Sakit Jiwa dalam Bungkus Sinema

27 Januari 2017 22:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Fight Club (Foto: Keh Ke Kierkegaard/ www.campusghanta.com)
Kegilaan, meski telah digali dan ditelaah dalam banyak ilmu, tetap menyisakan misteri. Siapa bisa tahu persis benak seorang gila, dan dunia seperti apa yang ia lihat dengan matanya?
ADVERTISEMENT
Kenapa seseorang bisa sakit jiwa, dan bagaimana proses dia “jatuh” menuju kegilaan? Diagnosis mungkin didapat. Tapi tak ada hukum pasti soal jiwa.
Misteri yang menyelimuti isu gangguan tersebut lantas menjadi inspirasi atas sejumlah film. Sejumlah sinema layar lebar yang mengangkat tema kejiwaan justru laris manis.
kumparan menghimpun film-film terbaik yang membahas tentang gangguan jiwa. Berikut daftarnya.
One Flew Over the Cuckoo’s Nest
One Flew Over the Cuckoo's Nest (Foto: www.pastposters.com)
Film yang mengedepankan akting dari aktor legendaris Jack Nicholson ini merupakan karya klasik dalam perfilman. Film yang diadaptasi dari novel karya Ken Kesey dengan judul yang sama itu berhasil meraih lima Piala Oscar dan 30 penghargaan lainnya.
Film tersebut mengisahkan tentang seorang narapidana bernama McMurphy --yang diperankan oleh Nicholson-- yang berpura-pura menjadi gila dan dikirim ke rumah sakit jiwa untuk menghindari pekerjaan di penjara.
ADVERTISEMENT
Bertemu dengan beberapa penghuni lain di RSJ yang memiliki gangguan kejiwaan beragam, McMurphy justru menemukan kehidupan dalam rumah sakit jiwa tersebut lebih menarik.
Rating
Rotten Tomatoes: 95%
IMDB: 8.7/10
Metacritic: 79/100
A Beautiful Mind
A Beautiful Mind (Foto: www.pastposters.com)
Dari puncak kemasyhuran hingga jurang keterpurukan, kehidupan John Forbes Nash, Jr. digubah menjadi karya visual dalam sebuah film.
Diperankan Russell Crowe, film berlatar belakang di Princeton University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu menelusuri kehidupan seorang jenius matematika yang berhasil melakukan penemuan luar biasa di awal kariernya.
Meski demikian, kehidupan jenius tersebut berubah terjal ketika ia didiagnosa menderita skizofrenia.
John dan Alicia Nash. (Foto: NAMI Mercer)
Rating
Rotten Tomatoes: 82%
IMDB: 7.5/10
Metacritic: 72/100
Fight Club
Fight Club (Foto: dfiles.me)
Film yang diangkat dari novel Chuck Palahniuk dengan judul yang sama tersebut menjadi film klasik yang menjadi inspirasi banyak karya sastra, film, bahkan kegiatan bawah tanah manusia-manusia milenial.
ADVERTISEMENT
Dibintangi oleh artis papan atas seperti Brad Pitt (sebagai Tyler Durden) dan Edward Norton (sebagai narator), film itu berhasil memenangi 10 penghargaan dan satu nominasi Oscar.
Film yang mengalir mengikuti narasi orang pertama tersebut berkisah tentang seorang pekerja di masa mudanya yang hampir berakhir. Kebosanan dan insomnia lantas menerjang dahsyat, membuat hidupnya kelabu.
Namun kemudian ia menemukan Tyler Durden, dan ajakan kelompok tarung bawah tanah Durden menggiring pada salah satu plot twist yang mengubah persepsi pemirsa terhadap film yang telah terbentuk di sepanjang film tersebut.
Rating
Rotten Tomatoes: 79%
IMDB: 8.8/10
Metacritic: 66/100
Shutter Island
Shutter Island (Foto: www.pastposters.com)
Film yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio tersebut berhasil meraih 8 penghargaan dan 59 nominasi. Meski menerima respons dan kritik beragam, film karya Martin Scorsese itu berhasil memunculkan perdebatan yang hangat di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Isu gangguan kejiwaan yang amat kental di sepanjang film membuatnya menjadi bahasan oleh berbagai penikmat film di dunia, terutama terkait alur cerita yang berkembang dan berubah-ubah karena penceritaan karakter yang tak stabil akibat gangguan jiwanya.
Bahkan, DiCaprio sendiri mengakui bahwa ia merasa proses akting di film tersebut benar-benar mentraumatisasi dirinya. Bahkan ia sempat menyampaikan kepada Martin Scorsese semasa produksi bahwa ia "tidak tahu sama sekali aku di mana dan sedang melakukan apa".
Rating
Rotten Tomatoes: 68%
IMDB: 8.1/10
Metacritic: 63/100
Memento
Memento (Foto: www.pastposters.com)
Film inilah yang melambungkan nama sutradara legendaris, Christopher Nolan. Lewat akting Guy Pearce yang berperan sebagai Leonard --seorang pria yang berkeras menemukan keadilan atas terbunuhnya sang kekasih, film tersebut dinominasikan untuk dua kategori Oscar, memenangkan 54 penghargaan, dan masuk dalam nominasi 55 penghargaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Film tersebut dikisahkan lewat alur dan gaya pengambilan gambar yang tidak umum, menjadikannya salah satu film klasik di mana anda harus bersiap untuk berpikir sembari menikmati karya tersebut.
Rating
Rotten Tomatoes: 92%
IMDB: 8.5/10
Metacritic: 80/100
One Flew Over the Cuckoo's Nest (Foto: Youtube)
Banyak film yang mengangkat isu kelainan jiwa mendapatkan pujian luas. Selain daftar di atas, masih ada film-film legendaris lain seperti Donnie Darko, What’s Eating Gilbert Grape, American Psycho, Little Miss Sunshine, The Machinist, hingga film romansa Silver Lining Playbook.
Film bertemakan gangguan kejiwaan biasanya lebih mudah dieksplorasi karena memungkinkan pengembangan karakter yang luas dan tak berbatas. Meski demikian, film-film tersebut rata-rata juga mendapat kritik tak kalah keras.
Ini wajar, mengingat portrayal (cara pemeranan) suatu tokoh pengidap gangguan jiwa, kerap melewati batas dan memunculkan stigmatisasi tertentu yang tak jarang memojokkan orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan.
ADVERTISEMENT
Hal itu diakui oleh George Gerbner, seorang profesor komunikasi dari Universitas California, dalam jurnalnya berjudul Stigma: Social Functions of the Portrayal of Mental Illness in the Mass Media dalam buku Attitudes Toward the Mentally Ill: Research Perspectives.
Gerbner menjelaskan, simbol-simbol spesifik dalam media massa seperti juga dalam karya budaya dapat memobilisasi kontrol dan represi massa terhadap pihak-pihak tertentu, dalam hal ini orang-orang yang mengidap gangguan kejiwaan.
Pemersonaan orang-orang yang memiliki kelainan jiwa ke dalam karakter yang tak stabil, pemarah, dekat dengan aksi kekerasan, dan karakter yang tidak bisa diprediksi, meski bagus dalam sebuah karya, tak bisa dikatakan membantu orang-orang dengan kelainan jiwa tersebut.
Gerbner juga melihat, walaupun tidak bisa dipastikan cara penyampaian yang benar-benar tepat, media massa seperti film tidak harus memerhatikan proses asosiasi hal-hal buruk dan kriminal kepada orang-orang dengan kelainan jiwa.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Gangguan Jiwa (Foto: Commons Wikimedia)
Dalam menyikapi hal-hal terkait kejiwaan, orang tak bisa semena-mena menghakimi. Tak bisa menggunakan stereotip, prasangka, dan stigmatisasi.
Menghakimi --meletakkan diri lebih tinggi, lebih bijak, dan lebih paham akan orang lain-- adalah jalan langsung menuju tragedi.
Ikuti rangkaian kisahnya di sini