Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Psikolog: Fenomena Sugar Daddy adalah Bentuk Prostitusi
5 Juli 2018 13:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Lima tahun lalu, saat usia Ayana (bukan nama sebenarnya) menginjak 18 tahun, ia memutuskan untuk menjadi 'gula-gula' alias sugar baby dari seorang pria matang dan kaya raya.
ADVERTISEMENT
Seminggu sekali remaja ibu kota itu bertemu dengan si 'daddy' untuk bersenang-senang. Makan di tempat mewah, mengenakan barang-barang branded hingga jalan-jalan ke luar negeri.
Dalam hal ini, si daddy memberikan apapun yang Ayana minta. Sebaliknya, Ayana harus mengikuti kemauan si daddy. Mulai dari menemani jalan-jalan hingga urusan ranjang. Semua itu dilakukan Ayana semata untuk memenuhi gaya hidup glamornya bersama teman-teman sebaya.
Ayana hanyalah satu dari sekian banyak sugar baby yang berani buka suara mengenai hubungan rahasianya dengan sugar daddy . Di Indonesia, istilah sugar daddy dan sugar baby perlahan mulai dikenal di lingkungan pergaulan remaja dan dewasa khususnya di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Triyono Lukmantoro Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro menjelaskan, lingkungan adalah faktor utama terbentuknya fenomena sugar daddy dan sugar baby. Lalu, faktor lingkungan tersebut digiring ke media sosial dan akhirnya diikuti banyak orang.
Ada beberapa faktor yang melandasi seorang pria mapan dan berkeluarga memiliki hubungan gelap dengan sugar baby. Menurut Triyono, sugar daddy cenderung ingin 'membantu' yang lemah. Tetapi, kecenderungan itu menjadi tidak masuk akal apabila diiringi dengan hasrat tertentu.
"Mereka ingin menunjukkan power, kuasa, baik dari sisi tubuh maupun dari sisi finansial. Dalam dunia yang patriarkis semacam ini, sugar daddy merupakan figur dan cara yang dianggap tepat untuk mengekspresikan hasrat kelelakian itu," tutur Triyono.
Sedangkan bagi sugar baby, memiliki hubungan dengan sugar daddy adalah cara praktis untuk memperoleh kekayaan meski itu berarti mereka harus siap bersetubuh dengan si daddy.
ADVERTISEMENT
"Kalangan sugar baby dalam jalinan ini pun mampu menjalankan eksploitasi secara finansial bagi para sugar daddy. Sekalipun dieksploitasi, para sugar baby merasa nyaman belaka karena mereka mendapatkan pengakuan dalam jalinan-jalinan keintiman tersebut," lanjut Triyono.
Psikolog Elizabeth T Santoso menyebut tingkah para sugar baby di Indonesia sebagai bagian dari bentuk prostitusi. Dia menegaskan, prostitusi adalah hal yang tidak bisa dibenarkan karena lekat dengan perzinaan dan membahayakan kerukunan hidup rumah tangga.
Di beberapa daerah di Indonesia, larangan prostitusi tertuang dalam bentuk Perda. Di antaranya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Prostitusi yang berlaku di wilayah Kota Tangerang; dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 tahun 1999 Tentang Prostitusi.
ADVERTISEMENT
Selain dari pihak pemerintah yang melarang, warganet juga tidak sepakat dengan simbiosis yang dilakukan sugar daddy dan sugar baby.
“Ramai-ramai soal #sugardaddy di Twitter ini membuatku risih. Maksudku, kenapa hal-hal begituan harus diceritakan secara vulgar (dan terkesan penuh kebanggaan) di Twitter? Apa manfaatnya, bagi diri sendiri dan orang lain? Prestise? Oh, come on…” ujar @noffret.
Sugar daddy yang mayoritasnya telah berkeluarga tentu secara tidak langsung telah mengukir luka pada anak istrinya. Begitu pun sugar baby, kebanyakan dari mereka yang belum menikah tentu akan menyeret buntung bagi diri sendiri dan keluarganya.
Jadi, masih bangga menjadi sugar baby atau sugar daddy?
------------------------------------------------
Jangan lewatkan kisah Sugar Daddy melalui tautan di bawah ini.
ADVERTISEMENT