Menyelami Jiwa Manusia Lewat Mata Kamera Ocha

2 Februari 2017 11:24 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Rosa Panggabean (Foto: Muhammad Faisal)
Sore hari yang wangi di sebuah kedai kopi di Cikini, Jakarta. Diiringi wangi gilingan kopi, kisah pun didaraskan.
ADVERTISEMENT
Namanya Rosa Panggabean, fotografer ANTARA. Belasan tahun ia berkiprah di dunia fotografi. Memulai tahun 2003, Rosa, yang akrab dipanggil Ocha, aktif di sebuah pers kampus jurusan.
Keputusannya masuk ke dunia fotografi berangkat dari cintanya untuk bertualang.
“Selayaknya orang-orang mencari jati diri, mencari-cari klub mana yang cocok dengan minat. Akhirnya ketemu dengan klub fotografi ini yang isinya anak-anak jalan dan makan. Jadi motivasi awalnya sih sebenernya, seneng traveling,” kata Ocha, mengawali ceritanya.
Pikat seni fotografi begitu kuat. Terlebih bagi Ocha yang pendiam. Ia misalnya, memilih diam di hadapan orang yang baru dikenal.
“Gue itu kan pemalu ya,” ujarnya, tergelak.
Ocha merasa, dengan sifatnya yang cenderung pendiam itu, fotografi bisa jadi medium paling tepat untuk menyampaikan tiap kata dan pesan yang muncul dari hatinya.
ADVERTISEMENT
Maka, fotografi menjadi dunia Ocha. Ke manapun pergi, kamera selalu ia bawa. Alat itu jadi sarana menyalurkan mata hati dan pikirannya.
Kamera pertama Ocha adalah Nikon FM10 dari ayahnya. Ia memakainya untuk mengabadikan berbagai momen di Yogya, kota tempatnya kuliah.
Dengan kamera itu, Ocha makin menyelami dunia fotografi. Lambat laun, Ocha sadar ia lebih senang mengambil foto dengan sudut human interest. Ia begitu jatuh cinta dengan manusia dan karakter mereka.
Bagi Ocha, tiap individu memiliki kisah masing-masing yang akan terpancar melalui foto yang ia ambil. Pun, ia merasa mengabadikan foto seseorang dengan kameranya merupakan salah satu cara untuk berkomunikasi dengan orang tersebut.
Foto Ocha dalam kisah The Aftermath of Mount Kelud (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Lulus kuliah, Ocha bergabung dengan media cetak Jawa Pos. Ia ditempatkan di Surabaya, Jawa Timur. Kala itu, ia fotografer perempuan pertama yang dipekerjakan di sana.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu kuota yang diterima 3 orang: 2 laki-laki, saya perempuan sendiri,” ujarnya.
Ocha sempat merasa dianggap tak mampu meliput suatu kejadian yang membutuhkan ketahanan fisik kuat. Ia ditempatkan di desk gaya hidup untuk meliput kuliner dan fesyen. Padahal ia ingin meliput kejadian yang lebih menantang.
Tapi, Ocha mencoba menikmati tugasnya. Namun rasa cemburu datang ketika salah satu temannya diberi tugas meliput bencana Lumpur Lapindo.
“Waktu itu kan gue di Surabaya, deket banget dengan Lapindo. Gue jealous setengah mati karena temen gue itu diposin di situ, di Sidoarjo,” kata Ocha.
Setelah satu bulan “dipaksa” bertahan di rubik tersebut, akhirnya Ocha diputar ke rubik Metro, rubik yang fokus pada topik politik, sosial, ekonomi yang terjadi di kota Surabaya.
ADVERTISEMENT
Di rubik ini, Ocha bisa menjelajah dan mengeksplorasi lebih banyak hal melalui liputannya.
Ocha jatuh hati dengan isu sosial budaya, terutama soal identitas. Dalam beberapa photo story yang ia buat, isu identitas menjadi sudut yang ia gunakan.
Salah satu karya yang pernah ia buat adalah photo story bertajuk “Dia yang Memilih Nasibnya Sendiri,” berkisah tentang seorang perempuan yang bekerja di kapal tanker.
“Dia yang Memilih Nasibnya Sendiri” bukan satu-satunya karya apik yang pernah ia buat. Pada 2014, Ocha membuat sebuah rangkaian photo story bertajuk Man and Heirloom, kisah mengenai peringatan Maulid Nabi di Keraton Kanoman, Cirebon.
Foto Ocha dalam kisah "Men and Heirloom" (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Dalam membuat karya ini, Ocha mengaitkan perayaan Maulid Nabi dengan isu identitas yang tengah ia dalami. Karena angle yang ia ambil mampu menghadirkan sebuah cerita yang unik dan khas Indonesia, Ocha terpilih menjadi penerima beasiswa Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam pada 2014.
ADVERTISEMENT
Ocha dikirim ke Belanda dan mendapatkan pelatihan langsung di Noor Amsterdam. Ia mendapat pengalaman berharga di Negeri Kincir Angin.
Hingga kini, Ocha tak berhenti belajar. Ragam cerita manusia telah ia potret lewat mata kameranya. Ia berharap, kisah mereka akan jadi abadi.
Lihat hasil jepretan Ocha di sini