Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tragedi Afghanistan dalam Lensa Adek Berry
2 Februari 2017 15:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Perempuan berkerudung itu datang dengan membawa kamera di tangan. Kamera itu tampak berat, namun ia membawa dengan mudah. Terlihat ringan saja di tangannya.
ADVERTISEMENT
Wajar, karena kamera bagian dari hidupnya. Kepanjangan tangan Adek Berry --nama perempuan itu.
Adek Berry sudah malang melintang di dunia fotografi. Setidaknya 25 tahun ia bergelut di dalamnya. Baginya, fotografi mampu menghadirkan sebuah pesan yang sangat personal dan menyentuh, tanpa intervensi.
“Fotografi itu karya yang individual. Orang bisa menaruh nama Adek Berry saja, tidak menaruh nama editor. Itu akan melekat terus sebagai karya kita,” kata dia saat berbincang dengan kumparan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, bulan lalu.
Adek Berry bukan fotografer biasa. Dia dipercaya pergi ke daerah rawan konflik, dan karenanya harus terus menempa diri menjadi pribadi yang tangguh.
Di berbagai area konflik itu, ia harus mampu melindungi diri sendiri, cepat tanggap dengan berbagai situasi termasuk yang terburuk, dan bergerak lincah dari satu titik ke titik lain walau membawa kamera begitu berat.
ADVERTISEMENT
Pengalaman pertama Adek Berry di wilayah konflik ia rasakan saat dikirim meliput ke Ambon, Maluku, tahun 1999.
Saat itu suasana Ambon begitu mencekam. Ia harus berhati-hati dan terus waspada. Ini sungguh-sungguh liputan dengan taruhan nyawa. Salah gerak sedikit, senjata tajam bisa menancap di tubuh, dan nama tinggal kenangan.
“Saya dan teman sempat terjebak di lokasi yang dekat sekali dengan dua kelompok bertikai. Mereka perang pakai parang. Temanku langsung ngomong, ‘Dek, jangan motret.’ Kami juga menghitung ada tidak tempat untuk lari,” kisahnya.
Selain Ambon, Adek pun meliput konflik Poso dan Timor Timur. Pacu adrenalin dan tetes keringat menjadi penanda betapa mencekam dan berbahaya situasi yang ia hadapi dan abadikan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Adek bukan cuma memotret di Indonesia, tapi sampai Afghanistan. Lagi-lagi wilayah konflik.
Ia sudah tiga kali terbang ke Afghanistan, dan karenanya membawa beribu kisah yang tak pernah terkuak sebelumnya.
Adek Berry pertama kali menjejakkan kaki ke Afghanistan pada 2011. Saat itu ia ikut Korps Marinir Amerika Serikat US Marinine.
“Aku ke sana tahun 2011 embedded US Marine. Kantor ingin bikin tentang female US Marine. Tentang perempuan,” ujarnya.
Tahun 2011 itu, durasinya singgah di Afghanistan tak terlalu lama, hanya sebulan. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk mengungkap kisah-kisah yang mungkin tak diketahui banyak orang di dunia.
Tak cukup sekali, Adek Berry kembali terbang ke Afghanistan. Kali itu ia meliput secara independen, dan karenanya dapat menggali lebih banyak kisah menarik dan unik.
ADVERTISEMENT
“Bisa ‘touching the ground’. Kita bisa bicara dengan orang lokal sedekat mungkin. Sampai kita mau gali apapun bisa. Bahayanya sih sama,” kata dia, mengenang.
Adek lantas teringat dengan satu pengalaman mencekam yang ia hadapi di Afghanistan. Saat itu 20 September 2011, dan baru hari ketiga sejak ia menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di negeri itu.
Hari itu, bom bunuh diri meledak tak jauh dari kantor cabang Agence France-Presse (AFP). AFP ialah tempat bekerja Adek Berry.
Bom diledakkan dalam jarak 200 meter dari tempatnya berdiri. Ledakannya memekakkan telinga, walau saat itu tak banyak orang menduga itu bunyi bom.
“What was that? It sounds like a bomb,” ujar Adek Berry pada salah satu koleganya.
ADVERTISEMENT
Mereka lantas bergegas berlari keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi di lingkungan kantor. Adek sempat merasa bingung harus melangkah ke mana. Ia hanya memperhatikan arah pandang orang-orang yang berhamburan.
Kepanikan dan rasa penasaran campur jadi satu. Adek terus mengikuti pandangan mata warga, hingga akhirnya ia tiba di gang yang telah ditutup portal.
Ia lantas menyadari, bom diledakkan tepat di rumah mantan Presiden Afghanistan, Burhanuddin Rabbani. Gang menuju rumah Rabbani telah ditutup dan dijaga oleh lebih dari 3 orang pengawal pribadi. Masing-masing pengawal membawa senapan serbu AK-47.
Dengan penuh emosi, peluru peringatan terus ditembakkan ke atas oleh ketiga pengawal itu. Membuat massa panik dan tak berani mendekat.
Mereka berhamburan menjauh, dan Adek Berry ikut terdorong-dorong. Salah seorang rekannya, Usman, mencoba menenangkan orang-orang yang mendorong Adek.
ADVERTISEMENT
“She is a journalist! She’s a photographer!” seru Usman sambil melindungi Adek Berry.
Mencari tempat aman, Adek Berry pun berlari ke arah belakang pohon. Di sana, ia mencoba mengabadikan kejadian yang mengguncang tersebut.
Bom tersebut punya dampak besar bagi Afghanistan. Bom itu dibawa oleh seorang pembom bunuh diri. Ia memasuki rumah Burhanuddin Rabbani dan meledakkan bom itu.
Hari itu rakyat Afghanistan kehilangan presidennya, Burhanuddin Rabbani, yang tewas tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-71.
Adek Berry, secara tak disangka, menjadi saksi salah satu tragedi sejarah. Tapi tak banyak foto yang bisa ia ambil dalam jarak terlalu dekat. Risiko kehilangan nyawa terlalu mahal.
Adek Berry juga mencoba untuk menggali sisi lain dari perempuan Afghanistan. Ia melakukan riset lebih dulu sebelum akhirnya menyajikan kisah tentang perempuan Afghanistan yang mengalami kekerasan rumah tangga dan kabur dari rumah.
ADVERTISEMENT
“Luar biasa, bikin story tentang perempuan KDRT yang melarikan diri. Aku kejar mereka ke rumah penampungan. Lobbying dua minggu untuk masuk ke penampungannya itu, sampai mereka buka akses,” kata dia.
Adek Berry pun tersentuh ketika saling bertukar cerita dan mengabadikan gambar para perempuan yang ia temui. Untuk menghormati identitas mereka, ia mengambil foto setelah wajah para korban ditutupi kerudung.
Selain itu, Adek Berry mengabadikan kisah perempuan yang membakar diri. Ini bukan kejadian langka di Afghanistan.
“Di Afghan, kasus perempuan bakar diri sangat banyak. Mereka frustrasi. KDRT iya, kemiskinan mengimpit, mendapat kekerasan dari negara, merasa tidak dihargai,” ujarnya.
Salah satu perempuan itu ia temui. Seluruh bagian tubuhnya terbakar, kecuali rambut dan telapak kaki.
ADVERTISEMENT
Ibu korban bercerita, anak perempuannya mengguyur diri dengan kerosin, lalu menyulut api ke tubuhnya, tak peduli bahwa ia memiliki dua anak dan satu janin dalam kandungan.
“Habis mukanya. Sakitnya luar biasa,” ujar Adek Berry.
Jelas kulit perempuan pembakar diri itu mengelupas. Seluruh tubuhnya berbalut kain perban, dan tak bisa bergerak.
Hanya matanya yang bisa melirik ke kanan dan kiri. Lirikan mata itu menjadi tanda bahwa ia masih bertahan hidup.
Hingga akhirnya, perempuan itu wafat.
“Dua hari aku temui dia, dua hari kemudian meninggal,” ujarnya.
Afghanistan, dalam lensa Adek Berry, menyimpan banyak tragedi dan duka. Untuk itulah ia ke sana.
Lewat lensa, ia mengabadikan momen-momen penuh sengsara itu, agar mata dunia terbuka dan mengulurkan tangan pada negeri di gurun itu.
ADVERTISEMENT
Ikuti kisah-kisah seputar dunia fotografi di sini