Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Politik itu cair. Tak sampai lima bulan setelah dicopot dari posisi Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo malih rupa dari pelindung nomor satu jadi ‘lawan politik’ Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Meski banyak pihak menilai rematch Jokowi vs Prabowo akan tetap terjadi, tak sedikit pula yang meyakini Gatot lebih menjanjikan ketimbang Prabowo Subianto di Pemilihan Presiden 2019 nanti.
Selain faktor ‘psikologi politik’ Prabowo yang anjlok akibat dua kekalahan di Pilpres 2009 dan 2014, faktor keterpilihan di masyarakat juga diyakini membuat Gatot lebih berpeluang mengalahkan Jokowi ketimbang Prabowo.
Lihat saja perkembangan elektabilitas keduanya berdasarkan survei Median pada Oktober 2017 dan April 2018 . Dalam enam bulan, tingkat keterpilihan Gatot Nurmantyo naik hampir tiga kali lipat, dari 2,8 menjadi 7 persen. Bandingkan dengan Prabowo yang malah turun dari 23,2 menjadi 20,4 persen.
Tentu selisih 20 dan 7 persen masih sangat jauh. Namun, patut diingat bahwa Gatot terhitung belum melakukan langkah politik secara terbuka sampai awal April kemarin. Gatot baru sebatas menyatakan siap kalau ditawari maju. Bahkan, belum ada partai yang secara terbuka mengajukan Gatot sebagai sosok utama untuk tahun politik 2019.
ADVERTISEMENT
“(Tapi) sebagai kandidat, yang bersangkutan prospektif. Diberi kesempatan sedikit, langsung melaju. Partai senang kalau ada yang seperti itu,” kata peneliti politik senior LIPI Siti Zuhro kepada kumparan, Selasa (17/4).
Duri dalam Daging
Nama Gatot terbang tinggi pada akhir 2016. Dalam demonstrasi massa Islam yang bertajuk 411 dan 212, Jenderal Gatot mengambil alih panggung. Untuk menguasai massa, Gatot menggunakan simbol-simbol khas Islam macam kopiah putih.
Sejak saat itu, meminjam istilah yang digunakan Siti Zuhro, massa muslim terus menjadi ‘ceruk suara’ andalan Gatot. Ia, sampai satu setengah tahun berikutnya, aktif menyuarakan isu-isu yang jadi idaman kelompok Islam konservatif maupun kaum ultra-kanan di Indonesia.
Misalnya saja: membikin perintah wajib nonton bareng film G30S/PKI , membikin isu yang mirip-mirip isu Angkatan Kelima dengan menyebut adanya pembelian 5.000 senjata ilegal oleh sebuah instansi, membaca puisi ‘Tapi Bukan Kami Punya ’ di kongres salah satu partai politik, sampai safari Ramadan ke beberapa pesantren di Banten dan Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Gatot terang-terangan menganjurkan TNI diberi hak politik (memilih dan dipilih pada pemilu) di masa depan, serta memunculkan narasi proxy war yang imbasnya bisa membuat militer diberi kewenangan lebih ke babagan sipil non-pertahanan seperti yang pernah terjadi di Orde Baru.
Manuver-manuver yang sama masih digunakan Gatot pasca-turun dari jabatan Panglima TNI. Gatot masih berkeliling ke berbagai pesantren, dari Tangerang , Ciamis , sampai Pamekasan . Upaya menjaring massa tambah serius ia lakukan usai pensiun. Bedanya, kini relawan-relawan lah yang menjadi ‘pasukan’ terdepan.
Meski elektabilitasnya menunjukkan tren positif, Gatot tahu ia belum benar-benar menggenggam tiket maju ke Pilpres 2019. Gatot belum punya partai --satu pun.
Namun politik itu dinamis. Isuk dele sore tempe pun tak mengapa. Apalagi cuma perkara melenggang ke seberang. Wajar.
ADVERTISEMENT
Partai-partai politik di Indonesia yang sampai saat ini belum memutuskan arah dukungan, jelas bisa jadi peluang Gatot.
Gatot tak bergerilya sendirian. Ia sudah punya ‘pasukan’ baru, yakni berbagai kelompok relawan. Tak kurang ada delapan kelompok yang aktif menyuarakan Gatot sebagai calon presiden alternatif untuk diusung pada 2019.
Kelompok relawan ini bergerak cepat. Beberapa di antaranya bahkan sudah punya preferensi calon wakil presiden sendiri. Sampai Agustus 2018 nanti, mereka punya satu misi: mengajak sebanyak-banyaknya partai, dari kubu mana saja, untuk mengusung Gatot Nurmantyo sebagai capres di 2019.
Dari deretan kelompok relawan ini, Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN) menjadi yang paling aktif. Ditemui di markas mereka di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Ketua RSPN Rama Yumatha menyatakan optimistis menggaet tiga partai sekaligus.
ADVERTISEMENT
“Komunikasi sudah sama PBB, PKS. Tapi kami juga bakal ke Demokrat, PAN, sama PKB,” ujar Rama, Selasa (17/4).
Rama bercerita bagaimana kepada partai-partai tersebut ia mengajukan Gatot sebagai ‘calon’ dari masyarakat. Ia yakin, massa RSPN yang mendukung Gatot akan membuat partai-partai itu tergiur. “Kami lumayan banyak loh, (anggota) kelompok kita ini. Hampir tiga juta,” klaim Rama.
Melenggang ke Tiga Gerbang
Gatot cukup hati-hati dalam menjalankan manuvernya ke partai-partai. Menurut Mayjen (Purn) Kivlan Zen yang tiga hari lalu, Jumat (20/4), bertemu dengannya, Gatot fokus pada persatuan umat.
“Pak Gatot belum dapat partai. Tapi dia serahkan saja kepada umat. Kalau umat sudah nunjuk calon pemimpinnya siapa, partai-partai itu kan akan bersatu nanti,” ujar Kivlan kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Menurut Kivlan, Gatot memilih tawakal pada umat karena ia tak mau banyak orang mengira ia punya ambisi tinggi. Berdasarkan omongan Kivlan, Gatot yakin apabila umat sudah menghendaki dia maju, masalah-masalah seperti partai dan suara hanya akan jadi barang sepele.
“Suara umat ini taruhlah dapat 70 persen. Dari 212 itu kelihatan dong kekuatannya, toh?” ujar Kivlan.
Jadi skenarionya begini: 1) hingga Agustus menjelang, Gatot akan terlihat diam-diam saja; 2) umat di Indonesia mulai menyuarakan aspirasi kebutuhan akan pemimpin baru di luar Jokowi-Prabowo; 3) partai-partai akan ‘mendengarkan’ aspirasi umat ini dan mengusung Gatot sebagai capres di 2019.
Meski menunggu, bukan berarti Jenderal Gatot benar-benar diam. Usai turun dari tampuk Panglima TNI, Gatot sudah sowan ke beberapa tokoh nasional dan sejumlah partai besar. Selain mengaku bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Gatot juga bertemu pendiri PAN Amien Rais, dan --menurut sumber kumparan-- petinggi PKS beberapa kali secara tertutup.
Sederhananya, ada tiga kemungkinan yang telah dijajaki oleh Gatot Nurmantyo:
ADVERTISEMENT
Pertama, menjadi calon wakil presiden Joko Widodo. Pendekatan sudah dilakukan. Gatot dianggap bisa memberi daya tawar berbeda kepada Jokowi. Ia punya basis massa populis cukup kuat, yang selama ini berada di seberang Jokowi.
NasDem, salah satu pendukung Jokowi, tak malu-malu menyokong kemungkinan ini. “Kalau Jokowi memilih Pak Gatot, kami ikut mendukung,” ucap Ketua DPP NasDem Willy Aditya , awal April.
Namun, kemungkinan terwujudnya pasangan Jokowi-Gatot cukup kecil. Menurut sumber kumparan, Jokowi akan memilih sosok yang tak bakal mengganggu posisi PDIP di Pemilu 2024. Sementara Gatot yang punya elektabilitas oke dan nirpartai, amat mungkin maju dan meninggalkan PDIP di 2024 nanti. Belum lagi, para relawan Gatot cenderung tak suka kalau ia berduet dengan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan kedua, mendekat ke Gerindra. Pertemuan sudah dilakukan akhir Februari lalu di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tanpa hasil memuaskan. Meski telah menawarkan pembiayaan segenap modal pilpres, Gerindra tetap bergeming menolak tawaran Gatot sampai saat ini.
“Pak GN menyampaikan keinginan beliau. Tapi sikap kami jelas, bahwa final mendukung Pak Prabowo sebagai capres kami,” ujar Wasekjen Gerindra Andre Rosiade.
Situasi jadi sulit bagi Gerindra. Di satu sisi, Prabowo dan Gatot akan menjadi penantang pamungkas Jokowi. Di sisi lain, Prabowo tersandera harus menjadi capres agar elektabilitas partainya meningkat di Pemilu Legislatif 2019. Sementara Gatot pun tak berkenan menjadi cawapres. Salah satu alasannya, misal, ia bintang empat, sedangkan Prabowo bintang tiga.
ADVERTISEMENT
Ketiga, merapat ke partai-partai di antara PDIP dan Gerindra. Pilihan ini paling masuk akal. Maka tak heran, upaya mendekat ke PAN, PKS, sampai Demokrat menjadi opsi yang paling diseriusi oleh Gatot.
Agaknya, gayung bersambut. Dengan mekanisme pilpres yang berbarengan dengan pelaksanaan pileg, partai-partai tersebut membutuhkan sosok kuat yang bisa menaikkan citra partai secara keseluruhan. Segala pilihan pun dikaji.
Terbukti, meski selama ini terlihat dekat dengan satu kubu, belum satu pun di antara partai-partai tersebut yang secara final menyatakan dukungan pada satu pihak. Malah, berbagai kode dikirimkan agar Gerindra mau menerima Gatot.
PAN dan PKS menjadi yang paling kentara merayu Gerindra supaya ‘mengalah’. Meski pertengahan April kemarin sudah diajak naik kuda beriringan dengan Prabowo di Rakornas Gerindra (yang menurut Wasekjen Gerindra Andre Rosiade merupakan simbol ajakan koalisi ), kedua partai itu ‘bersabda’ dukungan mereka belum final untuk Prabowo. Tak cuma itu, mereka malah melemparkan sinyal-sinyal yang mengedepankan Gatot sebagai calon alternatif yang menjanjikan.
ADVERTISEMENT
“Ketika muncul nama Pak Gatot, di survei begitu cepat dan naik, bisa jadi memang merefleksikan keinginan banyak orang atau aspirasi gelombang besar yang menginginkan perubahan itu,” ujar Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais , Selasa (17/4).
Hanafi juga mengatakan, Gatot sudah bertemu dengan ayahnya, pendiri PAN Amien Rais. “Saya melihat Gatot adalah calon alternatif yang paling siap,” tambahnya.
PKS pun demikian. Ketua DPP PKS Nasir Djamil mengakui, internal partainya kini tengah terbelah. Mereka tak lagi satu suara mendukung Prabowo, dan lebih condong ke Gatot. Meski komentar Presiden PKS Sohibul Iman menyiratkan langkah Gatot yang ragu-ragu mendekati partai syuro tersebut, pintu PKS tetap terbuka lebar bagi Gatot.
ADVERTISEMENT
“Saya punya analisis, tiket akan diberikan ke orang lain yang paling berkesempatan. Itu adalah Pak Gatot Nurmantyo,” ujar Nasir , Senin (16/4).
Sementara itu, Demokrat yang sampai saat ini cenderung sibuk dengan agendanya sendiri, tak menutup kemungkinan untuk membawa Gatot sebagai calon utama mereka. Apalagi, SBY punya sejarah chemistry kuat dengan Gatot. Ialah yang melantik Gatot sebagai KSAD, dan disebut punya peran penting dalam proses Gatot menjadi Panglima TNI.
Bahkan, Demokrat juga seolah mendorong Gerindra legowo melepas pencapresan Prabowo di Pilpres 2019. Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Advokasi, Ferdinand Hutahean, mengatakan partainya siap saja untuk berkoalisi dengan Gerindra, asal calon presidennya bukan Prabowo. Menurutnya, ini perlu dilakukan untuk menyerap aspirasi masyarakat yang tidak menyukai Jokowi, namun tidak mau memilih Prabowo.
ADVERTISEMENT
“(Massa yang tak mau ikut Jokowi dan Prabowo) itu jumlahnya enggak kecil. Melebihi elektabilitas Prabowo. Yang tidak menentukan pilihan ini, angkanya di atas 35 persen. Mereka tidak suka Jokowi, tapi tidak mau ke Prabowo,” kata Ferdinand.
Jadi, kalau bukan Jokowi, bukan pula Prabowo, siapa lagi kalau bukan Gatot Nurmantyo.
Politik itu last minute. Semua yang terjadi di menit terakhir akan menentukan. Agaknya, memprediksi saat ini masih terlalu dini. Meski begitu, bukan berarti para pelaku politik tak melakukan persiapan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Gatot tahu, Gerindra tak mungkin melangkah sendiri di Pilpres 2019 (partai Prabowo itu cuma punya 73 kursi, kurang 39 kursi lagi untuk memenuhi ambang batas 20 persen kursi DPR guna mengajukan capres). Maka, alih-alih memaksa Gerindra, Gatot mencoba merebut partai-partai yang ada di sekeliling Gerindra macam PKS dan PAN. Tujuannya jelas: agar Gerindra tak punya pilihan lain kecuali mencalonkan dia yang --nantinya-- sudah diusung PKS dan PAN.
Terbang ke Seberang
Gerindra mengaku tak khawatir dengan manuver Gatot. Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, menganggap pernyataan kader partai lain yang mencuatkan nama Gatot sebagai alternatif Prabowo, sebagai hal biasa.
“Sama kayak (di) Gerindra kemarin Desmond ngomong Gatot, tapi kan setelah keputusan Rakornas selesai kan?”
ADVERTISEMENT
Arief mengklaim partainya telah siap dengan caranya sendiri. “Kan masih banyak partai lain yang mau gabung sama kami. Jangan kira partai yang ada di Pak Joko Widodo nanti nggak lari ke kami,” ujarnya, Kamis (19/4).
Menurut Arief, pembicaraan politik menjelang 2019 kali ini terlalu dini menghapus peran Jusuf Kalla.
“Peran Pak JK di Golkar sangat kuat. Kan Pak JK deket banget sama Pak Prabowo. Inspiratornya Airlangga jadi Ketua Umum (Golkar) kan Pak JK. Ini orang banyak yang nggak menghitung perannya Pak JK. Kayak di (Pilkada) Jakarta kan, tahu-tahu Pak JK ke Anies. Ya gak?” ujar Arief beretorika.
ADVERTISEMENT
Ia melanjutkan, “Kader di bawah, Golkar nih, baru bicara-bicara sama saya. Ada elite-elitenya (omong), gimana kalau kita pasangkan Prabowo sama Airlangga. Menang kita,” ujarnya, masih optimistis.
Optimistis tentu boleh. Masalahnya, matahari di tubuh Golkar tak cuma satu. Kalla bisa saja berimprovisasi di menit akhir dan bergeser ke sisi lain. Tapi, jangan lupakan matahari lain yang daya jangkaunya tak kalah benderang: Luhut Binsar Panjaitan.
Bukan rahasia lagi, Menko Maritim dan politikus senior Golkar itu berkomunikasi rutin dengan Prabowo. Bukan pula rahasia, ia orang kepercayaan Jokowi. Beberapa kali Jokowi mengirim eks komandan Sat-81/Gultor Kopassus itu untuk menemui Prabowo.
Salah satu pertemuan Luhut dan Prabowo berlangsung belum lama ini di restoran salah satu hotel di Jakarta, Jumat (7/4), lima hari sebelum Prabowo diberi mandat Gerindra untuk maju jadi calon presiden 2019.
ADVERTISEMENT
Pertemuan tertutup itu, menurut Gerindra, adalah silaturahmi antara sesama eks militer dan bekas rekan bisnis. Belakangan Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan, pertemuan itu bagian dari lobi Jokowi agar Prabowo mau bergabung dengannya sebagai cawapres.
Prabowo, ujar Sohibul, saat itu menolak tawaran tersebut. “Bang (Luhut), apa Abang enggak kasihan sama saya? Saya sudah berjuang seperti ini masa ujung-ujungnya cuma jadi cawapres Jokowi? Abang jangan underestimate, (mengira) kalau Jokowi-Prabowo bersatu itu tak ada yang bisa mengalahkan. Belum tentu,” ujar Sohibul menirukan ucapan Prabowo ke Luhut.
Namun, bukan berarti komunikasi berakhir. Sebab Prabowo menghubungi Luhut via telepon, Rabu (18/4), saat sang Menko sedang berada di Washington, Amerika Serikat, untuk menghadiri pertemuan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia.
ADVERTISEMENT
Luhut dan Prabowo, selain punya kesamaan latar belakang militer (Luhut senior Prabowo di Kopassandha--kini Kopassus), juga sama-sama pengusaha. Masing-masing memiliki bisnis tambang batu bara, perkebunan kehutanan, dan lain-lain.
Dengan pergerakan Luhut yang tak kalah kuat itu, alih-alih Golkar ke Prabowo, bukan tak mungkin justru Prabowo yang menyeberang ke sisi Jokowi. Dan bila sampai terjadi, hal itu jelas tak menguntungkan Gatot.
“Ada tiga opsi yang sekarang masih sama-sama terbuka (bagi Gerindra): 1. Opsi Prabowo maju capres sendiri; 2. Opsi Prabowo endorse orang sebagai capres Gerindra; 3. Opsi Prabowo jadi wakil Jokowi,” kata Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy kepada kumparan, Minggu (22/4).
ADVERTISEMENT
Ketiga opsi tersebut, menurut Romy, sapaan akrab Romahurmuziy, dibeberkan langsung oleh Sandiaga Uno “sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo” saat bertemu dengannya dan Ketua Majelis Pertimbangan PPP Suharso Monoarfa, Jumat malam (20/4), pada hari yang sama ketika Gatot diam-diam bertemu Kivlan.
“(Hitung-hitungan koalisi) masih terlalu dini. (Gerindra gabung) sama PDIP aja bisa,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono. Nah.
Arief tentu benar. Siapa pun bisa menyeberang ke pihak yang secara kalkulasi politik lebih menguntungkan baginya.
ADVERTISEMENT
Politik memang serba-cair, dinamis, dan last minute. Ada rentang waktu cukup menuju pendaftaran calon presiden. Agustus masih empat bulan lagi.
Prabowo, Gatot, Jokowi, dan tokoh-tokoh lain yang hendak maju capres, masih punya cukup waktu untuk mematangkan strategi dan mengonsolidasikan kekuatan. Pula partai-partai masih leluasa berhitung, calon mana yang paling pas bagi mereka.
------------------------
Ikuti terus laporan mendalam Otot Gatot di Liputan Khusus kumparan.