Mengapa Patung-patung Dihancurkan pada Gerakan Black Lives Matter?

21 Juni 2020 9:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Patung Edward Colston di Bristol, Inggris, ditumbangkan pada aksi Black Lives Matter. Foto: AP Photo via PA/Ben Birchall
zoom-in-whitePerbesar
Patung Edward Colston di Bristol, Inggris, ditumbangkan pada aksi Black Lives Matter. Foto: AP Photo via PA/Ben Birchall
Patung-patung pada jatuh dan dicopot. Yang lain hancur, dipenggal, dicemoret, bahkan ada pula yang akhirnya nyemplung di Kali Avon di Bristol. Setidaknya, terdapat lebih dari 80-an patung yang menemui nasib serupa selama satu bulan terakhir dalam demonstrasi antikekerasan dan rasisme terhadap warga kulit hitam di seluruh dunia.
Pembunuhan George Floyd oleh kepolisian Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat akhir Mei kemarin menjadi pelatuk terbaru terhadap aksi protes dan solidaritas global yang kini berlangsung di bawah payung gerakan Black Lives Matter (BLM).
Warga memegang poster bertuliskan "Black Lives Matter" saat aksi protes di New York, AS, pada 9 Juli 2016. Foto: AFP/Kena Betancur

Black Lives Matter

BLM adalah gerakan sosial dengan misi “...memberantas supremasi kulit putih dan membangun kekuatan lokal untuk meghentikan kekerasan terhadap komunitas warga kulit hitam baik oleh negara maupun vigilante.”
Awalnya, BLM muncul dalam rupa tagar di media sosial, tanda solidaritas pada Trayvon Martin, warga kulit hitam yang ditembak secara fatal oleh warga kulit putih di Florida, Februari 2012. BLM kemudian tumbuh menjadi gerakan yang lebih besar, menyusul kematian Michael Brown di Ferguson dan Eric Garner di New York City pada 2014.
Kini, Black Lives Matter Foundation, Inc berkembang menjadi organisasi internasional yang hadir di berbagai negara dengan struktur organisasi yang longgar dan terdesentralisasi. Secara umum tuntutannya terfokus pada reformasi lembaga kepolisian seperti yang dimanifestasikan pada 10 solusi Campaign Zero—salah satunya mengakhiri broken windows policing.
Warga memotret patung Christopher Columbus tanpa kepala di Boston, Massachusetts, AS, Rabu (10/6). Foto: Brian Snyder/Reuters

Patung-patung Ambruk

Satu hal yang menjadi perhatian khusus pada aksi protes kali ini adalah aksi penurunan dan penghancuran patung-patung di ruang publik. Kurang lebih satu bulan terakhir sebanyak 86 patung di Amerika Serikat, Inggris, Belgia, dan Selandia Baru diturunkan (atau direncanakan akan diturunkan) baik secara paksa oleh demonstran maupun oleh pemerintah setempat.
Beberapa contoh patung yang digusur adalah patung Christopher Columbus—navigator Italia yang disebut-sebut membuka jalur bangsa Eropa ke Amerika—di 15 tempat berbeda di Amerika Serikat; patung politisi AS Jefferson Davis di Richmond, Amerika Serikat; patung Edward Colston di Bristol, Inggris; patung Raja Leopold II di Antwerp, Belgia; sampai patung John Fane Charles Hamilton di kota Hamilton, Selandia Baru.
Yang kemudian menjadi pertanyaan beberapa kalangan: apa hubungan patung-patung tersebut dengan aksi protes Black Lives Matter? Apa gunanya kalau patung-patung tokoh-tokoh masa lampau itu dibongkar? Bukankah perusakan dan penurunan patung-patung tersebut justru mencederai semangat pemeliharaan terhadap sejarah?
Patung Edward Colston sebelum menyelam di Kali Avon, Bristol, Inggris. Foto: AP Photo via PA/Ben Birchall

Upaya Menjadi Abadi

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita perlu tahu siapakah persona yang diabadikan melalui patung-patung tersebut.

Siapa itu Edward Colston?

Sosok yang patungnya dilempar dari dermaga Bristol itu adalah seorang politisi Tories dari Bristol yang hidup dari 1636 sampai 1721. Beberapa orang menyebutnya sebagai seorang filantropi. Sumbangan uangnya kencang buat sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan gereja terutama di Bristol. Pada kota yang ia sebut rumah itu, namanya diabadikan sebagai nama gedung, panti asuhan, rumah sakit, sampai monumen kota.
Terdengar baik? Colston punya sisi lain. Selain menjadi seorang politisi, Colston juga seorang pedagang semasa hidupnya. Apa yang diperdagangkan? Rupa-rupa. Tekstil dari London; anggur dari Spanyol dan Portugal; emas, perak, dan gading dari Afrika; namun juga budak saat ia menjadi anggota Royal African Company dari 1680 hingga 1692.
Selama Colston terlibat di Royal African Company, diperkirakan perusahaan tersebut memperdagangkan 84 ribu orang Afrika (baik laki, perempuan, juga anak-anak) ke gugusan Karibia dan Amerika. Sebanyak 19 ribu di antaranya tewas di perjalanan kapal berbulan-bulan.
Budak-budak itu, yang kesemuanya manusia sama seperti kita, kemudian dibikin kerja paksa di perkebunan gula dan tembakau karena dipandang “lebih murah” daripada harus mendatangkan buruh dari Inggris.
Kondisi Patung Raja Belgia Leopold II yang divandal di Brussels, Kamis (11/6). Foto: Yves Herman/Reuters

Siapa itu Leopold II?

Leopold Lodewijk Filips Maria Victor, atau Leopold II, adalah Raja Belgia dari 1865 sampai 1909. 44 tahun kuasanya itu membuatnya menjadi Raja Belgia yang paling lama berkuasa. Saat akhirnya mangkat, ia tak punya anak laki-laki untuk menggantikannya. Raja Belgia saat ini merupakan keturunan dari Albert I, keponakan Leopold yang juga menggantikannya pada 1909.
Selain menjadi Raja Belgia, ia juga memegang peran sebagai penguasa Congo Free State dari 1885 sampai 1908. Dengan bantuan Henry Morton Stanley, penjelajah dan administrator kolonial, Leopold II diberi otoritas oleh gabungan negara kolonial dalam Konferensi Berlin 1884-1885 untuk menguasai wilayah yang sekarang menjadi Republik Demokratik Kongo. Tujuannya untuk memperbaiki kehidupan dan membawa peradaban modern buat penduduk pribumi.
Tujuannya itu tak lama kemudian cuma menjadi dalih. Ia menggunakan tentara bayaran Force Publique untuk memerintah Kongo demi kepentingan pribadinya. Ia mengumpulkan gading gajah dan memaksa penduduk pribumi menanam karet. Hukuman mati adalah pasti untuk mereka yang tidak memenuhi kuota setor getah karet harian.
Dalam kekuasaan absolutnya di Congo Free State tersebut, sebanyak 10-15 juta orang Afrika tewas akibat praktik lancung dan tamaknya. Pembantaian dan kekejaman Leopold II di Kongo itulah yang menjadi acuan nomenklatur “crime against humanity” atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Patung Christopher Columbus tanpa kepala dengan latar belakang bendera Amerika Serikat di Boston, Massachusetts, AS, Rabu (10/6). Foto: Brian Snyder/Reuters

Siapa Christopher Columbus?

Orang mengenal Christopher Columbus sebagai penemu Dunia Baru—benua Amerika. Ekspedisinya, yang disponsori oleh monarki Spanyol, menjadi kontak pertama orang daratan Eropa dengan kepulauan Karibia dan Amerika Latin pada akhir abad ke-15. Singkat kata, ia mengawali eksplorasi Eropa di benua Amerika.
Tak cuma eksplorasi, Columbus juga membawa eksploitasi dan kolonialisasi. Warga pribumi Amerika (yang disebut Columbus sebagai suku Indian, karena ia mengira pelayarannya berakhir di India) menjadi korban dari kesewenangan Columbus. Misalnya saja suku Taino yang diperbudak dan dibantai oleh rezim awal Columbus.
Columbus juga gemar menggunakan berbagai macam penyiksaan saat menguasai Hispaniola (kini Haiti dan Republik Dominika). Ia tercatat pernah menghukum pribumi yang mencuri jagung dengan cara memotong hidung dan kupingnya, lalu menjual pribumi itu sebagai budak.
Proses pemindahan patung Robert Milligan. Foto: REUTERS/John Sibley
“Kupikir, patung adalah upaya paling akhir agar seseorang menjadi abadi,” kata sejarawan seni sekaligus profesor di John Jay College of Criminal Justice, New York, Erin L. Thompson seperti dikutip dari The New York Times. Thompson tengah membahas apa makna sebuah patung.
“Patung adalah cara untuk mengabadikan ide dan menampilkan serta mempertahankannya ke orang-orang. Masalahnya bukan patungnya, tapi sudut pandang macam apa yang mereka wakili? Ide macam apa yang mereka terima?” ujar Thompson.
Thompson juga menjelaskan bahwa penghancuran patung dalam sebuah protes bukanlah hal yang baru. “Justru penghancuran adalah norma, sedang pelestarian adalah sesuatu yang langka,” katanya.
Menurutnya, catatan sejarah menunjukkan bahwa pembangunan monumen untuk mengglorifikasi seseorang dan penghancuran atas monumen-monumen tersebut untuk menolak ide yang disimbolkannya adalah sesuatu yang amat lampau.
“Ada patung raja Asiria kuno yang memiliki pahatan, ‘Barangsiapa yang menjatuhkan patungku akan merasakan pedih di sisa hidupnya,’ atau sejenis itulah. Dari situ kita tahu bahwa salah satu strategi perlawanan berupa menghancurkan patung-patung sudah terjadi sejak 2700 tahun sebelum Masehi,” kata Thompson.
Menurutnya, yang remuk dari penghancuran patung-patung tersebut bukan hanya adonan semen yang mengeras dan menyerupai hidung, mulut, dan mata penguasa-penguasa tadi, namun juga ide dan pandangan yang mereka simbolisasi.
Patung Winston Churchill di Inggris dirusak. Foto: Reuters/Dylan Martinez

Ongkos Berdamai dengan Masa Lalu

Lagi pula, memelihara dan merawat ratusan patung bukanlah perkara murah. Apalagi kalau mengingat biaya mahal tersebut dihabiskan untuk merawat patung-patung figur rasis dan pemelihara budak yang menghancurkan hidup jutaan orang puluhan tahun lampau.
Laporan dari Smithsonian Magazine pada 2018 menunjukkan hal tersebut. Investigasi yang dilakukan Brian Palmer dan Seth Freed Wessler menunjukkan bahwa pada 2008-2018, pembayar pajak Amerika Serikat menghabiskan USD 40 juta (hampir Rp 600 miliar) untuk merawat monumen Konfederasi—kelompok pro-perbudakan yang melawan Union pada perang sipil Amerika (1861-1865).
Satu hal yang menurut Thompson perlu dicermati adalah bahwa aksi antirasisme yang dilakukan di penjuru dunia akhir-akhir ini bukan sebatas menuntut perubahan di masa depan, namun juga upaya mempertanyakan apa yang dianggap sebagai sebuah kebenaran di masa lampau.
“Serangan terhadap patung-patung ini menunjukkan bagaimana dalamnya supremasi kulit putih terbentuk dalam struktur nasional kita. Itu membuat kita perlu mempertanyakan kembali segala hal, termasuk bagaimana cara kita memandang dan memahami dunia,” kata Thompson. Baginya, mustahil memperbaiki masa depan tanpa menerima apa yang benar-benar terjadi di masa lampau.
“Dan patung-patung ini berada di ruang publik. Patung-patung ini seperti bilang bahwa versi sejarah yang mereka bawa adalah versi sejarah yang diterima oleh publik,” kata Thompson.
Yang mana tidak selalu demikian.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.