Indie atau Mainstream, Film Indonesia Mesti Merdeka

30 Maret 2017 14:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Film Indie Indonesia. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Film Indie Indonesia. (Foto: Dok. Istimewa)
Beberapa waktu lalu, Istirahatlah Kata-Kata sempat menjadi perbincangan para penggemar film dan sineas. Satu di antara obrolan itu misal mempertanyakan, “Istarahatlah Kata-Kata itu sebenarnya film indie atau bukan, sih? Kok masuk ke jaringan bioskop besar?” Obrolan tersebut kemudian dibubuhi ragam pertanyaan susulan mengenai komersialisasi dan idealisme para sutradara film Indonesia. Mereka yang idealis dan tak mau diatur oleh “kekuatan besar” kerap disebut “indie” alias independen. Tapi sebenarnya film indie itu apa sih? Film indie sesungguhnya ialah karya alternatif di luar film-film yang diputar di major studios, dan didistribusikan ke penonton lewat jalur mandiri. Secara umum, film indie memiliki karakteristik jumlah rilis terbatas, namun tak menutup kemungkinan dapat ditayangkan lebih luas dengan proses pemasaran yang juga lebih besar. Cakupan penayangan film indie umumnya berada pada tataran lokal, nasional, maupun festival film internasional. Meski begitu, tak jarang film indie mampu bersaing dengan film mainstream, bahkan mampu bertanding dalam ranah Oscar.
Ilustrasi Film. (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Film. (Foto: Pexels)
Sejarah film indie dimulai pada 1908, diawali dengan kemunculan Edison Trust yang didirikan pengusaha dan inventor Thomas Alva Edison sebagai perusahaan yang memegang hampir seluruh hak paten atas karya berbentuk motion pictures atau gambar hidup (bergerak) di Amerika Serikat. Monopoli dalam industri film pun menjadi hal tak terhindarkan di benua Amerika. Para sineas “proletar” lantas mulai bereaksi ketika Edison Trust mulai menancapkan kuku lebih kuat dalam industri film, dan mencoba mengontrol karya seni. Saat itu, Edison Trust menguasai berbagai lini perfilman AS, sampai-sampai teknologi kamera film dan proyektor berada di bawah kendali patennya. Kekhawatiran lantas menyeruak di benak para sineas. Apalagi Edison Trust rajin mengirimkan gugatan hukum terhadap mereka yang mencoba-coba menggarap film di luar “kuasa” perusahaan itu. Akhirnya, sejumlah sineas berpindah dari barat ke timur California untuk menghindari jangkauan cengkeram Edison Trust. Mereka ingin menggarap film secara mandiri, tanpa aturan mengekang. “Pembangkangan” para sineas tersebut tak disangka membawa angin segar bagi dunia perfilman yang tak ingin mengikuti arus dan dikendalikan oleh elite industri film.
Sundance Film Festival (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Sundance Film Festival (Foto: Flickr)
Setelah bertahun-tahun menentang belenggu monopoli industri film, akhirnya para sineas itu mengembangkan konsep mengenai festival film pada periode 1960-1970. Tujuannya untuk mempromosikan film-film yang digarap di luar rantai studio-studio besar. Konsep terus dikembangkan, hingga akhirnya Sundance Film Festival muncul pada 1985 setelah mengakuisisi US Film Festival. Sineas besar idealis seperti Jim Jarmusch, Kevin Smith, Robert Rodriguez, Quentin Tarantino, pun lahir dan besar dari rahim Sundance Film Festival tahun 1990-an itu. Kemunculan festival film mendorong terbentuknya istilah “film indie” sebagai genre baru. Ia dianggap entitas di luar film mainstream yang biasa bertumpu pada permintaan pasar. Namun, dengan memandang film indie dan film mainstream sebagai identitas yang berbeda, sesungguhnya terjadi pengkotak-kotakan yang membatasi ruang gerak para sineas.
Yosep Anggi Noen (Foto: Dok. indonesianfilmcenter.com)
zoom-in-whitePerbesar
Yosep Anggi Noen (Foto: Dok. indonesianfilmcenter.com)
Yosef Anggi Noen, sutradara Istirahatlah Kata-Kata, dalam wawancara dengan kumparan (kumparan.com), berpendapat tiap film pada dasarnya merdeka dan tak bisa dibatasi oleh kekang mainstream atau indie. “Mungkin kemerdekaan film yang saya bikin itu lebih karena saya didukung oleh sebuah lingkungan yang mampu memberikan keleluasaan bagi saya untuk berpendapat,” kata dia, Kamis (23/3). Ia melanjutkan, “Di industri mainstream, membuat film juga menjadi sebuah proses yang harus bersinergi dan bernegosiasi dengan banyak hal, misalnya modal, jadwal, atau hal-hal lain yang bisa jadi tidak perlu dilakukan oleh orang-orang semacam saya.” Istirahatlah Kata-Kata garapan Anggi merupakan salah satu film indie yang akhirnya mulai ditayangkan melalui rantai distribusi lebih luas. Berawal dari festival film internasional, Istirahatlah Kata-Kata kemudian dibawa kembali ke dalam negeri untuk ditayangkan di bioskop komersial.
Wregas Bhanuteja. (Foto: Instagram: @wregas_bhanuteja)
zoom-in-whitePerbesar
Wregas Bhanuteja. (Foto: Instagram: @wregas_bhanuteja)
Anggi hanyalah satu dari sineas Indonesia lain yang mampu membawa film indie karya mereka ke ranah distribusi lebih luas. Ia tentu tak sendiri. Sebut saja Wregas Bhanuteja dengan Prenjak-nya yang berhasil memenangi festival film pendek di Cannes, Prancis. Sayangnya, komunitas-komunitas film indie ini kerap terhambat karena ekosistem yang kurang kondusif. Abduh Aziz, Direktur Utama Produksi Film Negara (PFN) pun mengamini bahwa film indie butuh ekosistem khusus untuk berkembang. “Dia (film indie) tidak masuk dalam kerangka big business of film industry. Dia harus punya ekosistem sendiri biar bisa tumbuh. Jangan bayangkan bahwa kalian akan diserap oleh industri mainstream. Yang kayak gini harus dibangun sendiri ekosistemnya, termasuk sistem distribusinya,” kata Abduh. Hingga saat ini, beberapa film indie memang kerap terkendala proses pemodalan hingga masalah distribusi yang kerap masih dinomorduakan. Padahal, film indie punya hak sama untuk dinikmati khalayak luas. Dengan kebebasan berekspresi yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini, pertumbuhan produksi film Indonesia sesungguhnya harus berbanding lurus dengan keragaman ide para sineas, dan bisa dinikmati masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Film Nasional! Simak terus kisah-kisah tentang dunia perfilman Indonesia di kumparan.