news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Yosep Anggi Noen: Saya Mencoba Berkarya Seliar-liarnya

30 Maret 2017 16:00 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Yosep Anggi Noen, film maker asal Yogyakarta yang menyutradarai Istirahatlah Kata-Kata, mulai dikenal lewat film panjang pertamanya, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya, pada 2012. Film itu banyak diputar di berbagai festival film luar negeri.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, Anggi kini makin dikenal lewat film terbarunya, Istirahatlah Kata-Kata, yang menjadi film biopik pertama tentang Wiji Thukul, penyair penentang rezim Orde Baru yang hilang tak tentu rimbanya.
Jika dirunut ke belakang, karier Anggi di dunia film sesungguhnya terentang sejak ia duduk di bangku SMA. Lelaki kelahiran 15 Maret 1983 itu produktif menghasilkan karta bersama komunitas Limaenam Films. Ia juga aktif di ajang Jogja Netpac Asian Film Festival.
Kamis (23/3), kumparan (kumparan.com) mengobrol bersamanya seputar dunia film Indonesia. Berikut perbincangan kami.
Yosep Anggi Noen (Foto: Dok. indonesianfilmcenter.com)
Film di mata anda? Pekerjaan saya itu membuat film, dan itu kemudian jadi cara saya untuk membuat statement, cara saya untuk menyikapi zaman. Saya menggunakan film untuk itu. (Baca juga: )
ADVERTISEMENT
Menyikapi zaman seperti apa? Sebenarnya kalau kita lihat, setiap seniman itu selalu punya sudut pandang yang diupayakan dipelihara pada keseharian. Apalagi ketika dia berkarya. Dan saya yakin sebenarnya selama ini ketika saya membuat film, ya upaya yang paling harus saya lakukan adalah saya mencoba melihat dan mencatat apa yang sedang terjadi, yang sedang berkembang, yang sedang dikhawatirkan, yang sedang terus-menerus dibincangkan di zaman itu.
Tentu saja pasti berbeda saya membuat film hari ini dengan saya membuat film 10 tahun lagi, 30 tahun lagi. Itu pasti akan berbeda.
Bagaimana anda menyikapi zaman? Waktu SMA, jelas itu film yang dibuat pertama kali oleh (saya selaku) anak SMA. Berarti saya membuat sesuatu yang paling bisa saya buat. Dibuat dengan sudut pandang yang begitu naifnya sebagai seorang anak muda, masih SMA, yang juga baru pertama kali memegang kamera video.
ADVERTISEMENT
Saya kira ada banyak kesadaran yang muncul dari diri saya untuk melihat bahwa medium film ini punya banyak fungsi. Salah satunya untuk menjadi perpanjangan tangan dari ide, perpanjangan tangan dari pernyataan kritis seorang pembuat film atas situasi kemasyarakatan tertentu.
Sekarang ini mungkin memang saya merasa ada persoalan yang belum selesai. Ketika saya memutuskan untuk membuat (film) Wiji Thukul, banyak sekali hal-hal yang memang masih belum terbuka dari sejarah kita.
Kita hidup di negeri ini masih ada utang besar kepada keterbukaan pemikiran tentang apa yang terjadi pada zaman-zaman dulu. Saya pikir kita gak akan bisa melangkah dengan jelas kalau kita nggak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di masa lalu. (Baca juga: )
ADVERTISEMENT
Mengapa anda memilih terjun ke dunia film indie? Saya boleh bilang karya anda film indie? Sebenarnya setiap film itu merdeka sih. Setiap film punya kemerdekaan sendiri-sendiri. Mungkin kemerdekaan film yang saya bikin itu lebih karena saya didukung oleh sebuah lingkungan yang mampu memberikan keleluasaan bagi saya untuk berpendapat dengan menggunakan film.
Di industri (film) yang mainstream, saya kira membuat film juga menjadi sebuah proses yang harus bersinergi dan bernegosiasi dengan banyak hal, misalnya modal, jadwal, atau hal-hal lain yang bisa jadi tidak perlu dilakukan oleh orang-orang semacam saya (di industri film indie).
Saya tidak bernegosiasi apapun atas proses kreatif yang menuntut ini-itu karena melibatkan modal yang besar, misalnya. Tapi itu juga bisa saya lakukan, karena saya berkembang pada lingkungan yang merdeka.
ADVERTISEMENT
Saya berkembang pada film-film sederhana, yang bujetnya tidak terlalu besar. Dan itu justru memberi saya keleluasaan untuk punya kemerdekaan mencipta. (Baca:)
Kenapa memilih itu (film indie)? Karena saya pikir butuh waktu banyak untuk belajar bernegosiasi. Dan saya pikir, cara paling tepat untuk saya adalah mencoba membebaskan diri saya untuk berkarya seluas-luasnya, seliar-liarnya, sampai saya siap bernegosiasi.
Ada kemungkinan masuk pasar film komersil? Saya pikir pada titik itu saya akan lebih kuat untuk bisa bernegosiasi, untuk membuat orang yang menyuruh saya membuat film komersil itu mengikuti mau saya. Karena, it's a matter of time.
Pembiayaan di film indie seperti apa? Sebenarnya ada banyak cara. Disebut merdeka karena pembiayaannya bisa menggunakan banyak cara. Saya mengawalinya tentu saja dengan film-film pendek yang saya buat dengan sederhana. Nyaris tanpa biaya, dengan kamera seadanya, dengan pemain dan orang-orang yang mendukung dan tidak dibayar dengan uang.
ADVERTISEMENT
Kenapa? Karena kami membuat sebuah proses berkomunitas bersama, mencipta bersama, kolektif. Dan memang usahanya itu untuk belajar bersama. Lama-kelamaan kami juga akhirnya bersinggungan dengan proses yang lain, yaitu pihak lain yang kemudian mencoba memberikan pendanaan tertentu untuk kami.
Di film panjang pertama saya, Vakansi yang Janggal, saya mendapatkan dana hibah kecil dari sebuah lembaga, namanya Tembi --rumah budaya. Mereka memberi kepercayaan kepada saya dan tim untuk membuat sebuah film yang gagasannya adalah menggunakan Bahasa Jawa. Meskipun ceritanya adalah cerita cinta tentang perselingkuhan dan perjalanan sepasang pengantar sofa ke daerah pegunungan di Dieng.
Di situ kami memulai dengan biaya yang sangat rendah dan memang tidak mampu menyelesaikan karena biaya post-produksi itu cukup mahal. Maka kami mengajukan funding ke sebuah lembaga di Belanda, namanya Hubert Bals Fund, untuk membiayai proses editing dan proses menyelesaikan film, colour grading, mastering suara, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu kami merasa bahwa setiap orang yang terlibat juga butuh diberi reward yang paling pantas untuk keterlibatan dan usaha mereka. Jadi kami mengajukan sebuah proposal ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Waktu itu untuk semacam pembiayaan kepada setiap kru yang terlibat, karena krunya juga sedikit, cuma sekitar 8 orang.
Kru yang terlibat di film Vakansi yang Janggal itu bisa mendampingi filmnya, datang ke festival-festival film di luar negeri, untuk berinteraksi dengan penonton, masuk ke workshop-workshop film making atau workshop producing atau workshop marketing.
Akhirnya kami mendapatkan semacam beasiswa, namanya Beasiswa Unggulan, untuk 8 kru utama kami.
Yang mau saya bilang adalah bahwa possibility untuk melihat film dan pembiayaan itu bisa jadi harus lebih terbuka. Jadi kami tidak berpikir bahwa setiap kali sebuah film itu ditujukan untuk sebuah investasi atau biayanya dilakukan oleh investor yang bisa mendapatkan pengembalian uang dari itu.
ADVERTISEMENT
Ada banyak cara lain. Di beberapa platform yang bisa digunakan, misalnya ada film market. Di luar negeri kita bisa mendaftarkan proyek film kita untuk kemudian diseleksi dan dipilih dari ratusan pendaftar.
Terpilih berapa puluh pendaftar yang bisa bertemu dengan pemodal-pemodal dari seluruh dunia di sebuah ajang film market. Nah, itu kan platform yang bisa jadi tidak akrab di industri kita (Indonesia). Yang lebih akrab di sini sebenarnya ada orang atau pihak, studio, punya uang, memberikan uangnya, kemudian berharap uangnya kembali. Di platform internasional bisa jadi ukurannya berbeda, caranya berbeda.
Platform film market seperti itu bisa diterapkan di Indonesia? Saya kira memungkinkan sekali. Kita tinggal menunggu inisiatornya. Biasanya platform-platform film market seperti itu inisiasinya dilakukan oleh lembaga festival film yang sudah establish atau pemerintah.
ADVERTISEMENT
Nah, seharusnya badan-badan pemerintah yang mengurusi perfilman itu mampu menyediakannya. Jadi bagaimana kemudian sebuah film itu juga tidak melulu dinilai dari jumlah penontonnya, tapi juga dari proyek awalnya, mulai dari proposal yang sederhana berupa sinopsis, kemudian treatment, naskah yang paling awal. Itu sudah bisa dipindai kemampuan film ini nanti menembus pasar seperti apa.
Ketika proses pemindaian ada dalam sebuah format film market tersebut, maka sebenarnya akses itu bisa dimulai sejak awal. Dan si pembuat film itu dituntut untuk kemudian menciptakan sebuah proposal yang paling memikat tapi feasible untuk dibuat dan punya proyeksi market. Saya nggak bicara besar, tapi punya proyeksi market. Ini (film) mau kemana, jelas. (Bada juga: )
ADVERTISEMENT
Funding tidak mengganggu gagasan-gagasan film maker? Salah satu tujuan utama sebuah funding film itu saya rasa untuk memelihara kebebasan berpikir, memelihara ide-ide segar, memelihara gagasan-gagasan baru. Jadi ketika kemudian ada sebuah funding yang mengupayakan untuk mengarahkan sudut pandang si pembuat film, cara bertutur atau cerita-cerita si pembuat-pembuat film, saya pikir itu sudah kegagalan pertama sebuah funding. Dan saya yakin --sejauh ini saya berhadapan dengan banyak funding, mereka justru memelihara ikhtiar mereka untuk membuat funding itu sendiri.
Bagaimana anda melihat perkembangan film indie? Dua hal yang berkembang adalah tema yang semakin beragam dan penonton yang semakin akrab dengan tema-tema yang beragam kayak gitu. Artinya, itu dua hal yang paling dibutuhkan dari sebuah kerja membuat karya seni.
ADVERTISEMENT
Kalau kita melihat banyaknya film pendek Indonesia, itu kan muncul juga dari perkembangan komunitas-komunitas film yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan saya pikir memang inisiasi untuk lebih percaya diri bercerita tentang cerita-cerita mereka sendiri, menggunakan bahasa mereka sendiri, menggunakan cara tutur mereka sendiri, itu adalah sebuah kekuatan yang menunjukkan bahwa sinema itu punya ragam yang banyak.
Di sisi lain di film panjang itu, tahun-tahun ini adalah tahun-tahun yang istimewa untuk Indonesia karena muncul juga film-film panjang yang dibuat di daerah-daerah di luar pusat. Ada film-film yang muncul misalnya di Makassar dengan penonton yang ternyata juga banyak. Kemudian film-film yang muncul di Jawa Tengah atau di Jawa Barat --yang kemudian secara kepenontonan, (film) mereka itu ternyata lebih akrab dengan penonton-penonton di sekitar ekosistem dan cerita itu dibuat.
ADVERTISEMENT
Cuma buat saya, problemnya adalah ketika sebenarnya cerita-cerita yang dibuat dengan bahasa-bahasa daerah, cerita yang dibuat dengan pemain dan semua sumber daerah itu, masih mengupayakan cara-cara tutur yang serba Jakarta.
Itu problem buat saya. Tentu tidak semua. Cuma kebanyakan begitu --bisa jadi karena masih ada separuh antara percaya diri dan tidak percaya diri. Saya misalnya percaya diri pakai bahasa daerah, cuma kayaknya cara tuturnya harus sama seperti film-film yang ada di wilayah komersial.
Tapi ada perkembanganlah paling tidak saat ini. Yang harus ditantang terus-menerus adalah menggunakan cerita-cerita yang dekat dengan mereka sendiri, si pembuat film, menggunakan bahasa mereka sendiri. Dan bahasa itu bisa banyak artinya. Namun sekaligus juga menggunakan cara tutur yang paling dekat dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Kenapa film-film yang berkembang di Yogya dan Jawa Tengah kayak gitu harus menggunakan cara bertutur yang Jakarta? Harusnya ya mereka bisa melihat potensi cara bertutur wayang, cara tutur ketoprak, untuk menuturkan cerita-cerita mereka sendiri. Dan itu pasti akan luar biasa. Senang kalau bisa melihat sinema Indonesia punya ragam begitu.
Cover Yosep Anggi Noen (Foto: Syarifah Sa'diyah/kumparan)
Trigger atau momentum yang memengaruhi perkembangan film menurut anda? Saya kira, pertama karena mudahnya teknologi membuat film. Sekarang kan semakin mudahlah. Kamera bisa dipakai membuat film bahkan bisa diproyeksikan ke layar yang besar. Dan itu harganya tidak mahal. Handphone juga bisa dipakai untuk membuat film. Itu trigger pertama.
Kalau merunut ke sejarah berkembangnya film pendek Indonesia dari tahun 2000-an awal, sebenarnya analisis pertama adalah tentu karena reformasi. Karena kemudian keterbukaan bagi orang untuk berpendapat, berkarya.
ADVERTISEMENT
Kemudian demokrasi --demokratisasi teknologi. Jadi orang-orang bisa memegang handycam, bahkan bisa pakai program editing bajakan. Kemudian mereka bisa membuat film dan menyiarkannya.
LCD proyektor bisa dibeli di mana-mana, kemudian sound system bisa dipasang di mana-mana. Asal tempatnya gelap bisa putar film. Itu dua hal yang sebenarnya membuat proses (industri film) berkembang.
Akhir-akhir ini yang membuat perkembangannya juga seperti meledak, karena platform-platform pemutaran film tidak semata-mata menginginkan pertemuan berkelompok seperti di Kineforum. Jadi sudah bisa langsung masuk misalnya ke YouTube atau ke platform lain yang sebenarnya cara bertemu antara si film dengan penonton itu berbeda dengan apa yang sudah terjadi. Itu membuat orang jadi berpikir, “Wah, ternyata mudah membuat film, mudah juga ditonton.”
ADVERTISEMENT
Jadi saya pikir, secara jumlah memang (film) lalu semakin banyak. Kemudian yang ketiga, munculnya sekolah-sekolah film di seluruh Indonesia. Di Yogya ada Jogja Film Academy, kemudian di Jakarta kan dulu hanya ada IKJ, sekarang mulai banyak sekolah film. Bahkan di luar Jawa juga banyak sekolah-sekolah film yang diinisiasi Riri Riza.
Buku saku puisi Wiji Thukul. (Foto: Zabur Karuru/Antara)
Bagaimana anda melihat perkembangan film indie dan komersil? Pertama, menariknya karena sekarang yang kamu sebut sebagai film Indie itu mulai menyeruak ke bioskop. Dan itu menarik sekali untuk perkembangan beberapa tahun terakhir. Artinya sebenarnya itu menambah ragam pilihan penonton. (Baca juga: )
Memang kita harus mengakuilah film komersial atau industri film arus utama di Indonesia itu serba mengikuti tren. Kalau zaman dulu misalnya Ada Apa dengan Cinta, kemudian semua kayak gitu. (Lagi tren) film horor, semua lalu membuat film horor yang bisa jadi sampai berpuluh-puluh.
ADVERTISEMENT
Film yang syuting di luar negeri seperti saat ini banyak, semuanya sekarang kebanyakan film syuting di luar negeri. Ya artinya memang tren saja sih. Tapi tren itu menurut saya menunjukkan sebuah sinyal kekurangragaman ekosistem. Karena semua lalu merujuk pada tren. Dan itu tantangan sebenarnya bagi industri film Indonesia, untuk menunjukkan bahwa tren juga bisa banyak. Tren gak apa-apa, tapi ragamnya banyak.
Menurut anda penonton kita siap tidak dengan tema-tema yang berbeda? Penonton selalu siap. Saya yakin itu, dan harus saya yakini karena kalau kemudian saya berpikir penonton tidak pernah siap, berarti saya sombong sebagai pembuat film. Yang kedua, (jika berpikir penonton tak siap), saya tidak akan yakin untuk melihat sesuatu hal yang berbeda. Kenapa saya yakin untuk membuat sesuatu yang berbeda terus-menerus, kenapa saya yakin bercerita, memilih cerita-cerita yang tidak mainstream? Karena saya yakin punya penonton.
ADVERTISEMENT
Kenapa saya harus yakin punya penonton? Ya kalau tidak yakin saya punya penonton, saya nggak bikin film, saya bikin pisang goreng misalnya yang saya yakin ada yang makan.
Bagaimana anda, juga sebagai dosen, melihat perkembangan pendidikan film di Indonesia? Saya senang dengan kemunculan banyak sekolah film di Indonesia. Itu membuktikan film adalah bagian dari sebuah kerja intelektual. Jadi bukan sebuah kerja seni intuitif seperti tidak ada teorinya --muncul tiba-tiba, asal angkat kamera, kemudian bukan sebagai sebuah kerja yang respon melulu dari sebuah teknologi.
Kerja film adalah sebuah kerja intelektual, karena dia merangkum banyak hal. Sekolah film itu kan tidak semata-mata mengajarkan cara membuat film, tapi juga mengajarkan sejarah film, filsafat seni, nilai-nilai keutamaan seni.
ADVERTISEMENT
Kenapa (semua pelajaran) itu butuh diketahui? Supaya pembuat film tidak merasa dirinya hadir tiba-tiba seperti meteor. Pembuat film adalah seseorang yang punya disiplin untuk melihat. Bahkan ketika dia memberontak dari gagasan-gagasan arus utama, dia tahu betul kenapa dia memberontak. Dia tahu betul kenapa dia harus punya ide lain.
Jadi yang disebut sebagai sebuah kemerdekaan, independensi, proses intuisi berkarya dalam film, disertai dengan pengetahuan, latar belakang, dan pemikiran-pemikiran intelektual. Saya pikir itu akan mensahihkan film itu sebagai sebuah karya yang nantinya juga bisa dimaknai sebagai sebuah karya intelektual.
Film-film Indonesia yang menurut anda dengan tepat merekam dan menyikapi zaman itu seperti apa? Menurut saya, film-film pendek Indonesia dan film panjang yang dibuat secara merdeka, yang tumbuh di Indonesia, justru yang sebenarnya paling mampu berbicara mengenai kegelisahan zaman. Ada film, sebenarnya kumpulan film menarik, judulnya 9808. Itu kumpulan film pendek yang berbicara tentang apa yang terjadi di sekitar Reformasi.
ADVERTISEMENT
Atau misal film-filmnya Edwin, salah satunya Blind Pigs Who Wants to Fly (Babi Buta yang Ingin Terbang). Itu menjadi sebuah upaya menarik untuk meneriakkan identitas karena film itu bercerita mengenai keluarga Tionghoa di kontestasi politik Indonesia. Itu menurut saya menarik banget.
Kami pernah membuat film, saya dan Purba Negara, judulnya Ceng Ceng Po, bercerita tentang keberagaman --yang saya pikir hari ini tiba-tiba menjadi sangat relevan untuk diputar lagi berulang-ulang di setiap tempat.
Sebenarnya ruang-ruang merdeka ini adalah ruang-ruang yang memaksa para pembuat film untuk mencatat (peristiwa). Kalau nggak ya sia-sia kemerdekaan (Indonesia).
Yang bercerita tentang korupsi ada, (berjudul) Sebelum Pagi Terulang Kembali. Waktu itu saya suka sekali dengan film itu. Kemudian ada film-film yang punya isu-isu mengenai misalnya trafficking, isu perbatasan, isu buruh migran. Saya pikir sebenarnya sama. Yang sebenarnya sedikit membedakan adalah cara tutur itu. Dan buat saya, penting untuk kemudian melihat bahwa di wilayah arus utama, kita juga harus memberi rasa percaya diri kepada para pembuat film yang memang setia untuk membuat film-film komersial, film-film yang memang tayang secara komersial, menggunakan proses produksi yang besar, menggunakan artis-artis yang terkenal kayak, tapi juga tetap memelihata kekritisan mereka, memelihara cara mereka melihat zaman, melihat lingkungan, melihat kondisi sosial politik di sebuah masa. Karena dengan begitu, rentang penontonnya, rentang isu itu dibicarakan berulang-ulang, semakin luas.
ADVERTISEMENT
Apa yang menurut anda penting dan harus segera dibenahi dalam ekosistem film? Yang paling urgen menurut saya adalah memperbanyak ruang memutar film, dan memberi akses seluas-luasnya kepada pembuat film untuk masuk ke pemutaran film mereka.
Karena saya melihat sebuah tren di kalangan para pembuat film muda, mereka membuat film dan film ini punya orientasi harus masuk ke festival film atau harus masuk kompetisi film. Ketika film ini ternyata tidak masuk ke festival atau kompetisi film, mereka menyerah lalu meninggalkan film itu, atau menyimpannya, lalu membuat film baru lagi sebelum film ini bertemu dengan penonton.
Menurut saya, itu sesuatu yang tidak fair. Karena ketika kita memulai sesuatu, maka kita juga harus menyelesaikannya hingga akhir. Ketika kita mulai membuat film, maka kita juga harus menunjukkannya kepada penonton. Karena memang kodrat film dibuat ialah untuk ditonton. Nah, dengan cara-cara yang lebih mudah untuk mengakses ruang putar, saya pikir dia, si pembuat-pembuat film ini, punya ruang untuk bertemu penonton yang tidak harus menunggu film dia itu harus masuk film festival atau tidak.
ADVERTISEMENT
Karena itu penting --pertemuan antara si pembuat film, filmnya, dan penonton. Itu penting banget interaksinya untuk proses perkembangan diri si pembuat film, untuk mensahihkan dirinya sebagai pembuat film, untuk mencari energi dari penonton, untuk melihat lagi kemungkinan-kemungkinan rasa percaya diri atas pilihan estetikanya. (Film) harus bertemu penonton. Kalau tidak, menurut saya itu omong-kosong. Nah, pada proses ini yang saya kira tidak terlalu lancar adalah ruang pemutarannya. Mungkin di beberapa kota utama sudah lumayan ada, baiklah. Di Jakarta ada banyak banget tempat pemutaran, mulai dari tempat ini (Kineforum), kemudian di selatan ada Kinosaurus. Di Yogya juga sudah mulai banyak. Tapi bagaimana dengan kota-kota lain?
Para kru dan pemeran film 'Istirahatlah Kata-kata' (Foto: Prabarini Kartika/kumparan)
Siapa lagi tokoh lain selain Wiji Thukul yang akan anda filmkan? Proyek baru saya tentang astronot dari Bantul. Itu tokoh juga, kan? Karena buat saya, tokoh itu bisa siapapun. Pakde saya juga tokoh, bisa jadi kan (difilmkan)? Pakde saya yang punya toko mebel itu juga tokoh. Karena dia manusia, dia punya cerita, karena dia punya hal yang harus dibagi sebagai catatan kehidupan. Tidak melulu harus orang yang tertulis di buku sejarah, tidak melulu harus orang-orang yang buku biografinya dijual di toko-toko buku.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi orang-orang biasa adalah orang-orang yang luar biasa. Dan mereka bisa memberi cerita-cerita kehidupan. (Baca juga: )
Tertarik mengangkat cerita dari novel untuk difilmkan? Tentu tertarik, tapi kan prosesnya tidak semudah ambil novel, lalu fotokopi, bikin film. Prosesnya panjang. Saya sangat tertarik untuk melihat cerita-cerita Budi Darma misalnya.
Tentu itu sesuatu hal yang menjadi impian, bagaimana menyajikan karya sastra ke dalam bentuk lain bernama film. Karena perkembangan sinema di beberapa negeri, di awal-awal bahkan perkembangan sinema itu sendiri untuk muncul di dunia, tidak lepas dari perkembangan sastra.
Saya pikir itu menjadi impian saya untuk menjadi bagian dari proses belajar saya mendekatkan film dan kesusastraan. (Baca juga: )
ADVERTISEMENT
Tertarik mencoba membuat film bergenre lain? Umumnya, setiap pembuat film pasti ingin mencoba hal baru. Saya sendiri tidak pernah berupaya mendeskripsikan genre yang saya bikin.