Tabiat Pemerintah Hadapi Kekalahan Sidang

14 Juni 2020 15:29 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) mengamati bangunan yang terbakar saat kerusuhan lalu di Pasar Wouma, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10). Foto: ANTARA FOTO/Anyong
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) mengamati bangunan yang terbakar saat kerusuhan lalu di Pasar Wouma, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10). Foto: ANTARA FOTO/Anyong

Pemerintah dianggap punya tabiat buruk menghadapi kekalahan di pengadilan. Mereka sering kali memilih mencari celah upaya hukum daripada mengintrospeksi kebijakan.

Abdul Manan, salah satu penggugat kebijakan pemblokiran internet di Papua pada Agustus 2019 lalu, tak punya harapan muluk-muluk ketika mendengar vonis majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada Rabu lalu (3/6). Majelis hakim PTUN Jakarta kala itu memutuskan bahwa pemerintah melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan pemblokiran.
Manan ingin pemerintah tak sembarangan membatasi hak akses informasi tanpa dasar hukum sesuai perundangan. Pemblokiran dan pembatasan internet sendiri dilakukan selepas insiden ujaran kebencian di Asrama Papua di Surabaya pada Agustus 2019. Beberapa demonstrasi digelar di beberapa daerah di Papua.
“Pemerintah boleh membuat aturan membatasi HAM tetapi lakukan dengan layak, jangan hanya konferensi pers Kominfo, melainkan harus dilakukan sesuai dengan UU,” ujar Ketua AJI Indonesia ini melalui konferensi pers secara virtual pada Jumat (4/6).
Kementerian Komunikasi dan Informatika pun lantas mengeluarkan siaran pers mengumumkan pemblokiran layanan data di Papua dan Papua Barat melalui siaran pers No. Siaran Pers No. 155/HM/KOMINFO/08/2019 pada pada tanggal 21 Agustus dan Siaran Pers No. 159/HM/KOMINFO/08/2019 pada 23 Agustus.
Pemblokiran ini baru dibuka pada 11 September melalui Siaran Pers No. 179/HM/Kominfo/09/2019. Dua konferensi pers inilah yang menjadi dasar hukum pemblokiran dan pembatasan sambungan internet. Padahal di masa kini akses informasi merupakan bagian dari hak asasi.
Seharusnya kebijakan itu dilakukan berdasar kondisi darurat yang ditetapkan oleh presiden. Putusan hakim tidak meminta ganti rugi atau permintaan maaf. Sehingga jika pemerintah cukup bijak, kata dia, maka lebih baik jika mengikuti pertimbangan hakim.
“Yang disampaikan hakim adalah nasihat untuk pemerintah melakukan good governance, ini kan salah satu prinsip kehati-hatian,” jelas dia.
Amar putusan hakim terkait gugatan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat terhadap Presiden dan Menkominfo Foto: Dok. sipp.ptun-jakarta.go.id
Gugatan PTUN merupakan ujung dari pendapat dua lembaga yang tak ingin didengar oleh pemerintah pada saat pemblokiran itu dilakukan. AJI dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) sudah menyurati Kominfo ketika kebijakan itu dikeluarkan namun surat itu tak berbalas.
Kebijakan ini memiliki dampak besar bagi masyarakat yang sudah memasuki era digital. beberapa usaha terdampak atas kebijakan ini, termasuk media di Papua. Selain itu komunikasi melalui internet baik itu jual beli maupun komunikasi juga berhenti total ketika pemblokiran dilakukan.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, yang duduk sebagai kuasa hukum gugatan tersebut menyebutkan putusan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemblokiran internet yang dilakukan pemerintah bertentangan dengan kontitusi. Gugatan memang tidak menuntut permintaan maaf pemerintah tetapi seharusnya ada kesadaran dari pemerintah bahwa tindakan mereka salah.
“Ini problem serius berarti kebijakan tersebut dilakukan tanpa pegangan hukum dan melawan konstitusi padahal ketika mereka menjabat semuanya diambil sumpah untuk taat konstitusi,” jelas Isnur.
Selama persidangan pemerintah lebih banyak berargumen soal kondisi darurat harus dilakukan karena persebaran berita hoax. Padahal kondisi darurat ini seharusnya ditetapkan oleh presiden. Ketika kebijakan itu dikeluarkan, presiden belum menetapkan status darurat.
Putusan PTUN perkara pemblokiran internet di Papua bukan catatan pertama kekalahan hukum pemerintah. Tetapi pemerintah justru tidak menunjukkan kewibawaan hukum. Misalnya saja dalam gugatan class action atas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah pada 2015 yang dilayangkan oleh Gerakan Anti Asap (GAAs).
Warga berpose membawa poster bertuliskan keprihatinan kebakaran hutan dan lahan di kawasan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (19/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama
Isi gugatan ini adalah pemenuhan kewajiban pemerintah atas kebakaran hutan yang terus terjadi di Kalimantan Tengah. Beberapa diantaranya adalah menerbitkan regulasi penanganan dan pencegahan karhutla sesuai peraturan pelaksanaan UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan lain.
Selain itu pendirian fasilitas khusus berupa rumah sakit paru dan penyakit terkait polusi udara akibat kebakaran hutan.
Putusan kasasi di Mahkamah Agung No. 3335 K/PDT/2018 pada 16 Juli 2019 menyebutkan pemerintah wajib melaksanakan gugatan itu. Tetapi bukannya melaksanakan pemerintah justru terus melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK).
Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Wahyu Perdana menyatakan sikap pemerintah ini menunjukkan ego berlebihan sebagai pihak berperkara. Hak untuk melakukan upaya hukum memang terbuka tetapi substansi tuntutan itu sebenarnya adalah bentuk kewajiban pemerintah atas bencana ekologi yang terjadi.
“Jadi bijak atau tidaknya pemerintah bisa dilihat dari itu. Isi gugatan ini kan seharusnya sudah menjadi kewajiban pemerintah dengan ada atau tidaknya gugatan. Kok malah berkutat urusan upaya hukum, ini artinya pemerintah tidak peduli dengan warganya,” tegas dia.
Perkara ini sudah berjalan sejak berjalan pada 2016. Karhutla terus terjadi dalam berbagai skala, pastinya Kalimantan Tengah menjadi wilayah terdampak tetapi pemerintah sendiri justru sibuk melayangkan upaya hukum seperti banding dan kasasi daripada menuntaskan kewajiban.
Kini tim dari Walhi dan kelompok warga tengah merumuskan tanggapan atas PK tersebut. Mereka khawatir proses hukum tidak akan berkesudahan sehingga pemenuhan hak dilupakan. Apalagi, kata Wahyu, jika nanti diatas PK lalu ada PK lagi maka tidak akan selesai perkara ini.
Sejumlah warga mengantre di kantor Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Cabang Medan, Sumatera Utara. Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Sikap yang sama juga juga ditunjukkan pemerintah ketika menanggapi putusan Mahkamah Agung soal pembatalan Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada Maret lalu. Putusan itu menolak skema kenaikan iuran BPJS yang dilakukan pemerintah.
Tetapi putusan itu justru disambut dengan Perpres baru, yakni Perpres Nomor Peraturan Presiden No. 64 tahun 2020 Tentang Jaminan Kesehatan yang sama-sama berisi soal kenaikan iuran BPJS pada Mei lalu. Walaupun memiliki skema kenaikan iuran yang sedikit berbeda tetapi pertimbangan hakim untuk tidak membebankan biaya kepada peserta BPJS seperti tak digubris.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari berpendapat tabiat pemerintah melakukan introspeksi dan menghindari pemenuhan kewajiban sesuai amanat perundangan menunjukkan kesadaran hukum yang rendah. Memang hukum memberikan peluang upaya banding, kasasi, hingga PK tetapi pemerintah selaku penyelenggara negara sewajarnya bijak menyadari kewajibannya.
“Ini yang kemudian pemerintahan, termasuk presiden, harus belajar untuk menghormati hukum itu. Dan penghormatan hukum itu luar biasa semestinya berdampak kepada penyelenggara pemerintahan yang mematuhi karena orang akan menilainya bahwa mereka orang yang taat hukum,” jelas dia.
Ia khawatir jika kemenangan di persidangan tak diikuti oleh sikap bijak maka hukum akan kehilangan kewibawaan. Upaya eksekusi, kata dia, berada di tangan eksekutif makanya pihak pemerintah seharusnya melakukan tindakan benar terhadap putusan peradilan.
Sekjen Nasdem Johny G Plate di Kantor DPP Nasdem. Foto: Andesta Herli WIjaya/kumparan
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate masih mempertimbangkan langkah hukum atas putusan PTUN soal pemblokiran internet di Papua. Ia akan membaca amar putusan itu untuk menentukan langkah hukum kelak.
Tetapi dia memastikan belum menemukan surat perintah pemblokiran internet di Papua. Surat ini menjadi bukti penting atas kebijakan pemerintah itu. “Dan juga tidak menemukan informasi adanya rapat-rapat di Kominfo terkait hal tersebut,” ucap dia, Rabu lalu (3/6).
kumparan berupaya menghubungi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono dan Tenaga Ahli Utama KSP Abetnego Tarigan untuk meminta tanggapan. Namun pesan maupun telepon belum berbalas.
* * *
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
* * *
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.