news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Banjir Jabodetabek: Bukti Tindakan Antisipasi Masih Lemah

Avianto Amri
Doktor lulusan di Macquarie University, Australia. Pendiri PREDIKT (www.predikt.id), Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia 2021 - 2027
9 Maret 2025 9:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avianto Amri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto udara luapan air sungai yang merendam perumahan Kemang IFI, Jatirasa, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/3/2025). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara luapan air sungai yang merendam perumahan Kemang IFI, Jatirasa, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/3/2025). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Awal Maret 2025, banjir Jabodetabek kembali terjadi dan bukti nyata lemahnya peringatan dini dan tindakan antisipasi. Hujan deras yang berlangsung selama berjam-jam menyebabkan ribuan rumah terendam, jalan-jalan utama tergenang, dan hampir 120 ribu warga terdampak. Kerugian akibat banjir ini sangat besar, mulai dari kendaraan yang terendam, barang dagangan yang rusak, hingga infrastruktur yang terdampak parah.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaannya: apakah banjir ini benar-benar tidak bisa dicegah?

Paradigma Peringatan Dini yang Perlu Diperbaiki

Setiap tahun, Indonesia menghadapi lebih dari 2,000 kejadian bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor yang merugikan ribuan warga dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Salah satu aspek krusial dalam pengurangan risiko bencana adalah peringatan dini yang efektif dan dapat ditindaklanjuti oleh masyarakat serta pemerintah daerah. Namun, tantangan utama saat ini bukan hanya pada teknologi deteksi dini, tetapi bagaimana informasi tersebut disampaikan dan diterima oleh masyarakat serta instansi terkait di daerah.
Saat ini, penyampaian informasi peringatan dini masih perlu diperbaiki dalam beberapa aspek mendasar. Informasi yang diberikan kepada masyarakat seharusnya menjawab empat pertanyaan utama:
ADVERTISEMENT
Sayangnya, banyak informasi peringatan dini yang masih menggunakan istilah teknis yang sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Sebagai contoh, penggunaan istilah "siaga", "waspada", dan "awas" sering kali menimbulkan kebingungan karena banyak warga yang tidak memahami urutan tingkat bahaya yang sebenarnya. Atau informasi terkait hujan "sedang - lebat", "lebat - sangat lebat" yang masyarakat tidak mampu membedakannya.
Cuplikan layar peringatan dini dari BMKG. Sumber: Instagram @InfoBMKG
Selain itu, informasi yang diberikan masih kerap menggunakan terminologi teknis seperti curah hujan dalam satuan milimeter (mm), yang bagi sebagian besar masyarakat tidak memberikan gambaran jelas mengenai tingkat keparahan situasi yang akan terjadi.
ADVERTISEMENT
Paradigma dalam sistem peringatan dini perlu diubah. Alih-alih berharap masyarakat memahami terminologi teknis, pihak penyedia peringatan dini harus memastikan bahwa informasi yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami dan ditindaklanjuti. Informasi ini harus dibuat sesederhana mungkin dengan menyertakan bahasa yang lebih mudah dicerna, simbol visual yang jelas, serta arahan tindakan yang konkret bagi masyarakat.
Namun, peringatan dini yang efektif tidak hanya bergantung pada penyampaian informasi kepada masyarakat, tetapi juga harus diterima dan ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dan instansi terkait. Ada tiga peran penting yang harus dimainkan oleh pemerintah daerah dalam menindaklanjuti informasi peringatan dini:
ADVERTISEMENT
Dengan sistem peringatan dini yang lebih efektif dan dapat ditindaklanjuti, potensi kerugian dan korban jiwa akibat bencana bisa ditekan secara signifikan.

Aksi Antisipasi: Belajar dari Penanganan Banjir Jabodetabek

Banjir yang melanda Jabodetabek pada awal Maret 2025 kembali menjadi bukti bahwa ada tindakan yang bisa dilakukan untuk mencegah bencana atau mengurangi dampaknya. Setelah banjir terjadi, pemerintah segera melakukan operasi modifikasi cuaca (OMC) untuk mengurangi intensitas hujan di wilayah terdampak karena masih ada potensi cuaca ekstrem di wilayah tersebut. Setelah dilakukannya OMC, hujan yang turun di Jabodetabek berkurang, sehingga potensi banjir susulan bisa dihindari.
BPBD Jakarta bersama BMKG lakukan modifikasi cuaca demi hindari Jakarta dari bencana hidrometeorologi, Sabtu (14/12). Foto: Dok. BPBD Jakarta
Dari kejadian ini, kita seharusnya belajar bahwa tindakan antisipasi harus dilakukan sebelum bencana terjadi, bukan setelahnya.
Menurut keterangan dari Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno dan juga Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto, setiap kali OMC dilakukan, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp200 juta hingga Rp300 juta. Biaya ini masih jauh lebih murah dibandingkan dengan total kerugian akibat banjir yang diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihat dari berbagai laporan media bahwa kerugian akibat banjir Jabodetabek sangat besar. Ribuan kendaraan bermotor terendam dan hanyut, dagangan para pelaku usaha hancur, serta rumah dan perabotan warga mengalami kerusakan parah. Kerugian ini saja diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah. Belum lagi jika kita menghitung anggaran yang dikeluarkan untuk evakuasi, penanganan pengungsi, pemulihan rumah, perbaikan infrastruktur, serta berbagai biaya kesehatan akibat penyakit yang muncul pasca-banjir.
Dalam konteks inilah, aksi antisipasi menjadi sebuah keharusan. Biaya untuk mencegah bencana jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk merespons dan memulihkan dampaknya. Jika kebijakan antisipasi yang tepat diterapkan, maka banyak kerugian yang bisa dihindari dan masyarakat bisa lebih terlindungi.

Mencegah Lebih Murah daripada Merespons

Dua hal yang dibahas dalam artikel ini—peningkatan sistem peringatan dini dan tindakan antisipasi bencana—harus menjadi fokus utama dalam kebijakan kebencanaan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertama, sistem peringatan dini harus diperbaiki dengan memastikan bahwa informasi yang diberikan mudah dipahami dan langsung bisa ditindaklanjuti oleh masyarakat maupun pemerintah daerah. Informasi teknis yang sulit dimengerti harus diubah menjadi panduan praktis yang menjelaskan ancaman, waktu kejadian, lokasi terdampak, dan tindakan yang harus dilakukan. Selain itu, sistem komunikasi dua arah harus dibangun, sehingga pemerintah bisa mengetahui apakah informasi peringatan telah diterima dengan baik atau masih membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
Kedua, aksi antisipasi harus diutamakan. Pemerintah tidak boleh hanya bereaksi setelah bencana terjadi, tetapi harus berani melakukan investasi pada pencegahan. Kasus OMC pasca-banjir di Jabodetabek membuktikan bahwa tindakan teknis dapat mengurangi dampak bencana. Jika OMC bisa mencegah hujan deras setelah banjir, maka OMC juga bisa dilakukan lebih awal untuk mencegah banjir terjadi sejak awal.
ADVERTISEMENT
Bencana bukan hanya persoalan alam, tetapi juga hasil dari keputusan yang kita buat. Pemerintah memiliki pilihan: menunggu bencana datang dan mengeluarkan anggaran besar untuk respons, atau mengambil tindakan pencegahan yang jauh lebih murah dan lebih efektif dalam melindungi masyarakat.
Keputusan ada di tangan kita. Apakah kita akan terus menunggu bencana datang, atau mulai bertindak sebelum semuanya terlambat?