Photo Story: Terbuang dari Negeri Sendiri

2 Februari 2017 17:51 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
zoom-in-whitePerbesar
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Bertemu kaum terbuang. Itulah yang terjadi pada Rosa Panggabean saat pergi ke Negeri Kincir Angin untuk berlatih fotografi. Ini pengalaman seumur hidup, dan meninggalkan kesan kuat di benak fotografer perempuan itu.
ADVERTISEMENT
Bermula dari tugas Ocha, sapaan Rosa, untuk membuat photo story unik. Tahun itu, 2014, Ocha beruntung bisa terbang ke Belanda karena menerima Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam atas salah satu karya fotografinya.
Maka demi memenuhi PR pelatihannya, Ocha berdiskusi dengan kawannya yang sudah lama tinggal di Belanda. Hingga akhirnya ia menetapkan pilihan hendak mengangkat cerita tentang kaum eksil Indonesia yang tinggal di Belanda.
Mereka terusir dari Indonesia, dari negeri sendiri, ketika pergolakan politik terjadi pada periode 1964-1966. Kala itu pemerintahan Sukarno beralih ke Soeharto, dan banyak di antara mereka yang dikirim Sukarno untuk bertugas atau belajar ke luar negeri tiba-tiba mendapati paspor dan kewarganegaraan mereka telah dicabut tanpa sebab jelas.
ADVERTISEMENT
Maka, Ocha menemui mereka: eksil yang hidup dalam pembuangan, tanpa punya kesempatan untuk mencium lagi tanah kelahirannya.
Dari 9 orang eksil yang ditemui Ocha, hanya 3 orang yang bersedia untuk dipotret untuk diangkat kisahnya. Wajar, trauma begitu mendalam tertanam pada diri mereka. Tak semua mau cerita hidupnya diketahui publik. Bisa jadi kerabat di Indonesia terkena dampak.
Ocha tak bisa lupa ekspresi dan gestur para eksil itu.
“Begitu emosional. Waktu ngobrol sama mereka, kemarahan (karena dibuang) itu masih ada. Bertahun-tahun (mereka dibuang),” ujar Ocha saat berbincang dengan kumparan di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/1).
Berusia senja dan hidup terpisah jauh dari keluarga, para eksil dilanda kerinduan mendalam terhadap sanak saudara mereka.
ADVERTISEMENT
Ocha tergugah. Dia tak bisa tinggal diam. Dia merasa harus membantu mereka, sekecil apapun. Akhirnya, Ocha membuat satu buku berisi kisah para eksil.
Seperti isinya, judul buku itu adalah Exile. Di dalamnya, Ocha menceritakan kisah hidup tiap eksil yang berhasil ia wawancarai dan potret.
Bagi Ocha, kisah hidup mereka merupakan bagian dari sejarah yang harus diketahui masyarakat Indonesia.
“Mereka ini orang-orang tua dan pelaku sejarah,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan waktu dan tenaga, Ocha mempublikasikan bukunya pada tahun 2015 secara indie. Ia menjualnya di lingkaran pertemanan dan keluarga.
“Terjual 180 buku. Gue produksi 50 buah dulu karena enggak punya uang. Self-publish. Terus gue tawarin ke orang-orang, terus ada yang order lagi, gue produksi lagi. Sampai tiga kali cetak,” kata Ocha.
ADVERTISEMENT
Selain dikemas dalam buku, kisah mengenai eksil itu pun dimuat National Geographic dalam situsnya.
Ocha, satu dari sedikit fotografer perempuan kawakan Indonesia, lantas membagi sejumlah foto Exile kepada kumparan. Berikut kisah mereka seperti dituturkan langsung oleh Ocha.
Chalik, salah satu eksil di Belanda. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
zoom-in-whitePerbesar
Chalik, salah satu eksil di Belanda. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Chalik Hamid. Ia adalah penulis untuk LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat), sebuah organisasi kiri yang fokus pada isu seni dan budaya. Di zaman kepemimpinan Soekarno, Chalik dikirim ke Albania pada awal tahun 1965 untuk belajar sinematografi. Perubahan pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto kemudian terjadi di tahun tersebut, dan berujung pada pencabutan paspornya. Ia tidak bisa kembali ke Indonesia, dan memutuskan untuk pindah ke Belanda di akhir tahun 1989.
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
zoom-in-whitePerbesar
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Sarmadji berumur 83 tahun. Pada tahun 1965, ia dikirimkan ke China untuk belajar. Paspornya dicabut oleh zaman pemerintahan Soeharto saat itu. Sarmadji tidak bisa kembali ke tanah air Indonesia. Dalam kesesakan hidupnya, motto ini selalu menguatkan: turn grief into strength (ubah kepedihan menjadi kekuatan).
ADVERTISEMENT
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
zoom-in-whitePerbesar
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Pak Sarmadji di kediamannya yang tenang di Belanda.
Buku berisi narasi indoktrinasi. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
zoom-in-whitePerbesar
Buku berisi narasi indoktrinasi. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, sebuah buku yang berisi paham dan pegangan dasar yang pernah dimiliki oleh Bangsa Indonesia guna mewujudkan Sosialisme Indonesia sebagai cita-cita negara. Buku ini menjadi salah satu buku 'wajib' untuk memahami dasar negara di zaman Orde Lama.
Kumpulan surat dari masa lalu. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
zoom-in-whitePerbesar
Kumpulan surat dari masa lalu. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Kumpulan surat yang ditulis dan diterima oleh Pak Chalik setelah dirinya melarikan diri. Beberapa di antaranya adalah surat balasan yang diterima oleh Pak Chalik dari kawan-kawan seperjuangan yang terpisah di berbagai negara bagian lain.
Bukti kesetiaan terhadap Soekarno. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
zoom-in-whitePerbesar
Bukti kesetiaan terhadap Soekarno. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Bukti setia. Foto Soekarno masih kuat menggantung di dinding kamar eksil. Kesetiaan pada kepemimpinan Soekarno tak pernah luntur dilumat zaman.
Lihat karya Ocha lainnya >
ADVERTISEMENT
Lantas siapa Ocha? Baca kisahnya: