Konten dari Pengguna

Biografi Soegondo Djojopoespito, Tokoh yang Membacakan Sumpah Pemuda

Profil Tokoh
Menyajikan informasi profil tokoh ternama dari Indonesia maupun mancanegara.
27 Oktober 2024 11:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Profil Tokoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Soegondo Djojopoespito, Foto: Unsplash/Bimo Wicaksono.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Soegondo Djojopoespito, Foto: Unsplash/Bimo Wicaksono.
ADVERTISEMENT
Soegondo Djojopoespito adalah salah satu tokoh besar dalam Kongres Sumpah Pemuda. Ia dikenal sebagai tokoh yang membacakan teks Sumpah Pemuda dan merupakan golongan dari Taman Siswa.
ADVERTISEMENT
Soegondo juga merupakan Ketua Kongres Pemuda II dan sekaligus pendiri Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Hingga setiap tanggal 28 Oktober tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Biografi Soegondo Djojopoespito

Ilustrasi Soegondo Djojopoespito, Foto: Unsplash/Ariawan Armoko.
Dikutip dari laman budaya.jogjaprov.go.id, Soegondo Djojopoespito adalah tokoh penting di balik Kongres Pemuda Kedua yang menghasilkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Ia lahir pada 22 Februari 1905 di Tuban, Jawa Timur, sebagai putra seorang penghulu dan mantri juru tulis bernama Kromosardjono. Ketika ayahnya pindah ke Brebes, Jawa Tengah, Soegondo tinggal bersama pamannya, Hadisewojo, yang menjadi ayah angkatnya.
Ayahnya bernama Kromosardjono yang berasal dari Tegal adalah seorang penghulu sekaligus mantri juru tulis desa di Tuban, Jawa Timur. Ibunya berasal dari Tuban, putri seorang khatib bernama Djojoatmadjo.
ADVERTISEMENT
Soegondo memiliki seorang adik perempuan bernama Soenarjati. Ketika masih kecil, Soegondo dan adiknya tinggal bersama pamannya yang bekerja sebagai kolektor di Blora. Paman inilah yang membiayai pendidikan mereka.
Soegondo memulai pendidikan dasarnya di Holand Indische School (HIS), sekolah untuk anak-anak pribumi, di Tuban selama tujuh tahun dari 1911 hingga 1918.
Setelah lulus, ia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijus), setingkat SMP, di Surabaya selama tiga tahun (1918-1921).
Selama di Surabaya, ia dititipkan pada tokoh Islam HOS Tjokroaminoto, tempat Soegondo bertemu dengan Soekarno. Diskusi dengan Soekarno, yang banyak membaca buku politik dan filsafat, memberi Soegondo wawasan tentang pergerakan nasional.
Tjokroaminoto, tokoh penting Sarekat Islam dan lulusan Osvia Magelang, bersama dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ernest Douwes Dekker, mendirikan Indische Partij pada 1912 untuk mendukung kepentingan kaum pribumi.
ADVERTISEMENT
Soegondo mendapatkan banyak pelajaran tentang nasionalisme dan politik dari Tjokroaminoto dan Soekarno.
Setelah lulus dari MULO, ia melanjutkan ke AMS B di Yogyakarta pada 1921-1924 dan tinggal di rumah Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. Ki Hajar, yang juga aktivis pendidikan dan nasionalisme, mengajarkan Soegondo tentang pentingnya pendidikan dan kemerdekaan.
Pada 1924, Soegondo masuk Recht Hoge School (RHS) di Batavia, namun hanya menyelesaikan studi hingga tingkat Propadeuse (D2).
Di Batavia, ia sering membaca majalah Indonesia Merdeka, yang diedit oleh Mohammad Hatta dan diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda, membahas tentang perjuangan nasional. Ia juga sering berdiskusi dengan rekan-rekannya di Indonesia Club Gebouw.
Sistem pendidikan kolonial Belanda telah berkembang sejak abad ke-19, dengan pembukaan sekolah untuk kalangan ningrat dan warga Belanda di Batavia pada 1817. Pada 1848, sekolah dasar untuk kaum ningrat pribumi mulai dibuka, diikuti oleh sekolah menengah pada 1860.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Osvia didirikan sebagai sekolah pamong praja bagi kaum bangsawan dan pribumi terkemuka.
Dengan munculnya sekolah-sekolah ini, serta kebijakan etis Belanda pada 1901, semakin banyak sekolah dasar swasta yang didirikan, termasuk sekolah-sekolah Katolik, Protestan, dan Islam.

Karier Soegondo Djojopoespito

Ilustrasi Soegondo Djojopoespito, Foto: Unsplash/Ariawan Armoko.
Pada 20 Februari 1927, Jong Indonesia didirikan di Bandung dan pada kongres pertamanya berubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Soegondo dan empat anggota inti PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) mulai menghubungi organisasi pemuda untuk menggalang persatuan kebangsaan.
Setelah Soekarno lulus dari THS, ia mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927 bersama rekan-rekannya.
Pada Desember 1927, federasi PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) dibentuk, menghimpun PNI, Budi Utomo, Kaum Betawi, dan lainnya untuk menyelaraskan perjuangan kebangsaan dan menghindari perselisihan.
ADVERTISEMENT
Untuk menyatukan kembali organisasi-organisasi pemuda dari berbagai daerah sebagaimana pada Kongres Pemuda I, Soegondo dan sejumlah anggota lainnya menginisiasi Kongres Pemuda II.
Kongres ini dipimpin langsung oleh Soegondo dan berlangsung pada 27-28 Oktober 1928 dengan tiga sesi rapat, yang akhirnya melahirkan Sumpah Pemuda.

Peran Soegondo Djojopoespito dalam Sumpah Pemuda

Ilustrasi Soegondo Djojopoespito, Foto: Unsplash/Ariawan Armoko.
Ketika pemuda Indonesia aktif dalam berbagai organisasi, Soegondo memilih bergabung dengan PPI (Persatuan Pemuda Indonesia) dan tidak bergabung dengan Jong Java.
Pada Kongres Pemuda I tahun 1926, Soegondo turut berpartisipasi, dan dua tahun kemudian, pada Kongres Pemuda II 1928, ia terpilih menjadi ketua atas persetujuan dari Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di Belanda, dan Ir. Sukarno sebagai sahabat lama Soegondo saat mereka tinggal serumah di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Soegondo sebagai ketua didasari oleh keanggotaannya di PPI, organisasi pemuda independen yang tidak berbasis kesukuan. Sementara itu, Mohammad Yamin yang berasal dari Jong Sumatra, juga dipertimbangkan menjadi ketua namun akhirnya diangkat sebagai sekretaris.
Dengan kemampuannya dalam bahasa Indonesia, Yamin memainkan peran penting dalam memastikan komunikasi dalam kongres berjalan lancar, terutama karena notulen rapat dibuat dalam bahasa Belanda.
Kongres Pemuda II yang berlangsung pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta menghasilkan Sumpah Pemuda dengan trilogi yang terkenal: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia.”
Rumusan ini muncul pada akhir kongres, ketika Yamin, yang duduk di sebelah Soegondo, menyodorkan secarik kertas dengan usulannya. Yamin berbisik, “Ik heb een elegante formule voor de resolutie” (saya punya rumusan yang lebih luwes untuk resolusi ini). Soegondo menyetujui, diikuti oleh persetujuan dari peserta lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kongres ini pula, lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman pertama kali diperdengarkan.
Demi menghindari risiko pembubaran oleh polisi Hindia Belanda, Soegondo menyarankan Supratman untuk memainkan lagu tersebut secara instrumental dengan biola, tanpa lirik yang mencolok, demi keamanan kongres.
Itulah biografi Soegondo Soegondo Djojopoespito, seorang tokoh penting dalam Kongres Pemuda II. Dan kini setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. (Umi)