Gas Alam Qatar, Sumber “Kedengkian” Arab Saudi

8 Juni 2017 15:08 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Diplomasi Saudi-Qatar (Foto: Saudi Press Agency/Handout via REUTERS)
Persoalan politik bercampur tuduhan menyokong terorisme, bukan satu-satunya sumber masalah antara Qatar dan Arab Saudi --yang berujung pada pemutusan hubungan diplomatik oleh aliansi Saudi terhadap Qatar.
ADVERTISEMENT
Di lapisan bawah, terdapat pula persoalan ekonomi --khususnya yang tak boleh diabaikan: gas alam.
LNG Tanker Qatar (Foto: REUTERS/Stringer)
Pasang surut hubungan Qatar-Saudi telah dimulai sejak 1995, tahun di mana Qatar mulai membangun kekuatannya.
Tahun 1995, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani menggulingkan kekuasaan ayahnya yang pro-Saudi. Tahun itu pula, Qatar mengekspor gas alam cair untuk pertama kali dari ladang gas milik mereka yang terbesar di dunia.
Qatar berbagi ladang gas di lepas pantainya, North Dome, dengan Iran yang berada di seberangnya. Masalahnya, Iran adalah rival yang amat dibenci Arab Saudi.
Tapi Qatar punya pandangan berbeda dari Saudi. Masalah bagi Saudi, belum tentu masalah buat Qatar. Negeri kecil di pinggir Teluk Persia itu tak pernah menganggap Iran sebagai ancaman, bahkan mengikat kerja sama erat dengan Iran.
ADVERTISEMENT
Ladang gas Qatar yang terbesar di dunia itu bak timbunan batangan emas. Kekayaan datang bersama gas yang mengalir hingga ke Eropa.
Qatar melejit. Ia bukan hanya menjadi negara terkaya di dunia dengan pendapatan per kapita 130 ribu dolar AS, tapi juga eksportir gas alam cair (LNG) terbesar di dunia.
Fokus Qatar pada produksi gas alam, membedakannya dengan negara-negara Teluk lain yang mengeksploitasi minyak bumi. Pembeda ini sekaligus memungkinkan Qatar untuk mengambil jarak dari dominasi Saudi di Timur Tengah.
Meski Qatar berbatasan langsung dengan Saudi, dan meski Saudi jauh lebih besar dan dominan darinya di jazirah Arab, Qatar berhasil berdiri tegak bahkan kemudian menyalip Saudi dari segi pendapatan ekonomi --yang juga membuat pengaruh politiknya meningkat, dan akhirnya dianggap Saudi sebagai ancaman bersama Iran.
ADVERTISEMENT
Doha, Qatar. (Foto: Pixabay)
Qatar sungguh melebarkan sayap, dan membangun ikatan sendiri dengan kekuatan lain di luar Saudi, termasuk Iran --musuh Saudi, dan Amerika Serikat --sekutu kental Saudi.
Qatar nyaris tak peduli siapa kawan siapa lawan dan seharusnya bersekutu dengan siapa. Ia bersikap pragmatis dan menabrak semua pakem aturan tradisional untuk membangun kekuatan dengan caranya sendiri.
Di Qatar, AS mendirikan pangkalan udara terbesar di Timur Tengah. Bernama Al Udeid, pangkalan itu menjadi pusat komando militer AS di tanah Arab. Dari sana, jet-jet tempur AS dan sekutu-sekutunya melesat menggempur ISIS. Qatar menjadi titik vital dalam operasi kontra-ISIS di Timur Tengah.
Namun, sementara dengan murah hati menyediakan lahan untuk markas operasi militer AS, pada saat yang sama Qatar juga mengirim dananya ke Rusia.
ADVERTISEMENT
Seperti dilansir Bloomberg, Selasa (6/6), Qatar tahun lalu menyepakati untuk menginvestasikan 2,7 miliar dolar AS kepada Rosneft, perusahaan minyak yang dikelola pemerintah Rusia.
“Qatar dahulu semacam negara pengikut Saudi, tapi ia menggunakan otonomi yang didapat dari kekayaan gasnya yang melimpah untuk meningkatkan peran independennya,” kata Jim Krane, peneliti energi di Rice University’s Baker Institute, Houston, Texas, AS.
Kekayaan yang didapat Qatar dari gasnya mendatangkan kehendak bebas, dan Qatar tak segan mengejar impian ambisiusnya menjadi salah satu negara berpengaruh di dunia, lepas dari bayang-bayang Saudi yang selama ini menjadi “raja” di Timur Tengah.
Namun kekayaan dan kebebasan itu akhirnya juga mendatangkan kedengkian. Qatar tumbuh pesat di saat perekonomian negara-negara tetangganya, termasuk Saudi, stagnan bahkan merosot.
ADVERTISEMENT
“Hampir seluruh negara Arab menanti kesempatan untuk mematahkan sayap Qatar,” kata Krane.
Dan kesempatan itu tiba ketika Presiden AS Donald Trump bulan lalu, Mei, mengunjungi Arab Saudi, dan menyerukan “semua negara yang punya hati nurani” untuk mengisolasi Iran, musuh bersama AS dan Saudi beserta sekutu mereka.
Qatar sama sekali tak pernah punya masalah dengan Iran. Akhirnya ketika Kantor Berita Qatar menayangkan berita tentang dukungan Emir Qatar untuk Iran --walau akhirnya berita tersebut dinyatakan palsu berdasarkan investigasi bersama Qatar-AS-Inggris, tinggal tunggu waktu sampai Saudi dan sekutunya kemudian mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik terhadap Qatar.
Kilang gas Qatar. (Foto: shell.com)
Sumber daya alam ialah kunci dan modal awal Qatar. Gas melimpah membuat negara berpenduduk 2,7 juta itu --yang mayoritas justru eksptriat-- bebas dari ikatan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries; OPEC) yang didominasi Saudi.
ADVERTISEMENT
Qatar menjauhkan orbitnya dari kuasa Saudi, dengan tak membangun jaringan pipa yang mengintegrasikan Qatar ke pasar-pasar negara tetangganya di Teluk.
Qatar bahkan ingin membangun jaringan pipa sendiri --bersama Turki-- yang menghubungkan langsung Eropa dengan cadangan gas alamnya yang besar, South Pars/North Dome, yang dikelola bersama Iran.
Jaringan pipa yang akan dinamakan Qatar-Turkey Pipeline itu direncanakan terentang dari Qatar ke Saudi, Yordania, Suriah, Turki, hingga berakhir di Bulgaria, Eropa.
Namun rencana itu dari dulu sampai sekarang belum juga terealisasi karena ditentang Rusia. Qatar-Turkey Pipeline yang membentang hingga Eropa jelas mengancam Rusia yang selama ini, melalui perusahaan gas alamnya --Gazprom, memonopoli pasokan suplai LNG di daratan Eropa.
Persentasi kepercayaan konsumen Eropa pada Gazprom (Foto: https://www.thegwpf.com/)
Jim Krane dari Rice University’s Baker Institute, dalam makalah yang ditulis bersama Steven Wright dari Qatar University, Qatar ‘Rises Above’ its Region: Geopolitics and the Rejection of the GCC Gas Market, menjelaskan bahwa dahulu negara-negara minyak yang kaya raya melihat gas alam sebagai entitas yang tak terlalu berharga. Mereka hanya mau mengeluarkan sedikit uang untuk LNG.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya pipa gas yang dibangun ialah yang menghubungkan ladang gas di utara Qatar ke Uni Emirat Arab dan Oman di tenggara negeri itu. Namun sebagian besar ekspor gas Qatar ditujukan untuk pasar Asia dan Eropa, bukan Timur Tengah.
Situasi kini berubah. Belakangan, permintaan gas alam untuk industri tenaga listrik di negara-negara Teluk tumbuh tajam, sedangkan mereka sebelumnya tak terlalu menaruh perhatian pada gas karena terlalu bersandar pada minyak.
Akibatnya, negara-negara di Timur Tengah harus mengimpor LNG dengan harga lebih tinggi. Mereka juga kesulitan mengeluarkan atau mengekstraksi gas alam dari perut bumi. Belum lagi prosesnya memerlukan biaya mahal.
Pada saat yang sama, Qatar telah mapan dengan gas alamnya. Dan biaya ekstraksi gas Qatar terendah di dunia. Maka Qatar menjulang sebagai negara kaya gas sementara tetangga-tetangganya miskin gas.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi demikian, tak perlu waktu lama bagi Qatar untuk menggeser kedigdayaan Saudi --yang jauh lebih besar darinya-- di jazirah Arab.
Pencakar langit di Doha, Qatar. (Foto: AP Photo/Jacquelyn Martin)
Gas mendatangkan uang, dan uang disalurkan Qatar untuk sejumlah hal yang pada akhirnya memicu amarah negara-negara tetangganya.
Qatar dituding menyokong Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hamas di Jalur Gaza, serta kelompok militan bersenjata yang dibenci Saudi dan Uni Emirat Arab di Libya dan Suriah.
Uang dari gas pula yang membiayai jaringan media global berbasis di Doha, Al Jazeera. Al Jazeera tak segan menyajikan berita kritis yang membuat panas kuping negara-negara Teluk.
ADVERTISEMENT
Ia juga kerap memberitakan berbagai gerakan prodemokrasi di jazirah Arab --hal menyebalkan bagi negara-negara “konservatif” di Timur Tengah yang dibangun kokoh dengan sistem monarki.
Ladang gas bersama Qatar-Iran (Foto: http://caspianbarrel.org)
Rasa frustasi negara-negara sekitar Qatar makin menjadi ketika pada 2005, Qatar mengumumkan moratorium pengembangan Ladang Utara yang sesungguhnya diharapkan dapat menyediakan lebih banyak gas untuk ekspor lokal di antara sesama negara Teluk.
Alasan moratorium itu ialah karena Qatar ingin menguji lebih lanjut reaksi Ladang Utara terhadap eksploitasi masif atasnya. Namun kecurigaan menyeruak bahwa Qatar, yang mengelola ladang lepas pantai itu bersama Iran, merasa tak enak hati kepada Iran sebagai mitra kerjanya yang mengekstraksi gas lebih lambat darinya.
Moratorium yang direncanakan hanya berjalan dua tahun itu, ternyata baru dicabut 10 tahun atau satu dekade kemudian. Saat itu, Iran untuk pertama kalinya berhasil mengejar tingkat ekstraksi Qatar.
ADVERTISEMENT
“Negara-negara Teluk kesal. Mereka ingin Qatar kolaps, atau bergabung sepenuhnya dengan mereka,” kata Gerd Nonneman, profesor Hubungan Internasional dan Studi Teluk di Georgetown University, Doha.
Nonneman yakin, “Qatar tak bakal meninggalkan Iran karena itu akan membahayakan hubungan fundamental bagi perkembangan ekonomi mereka.”
Ladang gas South Pars/North Dome yang menjadi sendi kokoh ekonomi Qatar, bagaimanapun, ialah hasil kerja Qatar bersama Iran --rival Saudi.