Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Barang Murah Membanjiri Pasar: Industri Lokal di Ujung Tanduk?
16 Maret 2025 10:56 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Ramadhani Kesuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Bayangkan Anda berjalan di pusat perbelanjaan favorit Anda. Rak-rak dipenuhi barang dengan harga menggiurkan: kaos Rp20.000, sepatu Rp50.000, hingga peralatan rumah tangga yang harganya tak sampai sepertiga gaji harian Anda. Tapi coba lihat lebih dekat—kebanyakan labelnya bukan “Made in Indonesia,” melainkan dari negeri jauh. Ini bukan sekadar tren belanja, ini alarm bahaya. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, baru-baru ini mengungkapkan krisis yang mengintai: daya beli masyarakat ambruk, dan banjir barang murah—termasuk impor ilegal—mengguncang pasar. Studi terbaru menegaskan, tren penurunan daya beli di negara berkembang, termasuk Indonesia, mendorong konsumen beralih ke barang impor murah, dipicu oleh inflasi dan pengangguran yang membatasi akses ke produk berkualitas (Kee et al., 2023). Konsumen mungkin tersenyum puas dengan dompet yang tak terlalu jebol, tapi di balik itu, industri lokal kita megap-megap. Apakah ini kemenangan sesaat, atau tanda kita sedang menggali kubur ekonomi sendiri?
ADVERTISEMENT
Penurunan daya beli bukan cerita baru, tapi dampaknya kini makin nyata. Alphonzus, dalam wawancara di Lippo Mall Nusantara pada 15 Maret 2025, menyoroti pola belanja masyarakat yang bergeser drastis. Kelas menengah bawah, tulang punggung konsumsi nasional, kini memburu barang dengan “unit price kecil”—produk murah yang bisa dibeli tanpa pikir panjang. Pandemi memang sudah lama berlalu, tapi kantong masyarakat belum pulih. Ekonomi yang limbung membuat mereka lebih selektif, dan barang murah jadi solusi instan. Sayangnya, solusi ini tak selalu manis. Banyak produk itu masuk secara ilegal, terutama dari Cina, memanfaatkan perang dagang Amerika Serikat-Cina yang memanas. Sejak 2015, impor ilegal telah jadi duri bagi industri manufaktur lokal di Asia Tenggara, menghindari pajak dan regulasi, menciptakan ketidakadilan kompetitif yang mematikan daya saing produk lokal (Felsberger et al., 2020). Pasar dibanjiri opsi murah, industri dalam negeri tersudut, dan pemerintah seolah menutup mata sementara pelaku impor ilegal tertawa di balik layar.
ADVERTISEMENT
Dari kacamata ekonomi, ini adalah kasus klasik kegagalan pasar. Impor ilegal menciptakan pasar yang tidak adil, merusak efisiensi sumber daya dan menghantam pelaku industri legal (Rahman & Baddam, 2021). Teori ini terbukti di sini: harga murah menguntungkan konsumen jangka pendek, tapi jangka panjangnya, produsen lokal yang terpukul. Bayangkan, jika UMKM lokal yang memproduksi kaos atau sepatu gulung tikar, ratusan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian. Dampaknya berlipat—pengangguran naik, daya beli makin jatuh, dan kita masuk lingkaran setan ekonomi. Dari sudut manajemen, pelaku usaha lokal harus bergerak cepat. Strategi seperti diferensiasi produk atau edukasi konsumen tentang pentingnya beli lokal bisa jadi penyelamat, tapi tanpa regulasi ketat dari pemerintah, semua sia-sia. Barang impor mungkin lebih ekonomis, tapi sering tak sebanding kualitasnya dengan produk lokal (Ahmed et al., 2022). Jika pasar terus dikuasai barang murah ilegal, kita tak cuma kehilangan pabrik, tapi juga masa depan. Data BPS 2024 sudah menunjukkan kontribusi manufaktur ke PDB menyusut—ini fakta, bukan prediksi.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pemerintah harus turun tangan dengan serius. Teknologi pemantauan berbasis AI di pelabuhan dan pasar bisa mendeteksi arus impor ilegal lebih cepat, ditambah sanksi tegas seperti penyitaan aset untuk efek jera. Kebijakan publik yang efektif, seperti tarif pada barang impor dan insentif pajak untuk UMKM lokal, terbukti meningkatkan daya saing produk dalam negeri (Xu & Sun, 2023). Di sisi lain, pelaku ritel dan UMKM harus berinovasi. Kolaborasi adalah kunci—bayangkan pusat perbelanjaan menggandeng UMKM lokal untuk bazaar produk murah bermerek lokal, atau memanfaatkan e-commerce untuk jangkau pasar lebih luas. Produk murah tak harus murahan—tambahkan nilai seperti “ramah lingkungan” atau “dukung ekonomi desa.” Masyarakat juga punya peran besar. Konsumen yang teredukasi cenderung memilih produk lokal demi keberlanjutan, mendorong inovasi ramah lingkungan di industri lokal (Praveena & Aris, 2021). Kampanye “Beli Lokal, Selamatkan Masa Depan” bisa menggugah kesadaran bahwa membeli lokal adalah investasi jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Barang murah yang membanjiri pasar memang melegakan dompet untuk sementara, tapi ada cerita kelam di baliknya: UMKM tutup, pekerja di-PHK, dan mimpi kemandirian ekonomi terkubur. Ini bukan cuma soal pemerintah atau pelaku usaha—kita semua penentu akhirnya. Setiap rupiah yang kita belanjakan adalah suara: mendukung industri lokal atau mempercepat kehancurannya. Pilihan ada di tangan kita hari ini—membangun masa depan yang tangguh dengan produk lokal, atau menyerah pada godaan murah yang perlahan mematikan identitas ekonomi kita.
References :
Ahmed, F., Ali, I., Kousar, S., & Ahmed, S. (2022). The environmental impact of industrialization and foreign direct investment: empirical evidence from asia-pacific region. Environmental Science and Pollution Research, 29(20), 29778-29792. https://doi.org/10.1007/s11356-021-17560-w
Felsberger, A., Qaiser, F., Choudhary, A., & Reiner, G. (2020). The impact of industry 4.0 on the reconciliation of dynamic capabilities: evidence from the european manufacturing industries. Production Planning & Control, 33(2-3), 277-300. https://doi.org/10.1080/09537287.2020.1810765
ADVERTISEMENT
Kee, D., Lee, J., Azlan, I., Subramaniam, J., Koay, J., Putri, A., … & Beg, A. (2023). Sustainability in the food and beverage industry: a comparative study of malaysia, india, and indonesia. International Journal of Tourism and Hospitality in Asia Pasific, 6(3), 1-17. https://doi.org/10.32535/ijthap.v6i3.2591
Praveena, S. and Aris, A. (2021). The impacts of covid-19 on the environmental sustainability: a perspective from the southeast asian region. Environmental Science and Pollution Research, 28(45), 63829-63836. https://doi.org/10.1007/s11356-020-11774-0
Rahman, S. and Baddam, P. (2021). Community engagement in southeast asia's tourism industry: empowering local economies. Global Disclosure of Economics and Business, 10(2), 75-90. https://doi.org/10.18034/gdeb.v10i2.715
Xu, B. and Sun, Y. (2023). The impact of industrial agglomeration on urban land green use efficiency and its spatio-temporal pattern: evidence from 283 cities in china. Land, 12(4), 824. https://doi.org/10.3390/land12040824
ADVERTISEMENT