Muruah Sepak Bola Indonesia di Kasta Tertinggi Asia & Drama PSSI yang Menodainya

Akbar Maulana
Reporter kumparan Bisnis
Konten dari Pengguna
27 Maret 2023 20:55 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Liga Champions Asia 2020. Foto: AFC
zoom-in-whitePerbesar
Liga Champions Asia 2020. Foto: AFC
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada medio 1991-2011 masyarakat Indonesia sudah biasa disuguhkan dengan penampilan perwakilan klub Liga 1 di kompetisi antar klub tertinggi Asia.
ADVERTISEMENT
Saat ini, jangankan bisa tampil di sana lagi, suporter justru disajikan dengan bobroknya sebuah kompetisi, kualitas pengadil lapangan yang dipertanyakan, hingga operator pertandingan yang tak profesional.
Sebelum ada Liga Champions Asia dan Piala AFC, kompetisi antar klub se-Asia bernama Piala Winners Asia. Turnamen ini mempertemukan klub yang menjadi juara di setiap liga domestik mereka. Kompetisi ini digagas Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) pada 1991. Saat itu, klub-klub Indonesia menjadi langganan tampil di kasta tertinggi tersebut.

Rekam Jejak Klub Indonesia di Piala Winners Asia

Pada 1991 Indonesia diwakili Kramayudha Tiga Berlian. Klub asal Palembang itu terhenti di babak kedua karena mengundurkan diri. Pada 1992, giliran Pupuk Kaltim (PKT) Bontang yang bisa melaju hingga babak semifinal karena kandas dari wakil Jepang, Nissan FC dengan agregat 0-2.
ADVERTISEMENT
PKT Bontang kembali mewakili Indonesia pada edisi 1993 dan hanya bisa sampai hingga babak kedua karena kembali takluk dari Nissan FC dengan agregat 2-4. Pada 1994, giliran Semen Padang yang menjadi wakil Indonesia. Saat itu Semen Padang hanya bisa sampai babak ketiga turnamen karena kandas dari Nissan FC dengan agregat mencolok 2-12.
Pada Piala Winners Asia edisi 1995, Indonesia diwakili oleh Gelora Dewata, namun didiskualifikasi pada babak ketiga turnamen. Selang setahun, pada 1996, giliran Petrokimia yang hanya bisa menginjak perempat final setelah ditekuk wakil Jepang, Yokohama dengan agregat 1-7.
Kemudian pada 1997 ada Mastrans Bandung Raya. Mastrans Bandung Raya hanya bisa sampai babak kedua turnamen setelah kandas dari wakil Hongkong, South China dengan agregat 1-5. Kemudian di edisi 1998, ada PSM Makassar yang kandas di perempat final oleh wakil Korea Selatan, Suwon Samsung Bluewings dengan agregat 0-13
ADVERTISEMENT
Pada Piala Winners Asia edisi 1999 klub Indonesia tidak berpartisipasi di turnamen karena saat itu liga Indonesia terhenti. Kemudian, pada tahun 2000 giliran Persebaya yang menjadi wakil Indonesia. Tim asal Surabaya ini kandas di babak kedua dari wakil Thailand, Bangkok Bank dengan agregat 0-6.
Pada edisi 2001, PKT Bontang kembali menjadi wakil Indonesia. Saat itu, PKT Bontang kandas di babak kedua setelah takluk dari wakil Thailand, BEC Tero Sasana dengan agregat 1-5. Pada 2002, ada PSM Makassar yang harus kandas di babak pertama turnamen setelah ditekuk wakil Australia, Victory SC dengan agregat 2-4.
Tahun 2002 menjadi tahun terakhir Piala Winners Asia. Pada 2003 turnamen ini menjadi Liga Champions Asia.

Rekam Jejak Klub Indonesia di Liga Champions Asia

Saat itu, Liga 1 Indonesia memiliki dua slot untuk bisa langsung tampil Liga Champions Asia, mereka yang berhak adalah kampiun liga dan runner up liga. Pada 2004, Indonesia mengirim perwakilan Persik Kediri dan PSM Makassar.
Persik Kediri berlaga di Liga Champions Asia. Foto: Getty Images
Selanjutnya pada edisi 2005, ada PSM Makassar dan Persebaya yang menjadi perwakilan Indonesia. Setahun berselang, Persik Kediri dan Arema yang mewakili Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada 2009, ada perubahan regulasi di mana Indonesia tidak mendapatkan dua slot otomatis. Hanya juara liga 1 yang mendapat tempat di Liga Champions Asia, sementara runner-up harus melalui play-off. Di tahun ini, Sriwijaya menjadi perwakilan Indonesia. Selanjutnya pada 2010 Indonesia diwakili Persipura, dan 2011 ada Arema.
Apabila di Piala Winners Asia klub Indonesia bisa melaju hingga perempat final bahkan semifinal, di Liga Champions Asia klub-klub Indonesia semuanya tak mampu lolos fase grup. Ini mencerminkan bagaimana liga-liga di Asia semakin berkembang, sementara liga Indonesia berjalan di tempat dan akhirnya tertinggal.
Mulai 2012, Indonesia tak bisa mengirim klub terbaiknya ke Liga Champions Asia secara langsung, tapi harus melalui play-off. Urutannya, babak penyisihan pertama, kedua, dan play-off. Kalau menang di laga play-off, baru bisa dapat tiket bermain di Liga Champions Asia. Setelah Arema di 2011, belum pernah ada klub liga 1 Indonesia yang bisa menembus babak play-off.
ADVERTISEMENT

Dualisme Kompetisi dan Elite PSSI yang Berebut Kursi

Ketika perwakilan klub Indonesia di pentas kompetisi tertinggi Asia mulai seret, bukannya berembuk bagaimana memperbaiki prestasi, para elite PSSI justru sibuk berebut kursi. Dalam periode 2011-2015, drama dualisme PSSI terjadi.
Drama ini berawal dari FIFA yang menyurati PSSI pada Maret 2011 untuk menggelar Kongres Pemilihan atau Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI untuk memilih ketua umum baru. Hal ini menyusul desakan mundurnya Ketua Umum PSSI waktu itu Nurdin Halid.
Kongres PSSI 2018. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Waktu itu, Nurdin Halid memegang kendali PSSI dari balik jeruji penjara karena kasus korupsi impor 73 ribu ton gula ilegal. Pada Juli 2011, KLB PSSI di Solo digelar dan keluar keputusan terpilihnya Ketua Umum PSSI Djohar Arifin untuk periode 2011-2015.
ADVERTISEMENT
Pada era Djohar Arifin ini, lahir Indonesia Premier League (IPL) dengan PT Liga Prima Indonesia Sportindo selaku operator. IPL menjadi tandingan dari kompetisi Indonesia Super League (ISL) yang dioperatori PT Liga Indonesia. Dalam satu negara, bergulir dua liga sepak bola.
Pada Desember 2011, lahir Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang dimotori empat anggota Exco PSSI, salah satunya La Nyalla Mattalitti, dengan membawa semangat merevolusi PSSI. Dualisme federasi lahir dari sini. KPSI ngotot mengusung La Nyalla sebagai Ketua Umum. Dua kali digelar kongres pada Maret dan Desember 2012, namun tak direstui FIFA.
Pada 2013, FIFA memberi ultimatum untuk PSSI agar menyelesaikan masalah dualisme hingga Maret 2013. Akhirnya PSSI menyelenggarakan KLB, memutuskan Djohar Arifin sebagai Ketua Umum dan La Nyalla menjadi wakilnya.
ADVERTISEMENT
Drama belum usai, pada April 2015 KLB kembali digelar di Surabaya menetapkan La Nyalla menjadi Ketua Umum PSSI 2015-2019. Namun KLB ini tak diakui Kemenpora. Buntutnya, pada Mei 2015 PSSI dijatuhi hukuman FIFA karena menganggap ada intervensi pemerintah.

Sepak Bola Jadi Korban

Drama PSSI itu memakan korban bernama sepak bola. Sanksi FIFA pada 2015 membuat kompetisi liga Indonesia yang sudah berjalan dua pekan saat itu terpaksa dihentikan.
Kualitas Timnas tentu tergantung dari kualitas liga. Dan hal ini tercermin di peringkat FIFA. Sebagai contoh tahun 2000, ketika klub Indonesia masih langganan jadi kontestan Liga Champions Asia, Indonesia berada di peringkat 97 FIFA per Desember 2000, di atas Vietnam yang ada di urutan 99, Qatar urutan 102, Malaysia di 107, dan Bahrain jauh di bawah Indonesia, peringkat 138.
ADVERTISEMENT
Setahun berselang setelah pembekuan kompetisi, peringkat Indonesia pada Desember 2016 merosot di urutan ke-171, sementara Qatar sudah merangsek ke urutan 87, Bahrain di peringkat 123, sementara Vietnam dan Malaysia sudah menyalip indonesia masing-masing di peringkat 134 dan 161.
Hingga 2022, terlihat bagaimana negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, Bahrain hingga Qatar semakin berkembang. Tercermin dari peringkat FIFA per Desember 2022, Qatar sudah bertengger di urutan 60, Bahrain di peringkat 85, Vietnam melesat 38 peringkat mejadi urutan 96, Malaysia masih unggul dari Indonesia di urutan 145, sementara Indonesia di posisi ke-151.
Pesepak bola klub Liga 2 FC Bekasi City yang bermain untuk klub Diamond FC Herman Dzumafo (kanan) menerima uang saweran usai mencetak gol saat melawan klub Bina Putra FC dalam babak final turnamen FKRW Pegadungan Cup 2022/2023 di Kalideres. Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Kualitas liga yang baik membuat klub berkembang, dan menjadi kontestan Liga Champions Asia menjadi sebuah hal yang tak sulit direalisasikan. Namun setelah puluhan tahun, kualitas klub sepak bola Indonesia masih terbelenggu di kasta kedua Asia, Piala AFC. Jadi juara di kasta kedua pun sulit. Setelah Arema di 2011, belum ada lagi klub yang bisa kembali ke Liga Champions Asia.
ADVERTISEMENT
Kualitas liga tergantung dari tata kelola federasi. Liga yang berkualitas akan menaikkan peringkat liga Indonesia di Asia. Peringkat ini yang menentukan peluang klub Indonesia bisa bermain di Liga Champions Asia.
Dilansir dari laman AFC, saat ini kompetisi liga Indonesia tercecer di posisi 26, kalah dari Singapura (24), Malaysia (20), Filipina (19), Vietnam (14), dan Thailand (9).
Melihat rekam jejak klub-klub Liga Indonesia sejak 1991 silam, ekspektasi suporter untuk setiap tim kebanggaan mereka harus tinggi. Muruah klub sepak bola Indonesia di kasta tertinggi Asia, bukan kasta kedua, bukan liga domestik, apalagi Piala Presiden.