Tamparan Keras Realita Kehidupan dan Keyakinan Diri Sendiri dalam Pertemanan

Patrick Ivan
Halo! Saya Patrick Ivan. saat ini, saya sedang menjalani profesi sebagai mahasiswa Jurnalistik dari Universitas Padjajaran dan juga menekuni hobby baru saya, yakni menulis. banyak hal yang saya ingin tuangkan kedalam tulisan saya. Enjoy!
Konten dari Pengguna
30 April 2021 20:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Patrick Ivan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Menghitung hari telah memberikanku sebuah tamparan keras dari realita kehidupan. Bertahun-tahun lamanya, aku mencoba lari dari kenyataan agar aku terhindar dari rutinitas yang semakin fatal. Secara tidak sadar, aku selalu dipaksa melakukan apa yang mereka inginkan, bahkan aku selalu diancam, jika aku menolaknya. Rasanya kebebasan sudah terbelenggu di dalam diriku.
ADVERTISEMENT
Bising suara lingkungan membuatku selalu ingin menyendiri, menggundahkan keyakinanku terhadap mereka. Perlahan, memisahkan diri dari lingkungan adalah jalan yang terbaik. Siapa yang sangka aku mulai mengalami krisis kepercayaan terhadap mereka, apakah ini sebuah tanda? Dunia bergosip tentang diriku, cerita dan informasi tentang sisi gelapku dari sudut pandang mereka. Aku pun tak peduli.
Mudahnya diriku mendengar penilaian orang lain, semuanya bersikap layaknya malaikat. Ketakutan dan kegelisahan terhadap penilaian mereka atas diriku seringkali memudahkan aku untuk menutup diri. Segala kisahku memang tidak seperti mereka, namun aku ingin menciptakan momen tersendiri bersama mereka. Apa daya aku hanyalah manusia biasa.
Diriku mudah rapuh, layaknya mengalami kelumpuhan. Jika bisa digambarkan, aku layaknya seorang semut kecil di tengah raksasa perkotaan. Tatapan tajam itu mulai menusuk diriku secara perlahan. Ketakutan dan rasa malu mulai memenuhi seluruh hati dan mental aku. Aku pun mulai bertanya-tanya kepada hatiku, bahkan aku mengira bahwa keanehan terlihat dari tampak luarku. Aku hanya bisa termenung di dalam pikiranku.
ADVERTISEMENT
Tampaknya semua kelemahan sudah terasa di dalam diriku. Segala usaha dan upaya untuk mengatasi rasa ini, namun terasa rumit sekali rasanya. Kebimbangan dan keraguan mulai tampak terlihat di saat aku mulai berkomunikasi kepada Yang Maha Kuasa. Mulai mempertanyakan tujuan kehadiranku, semuanya tampak bahagia dan tentram di saat diriku menghilang dari dunia ini.
Kepalsuan merupakan makanan hari-hari saat menghadapi orang lain. Dunia mengajarkan kepalsuan, demi keuntungan. Menjadi diri sendiri sudah terasa asing bagiku, dengan kata lain rumitnya membedakan kepalsuan dengan kebenaran. Bagiku, kebenaran sudah tidak berlaku lagi di dunia ini. Semuanya hanya menuntut orang berlaku sesuai dengan keinginannya.
Semua cara layaknya kaca pembesar, untuk mencari celah kelemahan. Rentan tersakiti dan mudah tersinggung sudah tidak terasa asing lagi bagi masyarakat saat ini. Terkadang kejujuran membuat orang mudah tersakiti, aku pun yakin bahwa orang tidak mau menerima kejujuran dari seseorang. Semuanya ingin menjadi terhebat, namun tidak pernah belajar dari kekurangan.
ADVERTISEMENT
Berkata jujur di hadapan lingkungan merupakan sebuah kemustahilan dari masa kini. Aku hanya mengatakan dari hasil pengamatanku, aku tidak mencoba menjual kepalsuan dari diriku. Namun, mereka tidak menerima kehadiranku karena tidak sesuai dengan keinginan mereka. Kehadiranku sebagai kesialan bagi mereka, hanyalah beban dalam pertemanan.
Segala perkataan ku dianggap sebuah hinaan terhadap mereka. Kebencian mereka membuat diriku merasa terasingkan. Kehadiranku mungkin dianggap berbahaya bagi mereka. Segala upaya menjelaskan dari perkataanku. Upaya yang bisa aku lakukan hanyalah meminta maaf dan memaki mereka. Bagiku, mereka semua hanyalah seekor binatang yang sedang mengais meminta makanan di tempat sampah.
Secara berkomunikasi pun, aku tak pandai berkata, yang aku bisa lakukan hanyalah merangkai kata dalam kertas dan pena. Berdialog pun aku terkadang bertanya-tanya tentang penilaian mereka terhadap gaya bicara aku. Memang, berdialog dengan aku terasa membosankan. Menyampaikan pesan terasa sumbang, namun saat aku merangkai kata, pembaca pun langsung tumbang.
ADVERTISEMENT
Seluruh isi hatiku kurangkai dengan indah, seperti dalam lagu rap yang menceritakan tentang keluh kesah. Walaupun, tidak ada yang membaca, aku tetap melakukan apa yang harus dilakukan. Aku hanya bisa mengatakan bahwa saat ini masyarakat memiliki nilai rendah dalam literasi. Masyarakat lebih memilih untuk tertipu daripada mengatasi tipuan tersebut. Keheningan pun mengajak aku tertawa saat melihat kekurangan manusia.
Teman-temanku berlomba-lomba untuk mendapatkan hati seorang perempuan. Segala upaya yang dilakukan demi menarik perhatian sang calon pacar. Temanku pernah berkata, kunci dalam proses pendekatan dan menjalani sebuah hubungan adalah komunikasi. Aku hanya terdiam dan termenung, mulai bertanya-tanya kepada diriku, “Apakah aku bisa menarik hati seorang perempuan?”
Setiap perjumpaan pasti selalu ada perpisahan, itulah prinsip yang aku yakini selama aku hidup. Manusia pasti memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghadapi perpisahan. Ketakutanku terhadap perpisahan memberikan kesulitan dalam menarik hati seorang perempuan. Begitu banyak keluh kesah orang di media sosial yang berisikan kemungkinan akibat dari perpisahan suatu hubungan.
ADVERTISEMENT
Memang aku tidak memiliki tampang yang lebih, hidup aku masih bergantung sama orang tua, kendaraan pun tidak punya, dan kelebihan sepertinya tidak ada. Saat setiap bertemu perempuan, aku merasakan tembok besar yang mengelilingi diriku. Rasanya susah untuk tercapai atau terlewatkan. Bahkan, aku hanya bisa terdiam dan mengamati paras cantiknya saja.
Memikirkannya pun jadi hobi aku, namun dia pun tidak tahu. Mengungkapkan sebuah rasa yang telah ku pendam selama ini pun rasanya mustahil sekali. Kedewasaan tidak membuktikan keberanian seseorang untuk mengungkapkan cinta. Kasih sayang pun aku sudah tidak merasakan lagi, bagaimana aku bisa mengasihi ia. Lebih baik egois daripada menyakiti hati orang lain.
Redupnya keyakinan terhadap diriku sudah dirasakan sejak dari kecil. Aku hanyalah seorang badut di tengah pertemanan. Kehidupanku hanyalah bahan lelucon mereka, seakan-akan aku hanyalah penghibur mereka. Aku hanyalah seorang jentaka bagi lingkungan. Kejenakaan aku hanya menutup kesedihan dalam diri. Kurasa, kesepian telah mengajarkan aku untuk memotivasi diri sendiri. Bagiku, cinta itu hanyalah kepalsuan belaka.
ADVERTISEMENT