Demi Burung Cendrawasih Kuning Kecil, Mapala UGM 21 Hari Jelajahi Hutan Papua

Konten Media Partner
23 November 2021 15:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Cenderawasih kuning-kecil adalah ikon yang mewakili indahnya alam Papua. Itu mengapa burung yang dijuluki sebagai burung surga ini jadi maskot utama gelaran PON Papua 2021 kemarin.
Burung cendrawasih kuning kecil di hutan Papua. Foto: Mapala UGM
Toto Karsius Karo-Karo, masih mencoba menyadarkan dirinya saat pertama menginjakkan kaki di Kampung Sawendui, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, 20 Oktober 2021.
ADVERTISEMENT
Dia belum sepenuhnya percaya bisa menginjakkan kaki sejauh itu, tempat yang tak pernah terbayangkan selama 22 tahun hidupnya. Bahkan dia baru mendengar nama kampung itu beberapa bulan sebelum berangkat dari kampusnya, Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta.
Bersama tujuh temannya, Toto akan tinggal di kampung itu selama 21 hari ke depan. Mereka, tim ekspedisi dari organisasi mahasiswa pecinta alam UGM (Mapagama) dan Toto adalah koordinator tim ekspedisi tersebut.
Tujuh anggota tim lainnya diantaranya, Harits Alam, Dian Novitasari, Isma Rahmatia, Erdyan Nuringtyas, Atsil Tsabita, Arya Rahman, serta Rayhan James.
Beberapa anggota ekspedisi melintas d salah satu sungai dangkal di pedalaman hutan Papua. Foto: Dok. Malapa UGM
Misi utama ekspedisi ini adalah menemui burung surga yang, konon paling banyak tinggal di Kampung Sawendui.
Sebenarnya namanya Cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), tapi karena memiliki bulu yang sangat indah dia mendapat julukan burung surga.
ADVERTISEMENT
Toto dan teman-temannya belum pernah melihat burung ini secara langsung. Mereka baru melihat wujud burung itu dari foto dan video yang ada di internet.
Cenderawasih kuning-kecil memiliki bulu berwarna kuning cerah dan cokelat, berparuh abu-abu kebiruan dan iris mata berwarna kuning. Setidaknya itu yang ditampilkan dalam foto-foto dan video di internet. Tapi, seringkali lensa kamera terlalu melebih-lebihkan. Dan ini adalah saatnya mereka membuktikan sendiri, apakah keindahan Cenderawasih kuning-kecil memang layak mendapat predikat sebagai burung surga.
“Enggak sabar pengin lihat langsung,” kata Toto saat ditemui, Kamis (18/11).
Tak hanya cantik, Cenderawasih kuning-kecil juga jadi salah satu satwa paling penting yang ada di Papua. Cenderawasih kuning-kecil adalah ikon yang mewakilkan indahnya alam Papua. Itu mengapa burung surga ini menjadi maskot utama dalam gelaran PON Papua 2021 kemarin.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, masih sangat minim catatan tentang Cederawasih kuning-kecil. Sampai saat ini, baru ada empat jurnal yang membahas tentang burung surga ini, karena itu tak diketahui pasti bagaimana kondisi mereka di dalam habitatnya. Persoalan-persoalan itu semakin menguatkan tekad Toto dan timnya untuk melakukan ekspedisi ke Yapen, demi meneliti burung tersebut.
“Terutama terkait populasinya, karena itu dasar untuk menentukan strategi pelestariannya, jangan sampai tahu-tahu punah,” ujar pemuda asal Padang itu.
Menjelajah Hutan Seluas 203 Hektar
Bangun pagi menembus hutan. Foto: Dok. Mapala UGM
Pagi masih buta saat tim ekspedisi Mapagama harus memaksa membuka mata yang masih berat karena kantuk. Hari yang panjang akan dimulai: mencari burung surga di dalam hutan seluas 203 hektar. Sampai kesiangan, maka mereka harus mengubur mimpi bertemu Cenderawasih kuning-kecil sampai esok hari. Mereka harus bergegas sedini mungkin meninggalkan basecamp tempat mereka menginap, dan masuk menjelajah hutan untuk mencari burung surga.
ADVERTISEMENT
Sebab, Cenderawasih kuning-kecil akan keluar dari sarang untuk mencari makan pagi-pagi sekali. Dan baru pulang ke sarang menjelang maghrib. Maka, waktu terbaik untuk bertemu dengan mereka adalah pada pagi hari.
“Siang sebenarnya ada, cuma lebih susah karena mereka kan terbang ke mana-mana, bertenggernya juga lebih suka di pohon-pohon yang tinggi,” kata Toto Karsius.
Masuk ke dalam hutan, mereka disambut dengan rapatnya semak belukar serta pohon-pohon raksasa seperti pohon ulin, boi, hingga beringin. Perjalanan makin berat, karena rute yang harus ditempuh bukanlah rute yang mendatar, melainkan naik turun bukit berkali-kali. Seringkali mereka juga harus basah-basahan untuk menyeberangi sungai yang kedalaman airnya mencapai leher. Dan itu bisa berkali-kali dalam satu perjalanan.
“Sampai ada yang mau kebawa arus karena cukup kencang arusnya,” lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Apalagi selama pencarian mereka tidak boleh mengeluarkan banyak suara dan aktivitas-aktivitas lain yang bisa mengganggu Cenderawasih dan satwa-satwa lain penghuni hutan Yapen. Jarak harus dijaga, jangan sampai terlalu dekat dengan burung supaya mereka tidak terganggu. Bahkan beberapa kali mereka harus berkamuflase dengan dedaunan untuk menyamar.
“Ada etikanya, intinya jangan sampai mereka terganggu,” ujarnya.
Beringin Raksasa Istana Burung Surga
Beringin raksasa. Foto: Dok. Mapala UGM
Salah satu tujuan utama mereka adalah sebuah beringin raksasa di tengah hutan. Sebagai anak Mapala, melihat pohon-pohon besar di dalam hutan adalah hal biasa. Tapi baru di hutan Yapen mereka melihat ada pohon beringin sebesar itu. Lingkar batangnya mungkin mencapai belasan, atau bahkan puluhan meter.
Kata warga setempat, di pohon itulah berbagai jenis satwa tinggal, termasuk Cenderawasih kuning-kecil. Benar saja, baru saja tiba mereka sudah disambut dengan pekikan burung surga itu. Di atas sana, seekor Cenderawasih kuning-kecil jantan tengah bersiap untuk berkelana mengelilingi hutan.
ADVERTISEMENT
“Rasanya kayak mimpi, dari kecil cuman lihat di buku dan waktu itu saya bisa lihat langsung. Ternyata aslinya justru jauh lebih indah daripada foto-foto di internet,” kata Harits Alam, yang di tim ekspedisi itu berperan sebagai Kepala Riset Biotik.
Cukup lama mereka terperangah dengan kecantikan burung itu, seperti terhipnotis. Dan ternyata beringin raksasa itu memang benar-benar istana bagi Cenderawasih kuning-kecil, tak hanya satu, ada cukup banyak Cenderawasih kuning-kecil di atas sana.
“Bener-bener cantik, memang layak dijuluki burung surga,” ujarnya.
Burung cendrawasih kuning kecil di hutan Papua. Foto: Mapala UGM
Tapi itu bukan pertunjukan paling indah. Mereka semakin dibuat takjub saat melihat ada sejumlah pejantan yang meliuk-liukkan tubuhnya, menganggukkan kepalanya, memamerkan bulu indahnya, menghentakkan kakinya, untuk merayu seekor betina. Ya, para pejantan itu menari, berlomba-lomba memberikan pertunjukan terbaik untuk memenangkan hati sang betina.
ADVERTISEMENT
“Jadi yang usaha itu yang jantan, yang betina tinggal milih yang menurut dia paling keren,” lanjutnya.
Meski harus berangkat pagi buta dan pulang menjelang maghrib, bahkan kadang sampai gelap, hari-hari rasanya berjalan cepat karena pertunjukan alam yang luar biasa. Hingga akhirnya mereka berhasil menjelajahi 203 hektar hutan di Kampung Sawendui, dan sebanyak 201 individu Cenderawasih kuning-kecil berhasil dicatat.
Jumlahnya terdengar banyak, tapi ini bukan berarti statusnya aman. Karena jika dilihat dari segi kepadatannya, itu berarti hanya ada satu individu Cenderawasih kuning-kecil dalam setiap hektar. Padahal supaya bisa dikatakan aman, paling tidak satu hektar terdapat belasan atau bahkan puluhan individu.
Berfoto bersama warga. FOto: Dok. Mapala UGM
Secara habitat sebenarnya masih sangat bagus, karena vegetasi hutannya masih rapat dan banyak terdapat pohon-pohon tinggi dan besar yang jadi habitat kesukaan mereka. Dari segi makanan juga cukup melimpah karena masih terdapat banyak pohon boi di sana yang buahnya jadi salah satu makanan utama Cenderawasih kuning-kecil.
ADVERTISEMENT
“Ancamannya justru perburuan, terutama dari desa sekitar. Banyak ditembak pakai senapan, bulunya dijual untuk hiasan,” ujar Harits.
Penduduk Kampung Sawendui sendiri sudah cukup teredukasi, terutama karena kehadiran Saireri Paradise Foundation (SPF), sebuah LSM yang fokus pada kegiatan konservasi penyu dan cenderawasih di desa itu. Bahkan, hampir setengah dari penduduk setempat telah menjadi anggotanya dan ikut aktif menjaga burung surga itu di hutan mereka.
Namun cenderawasih tak mengenal batas administrasi wilayah. Seringkali mereka terbang dan masuk ke wilayah desa lain, di sanalah mereka biasanya menjadi korban perburuan liar. Sementara warga Kampung Sawendui tak bisa berbuat banyak, karena mereka tak punya kewenangan dengan apa yang terjadi di wilayah desa tetangga.
“Masih perlu dilakukan banyak penelitian lagi, karena masyarakat di sana sebenarnya sudah tahu data, mereka tahu sifat cenderawasih, perilakunya, sudah tahu semuanya, tapi belum tertulis saja,” kata Harits Alam. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT