Sudut Pandang Dunia Medis tentang Keperawanan

30 November 2019 10:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi wanita. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kabar tak sedap datang dari penyelenggaraan SEA Games 2019. Menurut informasi yang beredar, salah satu atlet tim senam artistik, Shalfa Avrila Siani (17), dipulangkan secara paksa oleh pelatihnya karena alasan tak perawan.
ADVERTISEMENT
Isu ini langsung dibantah oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Melalui keterangan tertulis, Kemenpora menyebut salah satu pengurus PERSANI (Persatuan Senam Seluruh Indonesia) memastikan pemulangan Shalfa tak terkait persoalan virginitas, melainkan murni karena masalah performa dan prestasi.
"Yang benar, kata Pak Indra (pelatih Shalfa di Jawa Timur) bahwa atlet tersebut indisipliner dan kurang fokus yang berdampak prestasi menurun, sehingga diputuskan pelatihnya tidak disertakan di SEA Games 2019. Dan digantikan oleh atlet lain yang peringkatnya jauh lebih tinggi," tulis pihak Kemenpora, dalam surat pernyataannya.
Ilustrasi Vagina Foto: Shutterstock
Sementara itu, pihak keluarga Shalfa berinisiatif membawanya ke dokter untuk pemeriksaan medis setelah mendapat tudingan tidak perawan. Hasilnya, tim dokter memastikan bahwa selaput dara Shalfa masih dalam kondisi untuh, atau hymen intact.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana dunia medis memandang keperawanan? Apakah selaput dara berhubungan dengan status perawan seorang perempuan?
Menurut dr Ni Komang Yeni, dokter spesialis Spesialis Obstetri dan Ginekologi, keperawanan dalam definisi awam adalah selaput dara yang utuh. Banyak dipercaya, ketika selaput dara rusak, maka seseorang sudah pernah berhubungan seksual.
Padahal, banyak faktor penyebab selaput dara bisa koyak, seperti misalnya akibat kecelakaan atau karena aktivitas fisik seperti berolahrraga.
“Jadi ya kita enggak tahu untuk kasus ini masalahnya seperti apa. Tapi yang jelas dalam dunia medis, enggak ada tuh diagnosis keperawanan,” ujar dr Ni Komang Yeni, saat dihubungi kumparanSAINS, Jumat (29/11).
ilustrasi seks Foto: Shutterstock
Pada praktiknya, yang kita tahu, rumah sakit menyediakan tes keperawanan. Namun ternyata, penyebutan istilah “tes keperawanan” ini adalah sebuah kekeliruan. Praktisi medis menyebutnya sebagai tes selaput dara.
ADVERTISEMENT
“Kita menyebutnya bukan tes keperawanan, tapi tes selaput dara. Untuk melihat selaput daranya utuh atau tidak, itu saja. Tapi rusaknya (selaput dara) karena apa, kita enggak bisa kasih tahu. Kan enggak tahu, belum tentu karena hubungan seksual. Mungkin karena benturan atau kecelakaan atau apapun aktivitas yang lain. Kita enggak tahu penyebabnya,” ujarnya.
Dengan kata lain, hasil tes selaput dara ini tak bisa dijadikan semacam vonis bagi seorang perempuan atas status perawan atau tidak perawan.
“Kita bisa ‘Oke, saat ini selaput daranya utuh, oke sudah ada robekan di jam sekian jam sekian gitu’. Itu saja, tapi kita enggak menyebut ‘Oh, ini anak udah enggak perawan’. Itu enggak ada karena itu (keperawanan) bukan suatu diagnosis medis,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Adapun dalam beberapa kasus, dokter kerap menemukan pasien dengan selaput dara utuh meskipun telah aktif secara seksual, bahkan telah melalui proses persalinan baik normal maupun caesar. Penyebabnya, kelenturan jaringan otot di sekitar organ kewanitaan tiap orang berbeda-beda. Bisa juga karena kolagen pembentuk selaput dara punya ketebalan yang baik.
“Jadi konotasi bahwa pada saat malam pertama berhubungan pasti harus berdarah, itu salah, itu mitos. Jadi tidak selalu (harus berdarah). Kalau selaput daranya sangat tebal, kemudian lentur, tidak akan terjadi pendarahan,” lanjut dr Ni Komang.
Terakhir, ia menambahkan bahwa selain keperawanan bukanlah diagnosis medis, keperawanan juga bukan diagnosis suatu penyakit. Melainkan hanyalah status yang diketahui pribadi masing-masing.