Konten dari Pengguna

Meneropong Kesehatan Mental Lewat Layar Perak Psychological

Frances Edith Tjhang
Seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan fokus dalam komunikasi massa dan digital dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta
15 Oktober 2024 17:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frances Edith Tjhang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Refleksi Mahasiswa di Bulan Kesehatan Mental

Kolase Foto dari Gambar Film-FIlm yang Direkomendasikan (Hasil Edit Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kolase Foto dari Gambar Film-FIlm yang Direkomendasikan (Hasil Edit Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oktober menjadi bulan penting untuk refleksi diri karena di seluruh dunia karena kita memperingati Bulan Kesehatan Mental. Sebagai mahasiswa, tekanan akademis, ekspektasi sosial, hingga kecemasan masa depan kerap menjadi teman setia dalam menjalani hari. Banyak yang mungkin merasa kewalahan, tetapi enggan mengakui atau membicarakan masalah kesehatan mental ini secara terbuka. Di tengah hiruk-pikuk perkuliahan, film bisa jadi salah satu media yang tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga ruang aman untuk merenungkan kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Film sebagai Medium Reflektif
Dalam percakapan sehari-hari, isu kesehatan mental mungkin masih sering dipandang sebagai sesuatu yang "berat" dan tabu. Namun, film memiliki kekuatan unik untuk membawa isu ini lebih dekat ke kehidupan kita tanpa harus terlalu serius. Banyak karya sinema mengangkat cerita tentang perjuangan mental, emosi yang tak stabil, atau perjalanan mencari jati diri yang sangat relevan dengan kehidupan mahasiswa. Berbeda dengan artikel atau kampanye kesehatan mental yang kadang terasa menggurui, film bisa menghadirkan pemahaman secara halus namun mendalam.
Sebagai mahasiswa, kita tentu seringkali mencari pelarian dari tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Namun, bagaimana jika pelarian itu justru bisa menjadi cermin bagi diri kita sendiri? Berikut adalah enam film yang relevan dengan perjalanan kesehatan mental dan memiliki nilai penting bagi kita yang sedang berada di fase kehidupan penuh tantangan ini.
ADVERTISEMENT
Bagi mahasiswa yang sedang berada dalam fase pencarian jati diri, The Edge of Seventeen menggambarkan bagaimana isolasi sosial dan perasaan "tidak dipahami" bisa membentuk dinamika emosional seseorang. Tokoh utamanya, Nadine, seorang remaja yang merasa terasing dari sekitarnya, seringkali terjebak dalam pikiran-pikiran negatif tentang dirinya dan orang lain. Film ini menunjukkan bahwa tidak ada perjalanan emosi yang lurus, dan terkadang kita membutuhkan bantuan dari orang-orang terdekat untuk melewati masa-masa sulit.
Di kalangan mahasiswa, isolasi sosial menjadi salah satu faktor pemicu gangguan kesehatan mental. Seringkali, teman sekamar atau sahabat dekat menjadi benteng pertama ketika perasaan tertekan mulai menghantui. Film ini bisa menjadi pengingat bahwa mencari dukungan tidak membuat kita lemah.
ADVERTISEMENT
Film ini menyajikan kisah seorang remaja laki-laki, Craig, yang masuk rumah sakit jiwa setelah mengalami tekanan berat yang membuatnya hampir bunuh diri. Di sini, film dengan cerdas menggabungkan elemen humor dengan topik serius soal kesehatan mental. Alih-alih terjebak dalam narasi depresif yang berat, It’s Kind of a Funny Story menyajikan kehidupan di rumah sakit jiwa sebagai ruang bagi tokoh utama untuk belajar memahami dirinya sendiri.
Bagi mahasiswa, seringkali tekanan studi atau ekspektasi orang tua bisa terasa begitu berat sehingga kita merasa tidak punya jalan keluar. Film ini memberikan pesan penting: terkadang kita membutuhkan ruang untuk istirahat dan refleksi, dan itu bukan hal yang memalukan.
ADVERTISEMENT
Silver Linings Playbook adalah film yang menggambarkan kisah Pat Solitano yang mengalami gangguan bipolar. Setelah perawatan di rumah sakit jiwa, ia berusaha memperbaiki hidupnya dan kembali ke masyarakat. Di sisi lain, Tiffany, seorang perempuan yang juga bergelut dengan masalah kesehatan mental, muncul sebagai partner tak terduga dalam perjalanannya. Keduanya belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dengan cara konvensional.
Dalam kehidupan mahasiswa, keseimbangan menjadi kata kunci yang sering kita abaikan. Kita terjebak dalam pola pikir bahwa sukses berarti harus terus-menerus berlari dan mencapai sesuatu. Silver Linings Playbook mengajarkan bahwa tidak apa-apa jika terkadang kita harus berhenti sejenak dan menerima bahwa kehidupan punya jalurnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika kamu pernah merasa seperti orang luar yang kesulitan menyesuaikan diri, The Perks of Being a Wallflower akan terasa sangat dekat. Charlie, tokoh utama, adalah siswa SMA yang mengalami trauma masa kecil dan depresi, namun menemukan pelipur lara dalam persahabatan dengan dua orang yang ‘beda’ dari kebanyakan. Film ini menyentuh isu-isu seperti pelecehan, depresi, dan pentingnya dukungan emosional, terutama dalam masa transisi seperti sekolah atau kuliah.
Sebagai mahasiswa, kita sering berpikir bahwa kita harus selalu "baik-baik saja" di tengah tekanan sosial yang besar. Film ini mengingatkan kita bahwa tidak semua masalah harus disimpan sendiri. Terkadang, pertemanan bisa menjadi kunci untuk keluar dari gelapnya dunia internal kita.
ADVERTISEMENT
Black Swan bukan sekadar film thriller psikologis. Ini adalah potret kegelisahan, tekanan internal, dan kehancuran diri akibat perfeksionisme. Tokoh Nina, seorang balerina yang sangat ambisius, perlahan-lahan kehilangan kendali atas kesehatan mentalnya karena dorongan untuk mencapai kesempurnaan. Ia terjebak dalam halusinasi dan ketakutan, mencerminkan bagaimana ambisi yang tak terkendali bisa merusak kesehatan mental kita.
Di kalangan mahasiswa, terutama mereka yang berada di jurusan yang sangat kompetitif, tekanan untuk selalu berada di posisi teratas bisa sangat merusak. Black Swan adalah peringatan akan pentingnya menjaga batasan diri dan tidak membiarkan ambisi menjadi senjata makan tuan.
ADVERTISEMENT
Film ini mengeksplorasi ide tentang apa yang akan terjadi jika kita bisa menghapus kenangan buruk dari hidup kita. Joel, tokoh utama, memilih untuk menghapus memori mantan pacarnya, Clementine, agar bisa melupakan rasa sakit. Namun, seiring proses penghapusan berjalan, ia menyadari bahwa setiap kenangan, baik atau buruk, membentuk siapa dirinya.
Bagi mahasiswa yang sering bergelut dengan penyesalan dan rasa sakit masa lalu, Eternal Sunshine of the Spotless Mind mengajarkan bahwa meskipun memori bisa menyakitkan, itu adalah bagian dari pertumbuhan. Kadang-kadang, rasa sakit itulah yang membentuk karakter kita dan mempersiapkan kita untuk masa depan yang lebih baik.
Film sebagai Cermin Diri
Menonton film yang membahas kesehatan mental adalah cara yang menyenangkan untuk merenungkan kondisi diri tanpa harus merasa terbebani oleh teori atau wacana yang rumit. Film menawarkan refleksi personal tentang bagaimana kita, sebagai mahasiswa, bisa lebih memahami diri sendiri, menerima kelemahan kita, dan berani mencari bantuan ketika diperlukan.
ADVERTISEMENT
Jadi, di bulan yang didedikasikan untuk kesehatan mental ini, mari kita manfaatkan waktu untuk tidak hanya menonton, tetapi juga merenung. Karena pada akhirnya, kesehatan mental adalah kunci untuk meraih keseimbangan hidup yang lebih baik, bahkan di tengah-tengah tekanan akademis.
Ditulis oleh Frances Edith Tjhang, seorang mahasiswa dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta.