Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
11 Hal yang Patut Diteladani dari Muhammad Al-Fatih
31 Mei 2017 20:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Nama Muhammad Al-Fatih tercatat dalam sejarah dunia dan terus dikenang hingga kini. Bagaimana tidak, pada tahun 1453, saat masih berusia 21 tahun, ia telah berhasil memimpin pasukan Turki Utsmani merebut kota Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium. Padahal pada masa itu kota Konstantinopel dikenal sebagai kota dengan benteng legendaris yang sangat sulit ditembus.
ADVERTISEMENT
Kisah penaklukan kota Konstantinopel maupun riwayat kehidupan Muhammad Al-Fatih telah ditulis dalam banyak buku, bahkan sempat diangkat pula ke dalam layar lebar maupun program-program televisi. Salah satu orang yang menulis buku tentang Muhammad Al-Fatih adalah Felix Siauw. Ia begitu mengagumi Muhammad Al-Fatih sehingga menamai semua anak laki-lakinya dengan nama belakang Al Fatih 1453.
"Kenapa saya berikan nama Al-Fatih, karena saya berharap mereka tahu sejarah yang sama (pada tahun 1453), dan mempunyai karakter yang sama (dengan Muhammad Al-Fatih)," ujar Siauw kepada kumparan melalui pesan singkat, Rabu (31/5).
Sosok Al-Fatih memang begitu fenomenal. Semenjak usia 12 tahun ia sudah diangkat menjadi sultan. Dengan keberhasilannya membebaskan kota Konstantinopel, ia dianggap telah membuktikan hadis Nabi Muhammad SAW pada 8 abad sebelumnya dan disebut sebagai sebaik-sebaik pemimpin. Apa saja hal yang patut kita teladani dari sosok Muhammad Al-Fatih?
ADVERTISEMENT
1. Menguasai Banyak Bahasa
Dalam bukunya Ali Muhammad Ash-Shalabi menulis, Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ sedikitnya menguasai tiga bahasa Islam dengan sangat baik yang biasanya dikuasai orang-orang berpendidikan pad zaman itu, yakni bahasa Arab, Persia, dan Turki.
Selain Ash-Shalabi, Ramzi Al-Munyawi dalam bukunya juga menyebutkan, Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ menguasai Bahasa Yunani dan 6 bahasa lainnya ketika berusia 21 tahun. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada usia itu pulalah A-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel.
2. Mempelajari Banyak Ilmu
Ash-Shalabi menulis dalam bukunya bahwa sejak kecil Muhammad Al-Fatih telah belajar Al-Qur’ān, hadis, fikih, dan ilmu modern lainnya seperti ilmu berhitung, ilmu falak, sejarah, serta pendidikan kemiliteran, secara teori maupun praktis.
ADVERTISEMENT
Felix Siauw dalam bukunya juga mengisahkan Sultan Murad, ayah Al-Fatih, meminta para ulama dari berbagai disiplin ilmu untuk mengajari anaknya berbagai mata pelajaran, mulai dari matematika, fisika, astronomi, seni perang praktis, militer, dan ilmu-ilmu lainnya.
3. Fleksibel, Inovatif dan Penuh Kejutan.
Felix Siauw dalam bukunya menceritakan, Al-Fatih memiliki mata pelajaran favorit, yakni sejarah. Felix menulis, sejarah adalah salah satu cabang ilmu yang sangat dikuasai oleh pemimpin besar dunia Islam, seperti Rasulullāh SAW, Umar bin Khaththab, Khalid bin Walid, dan para sahabat lainnya.
Dengan mempelajari ilmu sejarah itulah, menurut Siauw, Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ kemudian tumbuh menjadi seorang yang fleksibel, inovatif, dan penuh dengan kejutan.
[Baca juga: Al Fatih Sang Penakluk ]
ADVERTISEMENT
4. Mengambil Pelajaran dari Sejarah Tokoh Lain
Siauw menjelaskan, dengan mendalami peristiwa sejarah, seseorang bisa mengambil pengamalaman dan pemikiran tokoh yang dibacanya tanpa harus hidup satu zaman dengannya. Selain itu, sejarah memungkinkan seseorang untuk tidak mulai kembali dari titik nol, tapi melanjutkan apa yang telah dibangun oleh orang-orang sebelumnya. Manfaatnya, jalan menuju keberhasilan orang tersebut menjadi lebih dekat.
Hal itulah yang dilakukan oleh Al-Fatih. Siauw menyatakan, Al-Fatih tidak menjadikan sejarah sebagai masa lalu yang hanya berfungsi sebagai nostalgia dan romantisme tanpa arah. Namun Al-Fatih mengambil pelajaran dari sejarah sebagai perhitungan dan perencanaan untuk menentukan keputusan di masa depan.
5. Giat Beribadah
Melaui pesan singkat, Felix Siauw mengatakan kepada kumparan, “Saya sampaikan, Rasulullah pernah bersabda, ‘Akan dibebaskan Konstantinopel, dan sebaik-baik pemimpin adalah dia.’ dan ini sebuah indikasi yang baik.”
ADVERTISEMENT
Untuk meraih janji Rasulullah itu, tutur Siauw, sang Sultan Muhammad Al-Fatih senantiasa melatih dirinya dengan karakter ksatria dan mendekakan dirinya pada Allah dengan banyak beribadah.
6. Pekerja Keras
Felix Siauw juga mengatakan karakter rajin beribadah yang ada pada diri sang sultan juga ditunjang dengan karakter pekerja kerasnya. “Karena itu, tidak heran, beliau mendapatkan gelar "Al-Fatih" atau "Sang Pembebas" ketika beliau baru berusia 21 tahun. Sebab prestasi memang tak mengenal umur,” tutur Siauw.
Siauw menekankan, “Hasil takkan pernah mengkhianati kerja keras, dan inilah yang ada pada Sultan Mehmed, ia adalah kulminasi kerja keras para pendahulu dan ulama yang istimewa.”
7. Berani
ADVERTISEMENT
Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ terjun sendiri ke medan laga saat perang. Sang sultan tidak gentar berperang melawan musuh dengan pedangnya sendiri.
Ash-Shalabi menceritakan, keberanian Al-Fatih tampak dalam sebuah pertempuran di wilayah Balkan. Saat itu pasukan Turki Uṡtmānĩ tengah berhadapan dengan pasukan Bughanda yang dipimpin oleh Steven. Saat itu ada moncong meriam telah diarahkan pada pasukannya, sehingga para pasukan segera tiarap ke tanah.
Untuk menyemangati pasukannya, Al-Fatih berteriak dengan lantang, “Wahai pasukan mujahidin, jadilah kalian tentara Allāh, dan hendaklah ada dalam dada kalian semangat Islam yang membara.” Kemudian dengan gagah berani ia memegang tameng dan menghunus pedangnya serta segera memacu kudanya berlari ke depan dan tak menoleh pada apa pun.
ADVERTISEMENT
8. Cerdas
Kecerdasan Al-Fatih ini terlihat jelas dari pemikirannya yang cemerlang dalam upayanya membebaskan kota Konstantinopel. Al-Fatih memindahkan kapal-kapal dari pangkalannya di Baskatasy ke Tanduk Emas dengan cara menariknya melalui jalan darat yang ada di anatara dua pelabuhan, sebagai usaha menjauhkan kapal-kapal itu dari Galata karena khawatir mendapat serangan dari pasukan Genova.
Jalan darat yang dilaluinya bukanlah tanah yang datar, namun berupa bebukitan. Melihat kondisi demikian, Al-Fātiḥ berusaha meratakan tanah hanya dalam hitungan jam. Ia kemudian juga mendatangkan papan dari kayu yang diberi minyak dan lemak. Setelah itu papan-papan tadi ia letakan di atas tanah yang sudah rata, yang memungkinkan kapal-kapal pasukannya mudah untuk ditarik dan berjalan.
ADVERTISEMENT
Taktik semacam itu merupakan pemikiran yang sangat cemerlang pada masa itu. Kecepatan berpikir dan kecepatan beraksi Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ memang patut untuk diteladani.
9. Pemimpin yang Adil
Dalam bukunya Ash-shalabi menulis, Al-Fātiḥ telah berinteraksi dengan ahli kitab sesuai dengan syariat Islam dan memberikan pada mereka hak-hak beragama. “Dia tidak pernah melakukan perlakuan jahat pada seorang pun dari kalangan Kristen,” terangnya.
Sebaliknya, Al-Fatih justru menghormati para pemimpin agama lain dan berbuat baik kepada mereka. Slogan yang pernah Al-Fatih katakan adalah, “Keadilan sebagai pondasi kekuasaan.”
10. Memiliki Keteguhan Hati dan Keyakinan
Al-Munyawi mengisahkan dalam bukunya, ketika Konstantin menolak untuk menyerahkan kota Konstantinopel, Al-Fatih bersiteguh, “Baiklah! Tidak lama lagi aku akan mempunyai singgasana di Konstantinopel atau aku akan mempunyai kuburan di sana!”
ADVERTISEMENT
Senada dengan Al-Munyawi, Felix Siauw pun bercerita melalui pesan singkat kepada kumparan, “Karakter ksatria yang paling menonjol (dari Al-Fatih) adalah keyakinannya pada bisyarah (nubuwwah) Rasulullah, hingga dia melakukan lebih dari yang lain, hingga hasilnya pun lebih dari yang lain.”
11. Bersikap Tawakal
Dalam bukunya Siauw menulis, Syaikh Syamsuddin dan Ahmad Al-Kurani sebagai guru Al-Fatih selalu mengingatkan kepada muridnya bahwa tawakal atau berserah kepada Allāh adalah modal utama seorang pemimpin. Mereka mengajarkan, semua kemenangan adalah datang dari Allah, bukan dari selain itu.
Di samping itu, Al-Fatih juga diajarkan untuk tidak berbangga dan berpuas diri. Berbekal pengajaran dari para gurunya itu, Al-Fatih kemudian menamkan sikap tawadhu atau rendah hati atas semua pencapaian dan mempelajari kekalahan sebagai pertanda kurangnya ketaatan dan usaha.
ADVERTISEMENT