Terorisme dan Dehumanisasi Agama

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
7 April 2021 6:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi teroris. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teroris. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Entah sejak kapan munculnya istilah "terorisme berbaju agama" atau istilah-istilah lain yang justru mendiskreditkan agama tertentu, yang dalam konteks ini, Islam, terasa selalu disudutkan atas aksi-aksi yang tidak berprikemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Padahal, Islam dan agama-agama monoteistik lainnya memiliki struktur yang sama: membicarakan aspek moral, menebarkan nilai-nilai kebaikan, dan mendorong jihad kemanusiaan dalam konteks humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Humanisasi berarti bahwa agama berperan dalam memanusiakan manusia, menempatkan manusia pada aspek tertinggi dari seluruh kosmos. Dehumanisasi justru terjadi akibat perubahan masyarakat yang mengabaikan aspek agama di tengah masyarakat industrial berteknologi tinggi yang menjadikan kita sebagai manusia abstrak tanpa wajah kemanusiaan.
Agama, juga berfungsi secara keseluruhan "membebaskan" manusia dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi dan pemerasan kelimpahan.
Liberasi bertujuan untuk setiap kita merasakan kemiskinan mereka yang terkungkung dalam kesadaran teknokratis dan mereka yang tergusur oleh raksasa ekonomi.
Kita ingin bersama-sama membebaskan belenggu-belenggu yang justru selama ini kita bangun sendiri. Tak ada ideologi manapun yang sukses menyadarkan manusia akan realitas kemiskinan, kengkuhan teknologi, wajah bengis ekonomi-industri.
ADVERTISEMENT
Liberasi agama menyadarkan bahwa semua manusia sama di hadapan Sang Agung, kecuali ketakwaan yang senantiasa menjadi ciri khas kreativitas manusia dalam hal kebaikan.
Satu hal yang integral dalam ajaran-ajaran agama tentu saja aspek transendensi yang mampu mengubah aspek kebudayaan manusia menjadi lebih bernilai spiritual, bukan semata-mata atas upaya manusia sendiri, tetapi justru melibatkan dimensi Ketuhanan di dalamnya.
Transendensi menyadarkan manusia akan eksistensi Tuhan, sehingga hampir tak ada artinya seluruh kemegahan yang dibangun ketika kita mengabaikan nilai keberkahan di dalamnya. Masyarakat religius adalah mereka yang secara fisik berlomba-lomba dalam hal kebaikan dan saling mengingatkan tentang kebenaran dan kesabaran, bukan berlomba bahkan menyerah pada arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden.
ADVERTISEMENT
Humanisme agama—yang dalam konteks ini Islam—telah ditunjukkan oleh peran Nabi Muhammad yang terus memperjuangkan aspek-aspek kemanusiaan: realitas umat sebagai dimensi politik yang lintas budaya, tradisi, bahkan agama, toleransi dan saling menghargai tanpa memaksakan keyakinan pribadi atau klaim kebenaran yang melihat mereka di luar keyakinannya adalah salah dan dirinya lah yang paling benar.
Pernah dalam suatu tulisannya, Muhammad Iqbal mengomentari tentang peristiwa Isra dan Mikraj Nabi Muhammad, dia menyatakan, "Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, beliau tentu tidak ingin kembali ke bumi karena telah merasa tentram telah bertemu dengan Tuhan dan berada disisi-Nya. Namun, Nabi kembali untuk menggerakkan perubahan sosial untuk mengubah jalannya sejarah. Lalu, kenapa masih saja ada orang yang mau "terbang" ke langit bahkan berkeyakinan bertemu dengan Tuhannya? Padahal Nabi sendiri setelah Mikraj tetap kembali ke bumi sekalipun secara kasat mata telah diperlihatkan surga dan neraka."
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun bentuknya dan apapun caranya, terorisme tak ada hubungannya sama sekali dengan agama bahkan dari seluruh aspeknya sekalipun. Terorisme jelas berawal dari suatu bentuk kesesatan berpikir yang gagal menerima berbagai arus deras perubahan sosial dan memandang agama hanya sebagai selaput tipis yang membalut kekerdilan cara berpikirnya.
Segala aksi dan tindakan teror merupakan bagian dari dehumanisasi agama yang memandang manusia-manusia lain yang tidak sekayakinan dianggap musuh yang harus diperangi. Mereka selalu memandang konflik sebagai tujuan utama dan mengabaikan aspek harmonisasi yang menjadi bagian dari "kredo" beragama. Padahal, Islam telah mengajarkan bahwa penciptaan manusia yang berbeda-beda warna kulit, kelompok, suku, dan bangsa, semata-mata agar mereka bisa saling berbuat baik (lita'arafu) dan bukan untuk bermusuhan atau berperang (liyaqtatalu).
ADVERTISEMENT
Saya kira, terorisme adalah bagian dari problematika masyarakat modern di mana semangatnya justru diilhami oleh cara berpikir Barat yang bercita-cita melepaskan diri dari agama.
Tekmologi dan industri sejauh ini telah menempatkan manusia pada aspek paling rendah bahkan cenderung menjadi elemen yang mati dalam seluruh proses industri. Teknologi telah memperbudak manusia bahkan mengubah wajah masyarakat yang humanis menjadi masyarakat abstrak yang hampir mengabaikan nilai-nilai tradisi, budaya, dan agama.
Kebebasan manusia tereduksi oleh kenyataan mesin-mesin teknologi tinggi sehingga menempatkan manusia tak ubahnya bagian dari mesin yang tak berdaya. Dalam konteks ini, kualitas kerja bahkan kualitas kemanusiaan pada akhirnya ditentukan oleh pasar. Pasarlah yang menentukan mana manusia yang berguna dan mana yang harus disingkirkan karena membuat kebangkrutan keekonomian.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk paling sempurna dan derajatnya justru diangkat menjadi sangat mulia di hadapan Tuhannya.
Ketika dalam pemikiran Barat manusia cenderung dipandang sebagai mahluk pesimis, lemah, cemas, bahkan dalam tradisi Yunani-Romawi manusia dianggap mahluk yang tak mampu berpikir sehingga harus dikirim dewa-dewa yang kemudian membimbing manusia untuk berpikir.
Namun, Islam tampil menjadi tenaga penggerak yang revolusioner yang membebaskan manusia dari segala belenggu keterpurukan dan ketertinggalan.
Manusia bertugas sebagai "wakil Tuhan" (khalifah) dengan segala kreativitasnya yang bebas demi memakmurkan bumi dan menciptakan keseimbangan di dalamnya. Sebagai "khalifah" berarti ia hanya patuh dan tunduk pada pencipta-Nya, bukan pada entitas lainnya yang lemah dan disisi lain, sebagai "khalifah" ia merupakan wakil Tuhan yang senantiasa berkreatifitas dengan luas, membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu "tuhan-tuhan" lain yang di era industri teknologi justru diyakini dan disembah oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Jadi, masih ngomongin terorisme berbaju agama? Jangan-jangan anda yang memang bertuhankan materialisme industri, keekonomian pasar, atau hedonisme memang sudah lama ingin menghapus agama dalam diri anda sendiri!