal. Kalau politik untuk kebaikan, untuk meningkatkan keadilan, nggak ada masalah. Tapi kalau hanya untuk kepentingan pilkada, pilpres, pasti rusak masjid itu. Apalagi orang (yang datang) ke masjid kan nggak satu, mungkin dari macam-macam partainya.
Kalau dakwah, itu kan ingin menyampaikan kebenaran, kebenaran dari Tuhan. Kalau politik kan selalu merebutkan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Lukman Hakim Saifuddin (Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
zoom-in-whitePerbesar
Lukman Hakim Saifuddin (Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
Lukman Hakim: Begini, politik itu punya dua pengertian. Ada politik yang substantif, ada politik praktis-pragmatis.
Politik substantif itu misalnya yang isinya terkait penegakan keadilan dan kejujuran. Misalnya, pemenuhan hak-hak dasar manusia, perlindungan hak asasi manusia, kesamaan di depan hukum, mencegah kemungkaran, dan macam-macam, yang hakikatnya itu adalah nilai-nilai universal dari ajaran agama.
Itulah politik dalam pengertian yang substantif. Maka kalau yang kaitannya dengan ini, wajib bagi setiap umat beragama untuk memperjuangkan itu, dalam pengertian politik substantif.
Yang kedua, politik dalam pengertian praktis-pragmatis. Ini yang harus dicegah dibicarakan di rumah-rumah ibadah. Karena semua jamaah rumah ibadah itu aspirasi politik praktisnya beragam, berbeda-beda.
Ketika rumah ibadah itu dijadikan tempat untuk memperbincangkan politik praktis pragmatis, maka akan menimbulkan sengketa atau konflik di antara jamaah itu sendiri, karena aspirasi mereka berbeda-beda--yang terkait dengan praktis pragmatis itu. Oleh karenanya, harus klir dulu apa yang dimaksud membicarakan politik.
ADVERTISEMENT
Kalau rumah ibadah jadi tempat politik praktis, dampaknya bagaimana?
Syafii Maarif: Terjadi polarisasi dan perpecahan dalam masyarakat, dan (itu) sedang terjadi.
Oleh sebab itu takmirnya, pengurus masjidnya, harus diingatkan soal masalah ini. Di masjid itu bicara yang menyejukkan, yang menegakkan persaudaran, untuk menegakkan kepentingan umum, bukan kepentingan golongan.
Itu (takmirnya) diperingatkan. Kan ada Kementerian Agama juga, ya. Atau, masjid di bawah NU, NU yang turun. Kalau Muhammadiyah, Muhammadiyah yang turun. Kalau Persis (Persatuan Islam), Persis yang turun. Diingatkan takmirnya agar tidak menyalahgunakan masjid.
Suasana di Masjid Istiqlal (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Masjid Istiqlal (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Lukman Hakim: Kalau politik praktis-pragmatis misalnya, “Pilihlah si A, jangan pilih si B. Pilihlah Partai A, jangan pilih Partai B.” Sudah menyebut nama, sudah menyebut partai. “Pilihlah Presiden A, jangan capres yang itu”.
ADVERTISEMENT
Itu akan membelah umat. Dan kalau itu yang dilakukan, maka secara langsung akan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Karena esensi dari bangsa dan negara ini adalah bangsa yang religius, yang agamis.
Bagaimana sebaiknya menyikapi hal-hal semacam itu jelang pemilu?
Syafii Maarif: Masyarakat harus lebih selektif, lebih dewasa. Kalau ada hal-hal yang dianggap tidak baik, masyarakat harus mengingatkan takmirnya, mengingatkan pengurus masjid itu. Jangan terjadi perpecahan akibat politik. Dan itu pengalaman, sejarah pahit tentang masalah ini.
ADVERTISEMENT
Lukman Hakim: Regulasi jelas melarang berkampanye di rumah ibadah. Ketika Anda mengatakan “Pilihlah si A, jangan pilih si B. Pilihlah Partai A, jangan pilih Partai B,” itu artinya Anda sedang berkampanye. Harus dihindari rumah ibadah yang suci dijadikan tempat (kampanye) seperti itu.
April tahun lalu, 2017, saya mengeluarkan sembilan seruan ceramah di rumah ibadah. Salah satu butirnya adalah agar ceramah-ceramah di rumah ibadah--dalam artian luas, tidak hanya masjid, tapi juga gereja, wihara macem-macem--harus menjaga sembilan poin itu, yang salah satunya (rumah ibadah) tidak dijadikan tempat kampanye.
Sembilan butir ketentuan ceramah agama di rumah ibadah yang dimaksud Lukman itu ialah:
1. Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan peradamaian umat manusia.
ADVERTISEMENT
2. Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
3. Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun, dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama mana pun.
4. Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasihat, motivasi, dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kapasitas diri, pemberdayaan umat, penyempurnaan akhlak, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa, serta kesejahteraan dan keadilan sosial.
5. Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konsensus Bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
ADVERTISEMENT
6. Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan, ataupun merusak ikatan bangsa.
7. Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan, dan/atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktek ibadah antar/dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif.
8. Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis.
9. Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.
Masjid Raya Medan (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Raya Medan (Foto: Wikimedia Commons)
------------------------
Ikuti terus Kontroversi Amien Rais di Liputan Khusus kumparan.