Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Tantangan Berat Menanti Paus Baru Pengganti Paus Fransiskus
7 Mei 2025 19:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang dicapai Paus Fransiskus selama 12 tahun masa kepausannya. Meski demikian, ada banyak juga pekerjaan yang belum usai yang dia tinggalkan, yang akan menjadi tantangan berat penggantinya nanti.
ADVERTISEMENT
Setelah para kardinal selesai memberikan hak suaranya di Kapel Sistina, paus ke-267 bakal memutuskan apakah akan melanjutkan kebijakan Paus Fransiskus, mengubahnya, atau meninggalkannya sama sekali. Apakah paus baru akan memprioritaskan imigran, lingkungan dan kebijakan keadilan sosial yang Paus Fransiskus perjuangkan, atau memperjuangkan isu-isu lain?
Berdasarkan laporan AP yang dikutip Rabu (7/5), berikut sejumlah tantangan yang akan dihadapi paus baru:
1. Peran Perempuan di Gereja
Paus Fransiskus banyak mempromosikan perempuan ke posisi pimpinan di Vatikan dibandingkan paus pendahulunya, dan penggantinya harus memutuskan apakah akan melanjutkan hal itu, mundur, atau malah mengubah arah.
Ini bukan isu kecil. Sebab, perempuan Katolik melakukan banyak pekerjaan gereja di sekolah-sekolah dan rumah sakit, dan biasanya bertanggung jawab mewariskan iman ke generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Namun, mereka sering mengeluhkan status kelas dua di institusi yang hanya menyediakan imam untuk laki-laki. Sebagian akhirnya meninggalkan institusi itu.
Para biarawati berbondong-bondong meninggalkan institusi itu, baik karena berkurangnya jumlah anggota atau memang mengundurkan diri. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang masa depan ordo keagamaan perempuan.
Vatikan mengatakan jumlah biarawati di seluruh dunia menyusut sekitar 10 ribu orang per tahun dalam satu dekade terakhir. Di akhir 2022, angkanya mencapai 599.229. Sementara pada 2012, jumlah biarawati di seluruh dunia mencapai 702.529.
Paus baru harus menanggapi harapan perempuan yang tidak hanya berpartisipasi dalam tata kelola gereja, tapi pengakuan yang lebih besar.
2. Polarisasi Kaum Progresif dan Tradisionalis
Dalam beberapa tahun terakhir, beredar surat-surat anonim di kalangan pejabat Vatikan yang mengkritik gaya kepemimpinan Paus Fransiskus.
ADVERTISEMENT
Masa kepemimpinan Paus Fransiskus dinilai sebagai bencana, otokratis, bahkan tidak toleran terhadap perbedaan pendapat. Kritik yang paling serius adalah ambiguitas keimanan dan moral yang membingungkan umat.
Surat-surat itu menggaris bawahi polarisasi yang telah lama terjadi di gereja antara kaum progresif dan tradisionalis yang semakin buruk di masa kepausan Paus Fransiskus. Sehingga, Paus yang baru diminta untuk fokus memperbaiki dan menegakkan kembali kebenaran yang perlahan-lahan dikaburkan atau hilang di antara banyak umat Katolik.
Polarisasi itu dilaporkan sangat terasa di Amerika Serikat. Di sana, semua orang yang menggunakan media sosial menantang Vatikan atau bahkan perspektif gereja lokal.
3. Pelecehan Seksual yang Dilakukan Pastor
Banyak pemimpin gereja yang menganggap kasus pelecehan seksual yang dilakukan para pastor sudah berlalu. Namun, para korban dan pendukungnya berharap paus baru dapat menangani kasus itu sebagai prioritas utama.
ADVERTISEMENT
Paus Fransiskus dan Paus Benediktus XVI mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri kasus dan upaya menutupi kejahatan itu, mengubah undang-undang gereja untuk menghukum pelaku pelecehan dan pimpinan pastor yang menyembunyikan kasus itu.
20 tahun sejak skandal kekerasan seks pertama muncul di AS, belum ada transparansi dari Vatikan terkait seberapa dalam kasus ini atau bagaimana kasus ini ditangani. Paus baru tidak hanya harus menangani yang ada, tapi juga kemarahan yang terus berlanjut dari umat Katolik dan pengungkapan kasus di berbagai belahan dunia tempat skandal itu belum terungkap.
Menjelang konklaf, kelompok penyintas dan pendukung mereka menggelar konferensi pers di Roma untuk mempublikasikan masalah itu. Mereka membuat basis data daring untuk menyinggung para kardinal yang mengacuhkan kasus-kasus itu dan menuntut Vatikan mengadopsi kebijakan tanpa toleransi untuk melarang pelaku pelecehan dalam tugas pelayanan.
ADVERTISEMENT
4. Pendekatan ke Kaum LGBTQ+
Paus Fransiskus pernah berkata "Siapa saya untuk menghakimi?" saat ditanya mengenai uskup yang gay di Vatikan dalam wawancara pada 2013 lalu. Paus Fransiskus berusaha meyakinkan kaum gay bahwa Tuhan mencintai mereka apa adanya, bahwa menjadi homoseksual bukan kejahatan, dan semua orang diterima di gereja.
Penerusnya harus memutuskan apakah harus mengikuti pendekatan itu atau tidak. Pada 2024, uskup di Afrika mengeluarkan perbedaan pendapat terkait keputusan Paus Fransiskus mengizinkan pastor untuk memberkati pasangan sesama jenis.
"Kami menginginkan Gereja Katolik yang bersatu, tapi kita harus berpegang teguh pada dasar-dasarnya. Injil tidak boleh berubah sama sekali karena kelemahan manusiawi kita sendiri," kata pemimpin awam di Uganda, Ndyanabo.