Konten dari Pengguna

Fusion Of Horizons Menolak Menjadi Bangsa Mebel

Moch Imron Rosyidi
Dosen dan Peneliti di Ilmu Komunikasi FISIB Universitas Trunojoyo Madura
27 Agustus 2024 8:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Imron Rosyidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagaimana seorang yang sangat dicintai lebih dari 55% penduduk Indonesia kini menjadi pembicaraan negatif dan disalahkan atas berbagai peristiwa belakangan. Jokowi hadir sebagai oase situasi elit politik di Indonesia yang didominasi kalangan menengah keatas. Beliau hadir sebagai sosok dari rakyat oleh takyat dan untuk rakyat. Retorika setengah guyon, membumi, dari trademark “ya ndak tau kok tanya saya” hingga pidato interaktif yang lucu dengan selingan kuis nama-nama ikan.
ADVERTISEMENT
Semua kepolosan dan keluguan tersebut sirna belakangan ini, beliau terkesan tidak ada bedanya dengan elit politik lain. Dari narasi tidak bisa tidur di IKN, sedang rakyat banyak yang merasa susah dan terampas tanahnya. Jokowi yang bukan dari kalangan “ningrat” terkesan membangun dinastinya sendiri belakangan ini. Hingga narasi kalimat yang lugu berganti menjadi “sesuai aturan” “kembalikan pada prosedur” seolah menjadikan Jokowi bagian dari sistem yang carut-marut, bukan orang yang mampu memperbaiki sistem.
Situasi politik belakangan juga terkesan menjadikan Jokowi seperti master of mind dari segala carut-marut negara. Mulai dari narasi Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia tentang “Raja Jawa” sampai opini publik “Dulu MK Diikuti, Kini MK di Kangkangi” cukup membuat publik gaduh dan munculnya berbagai aksi mahasiswa dalam sepekan terkahir. Jokowi telah menjadi fakta baru bahwa perjalanan pengalaman merubah seseorang menjadi pribadi lain. Rakyat yang merasa menderita dan tertindas merasa kehilangan Jokowi bahkan sebelum meninggalkan istana, sedang faktanya Jokowi tidak akan kemana-mana. Rakyat rindu Jokowi yang dulu.
ADVERTISEMENT
Bertanya Pada Gadamer
Dari berbagai fakta tersebut yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa seorang sekaliber Presiden berani berubah sifat kesan dan tampilan pada publik, bahkan menjelang berakhirnya kepemimpinan. Fakta tersebut setidaknya dapat dilihat dari dua hal; yang pertama adalah perjalanan individu Jokowi selama menjadi presiden, yang kedua adalah faktor lingkungan atau sistem politik yang dijalankan selama berkuasa.
Pada aspek individu kita bisa meminjam pandangan filsuf hermeneutika Hans-Georg Gadamer, tentang konsepnya "fusion of horizons”; yang merupakan hal yang sentral dalam proses pemahaman dan interpretasi individu. Gadamer menekankan bahwa untuk memahami suatu fenomena, kita harus mampu melebur atau memadukan horison pemahaman kita dengan horison yang terkandung dalam objek yang kita pelajari. Horison sendiri dimaknai sebagai kerangka referensi atau cakrawala pemahaman yang dimiliki oleh setiap individu, yang terbentuk dari latar belakang budaya, sejarah, dan pengalaman masing-masing.
Pemikiran Gadamer tentang fusi horizon membawa kita melihat bagaimana manusia bisa berubah melalui penggabungan pengalaman masa lampau dan proyeksi masa depan. Sumber foto : https://www.deutsche-biographie.de/dbo051068.html
Proses fusi horison ini melibatkan dialog dan pergulatan antara horison masa kini dan horison masa lampau. Melalui proses saling memahami dan menggabungkan horison-horison yang berbeda, kita dapat mencapai horizon baru yang lebih komprehensif dan universal, singkatnya cakrawala pengalaman dapat membentuk proyeksi pribadi baru. Faktanya Jokowi telah mengalami berbagai pengalaman selama 10 tahun kepemimpinan, mulai dari penyelenggaraan event internasional, pembangunan, dan menghadapi pandemi covid-19.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadikan Jokowi sebagai pribadi lain dari 10 tahun lalu. Kesan sebagai pelawan sistem, orang biasa, pembela rakyat dan lainnya seperti hilang sudah. Dalam pidato kenegaraan terakhir pada 16 Agustus 2024 jokowi seperti kehilangan karakter “orang biasa” terkesan seperti politisi lain yang banyak memberikan data statistik dan sangat monoton. Jokowi bahkan dengan detil menyampaikan sampai saat ini terbangun 366 ribu kilometer jalan desa, 1,9 juta meter jembatan desa, 2.700 kilometer jalan tol baru, 6.000 kilometer jalan nasional, 50 pelabuhan dan bandara baru, serta 43 bendungan baru, dan 1,1 juta hektare jaringan irigasi baru.
Hilang sudah narasi Jokowi yang bercerita dekat dengan rakyat bertemu Masyarakat pedalaman ini dan itu. Berganti menjadi pidato yang oleh Masyarakat akar rumput sulit dimengerti. Sehingga semakin menguatkan aspek elitis Jokowi di mata rakyat. Jokowi sang seniman mebel, telah berfusi menjadi tukang kayu yang hanya bekerja untuk menyelesaikan target, entah target siapa.
ADVERTISEMENT
Aspek lain sistem politik membuat pengalaman Jokowi dalam berpolitik menjadi pribadi yang sama dengan politisi lain. Sistem kita memang memubuat presiden rentan bisa dilengserkan oleh DPR seperti kasus Gus Dur. Hal ini membuat Jokowi membangun koalisi gemuk dan berbagai menuver belakangan dinilai untuk mengamankan pasca presidensi. Hal ini menjadikan fusi baru sosok Jokowi yang dekat dengan rakyat menjadi dekat dengan elit.
Jangan Menjadi Bangsa Mebel
Fusion Of Horizons bisa terjadi pada siapa saja. Karena pengalaman kehidupan seseorang akan membangun karakter dan memperkuat karakter. Termasuk bagaimana Fusion of Horizons yang terjadi pada Jokowi. Bangsa inijuga demikian, rasanya perlu bangun dan membuat horizon atau cakrawala baru tentang bernegara.
Kita yang selama ini dibentuk oleh sistem, terutama sepuluh tahun terakhir menjadi bangsa yang tidak bebas dalam berdemokrasi, bahkan indeks demokrasi kita turun dari 62 poin ke 53 poin pada 2019-2023. Masyarakat Indonesia mudah sekali tunduk dan tanpa mengkritik, bahkan pada pilpres 2019 seperti terbelah menjadi dua kutub besar dan akhirnya bisa diredam dengan elegan oleh Jokowi. Jokowi telah berhasil membuat bagunan politik seperti mebel yang kokoh diam dan tidak akan menyenggol kuasa.
ADVERTISEMENT
Maka jika Jokowi bisa mengalami fusion of horizons. Bukankah kita juga demikian, kasus pelucutan KPK, pengangkangan putusan MK dan lainnya sepertinya lapuk dipikiran kita. Namun, setidaknya semua fakta belakangan ini hingga aksi sepekan terakhir, sudah cukup membangun horizon baru kita tentang rakyat masih punya kuasa. Kita adalah bangsa yang agung bukan bangsa mebel yang mudah dibentuk, mudah lupa dan lapuk.