Kenapa Bos Perempuan Menyebalkan?

21 April 2017 10:44 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi bos. (Foto: Pixabay.)
Kamu punya bos perempuan? Menurutmu, dia menyebalkan atau tidak?
ADVERTISEMENT
Perempuan, menurut lelaki, memang makhluk pelik. Sedikit-sedikit bawa perasaan alias baper. Tapi ternyata, mereka yang mengeluhkan bos perempuannya juga datang dari kaum perempuan sendiri.
Nah… nah… jangan-jangan kamu termasuk golongan mereka.
Rifa, seorang perempuan muda berlatar belakang arsitek yang kini bekerja sebagai videografer di Jakarta, sama sekali tak bisa melupakan sosok “monster” bos perempuannya di kantor lama.
Si bos, menurut Rifa, amat manipulatif --atau bahasa njelimetnya: melakukan sesuatu untuk memengaruhi atau mengarahkan orang lain, tanpa orang itu menyadarinya.
Belum lagi, kata Rifa, bosnya itu kerap bersikap pasif-agresif sehingga membuat dia merasa tak nyaman dan sungkan untuk menolak perintah, betapapun absurdnya perintah itu.
“Bos cewek gue annoying banget! Dia bisa bikin gue tetep kerjain kerjaan yang dia kasih ke gue, padahal gue lagi sebel banget sama dia,” ujar Rifa, Senin (17/4).
ADVERTISEMENT
Ucapan Rifa ditimpali seorang rekannya --yang rupanya punya pengalaman sama tak menyenangkan ketika berhubungan dengan bos perempuan.
“Iya banget! Gue juga gitu. Bos gue banyak minta dan nuntut. Gimana coba?”
Hmm… tetapi bukankah begitulah seharusnya seorang bos --memberi tugas dan menuntut hasil maksimal? Seperti juga begitulah seharusnya seorang anak buah --mengerjakan tugas yang dibebankan padanya dengan baik?
Namun menurut mereka yang bermasalah dengan bos-bos perempuannya, persoalan lebih kompleks ketimbang menerima dan mengerjakan tugas. Ini tentang perilaku dan tabiat si bos perempuan --yang katanya mengesalkan bukan main.
[Baca: ]
Ilustrasi bos perempuan. (Foto: Pixabay)
American Psychological Association mengemukakan sejumlah perbedaan gaya kepemimpinan perempuan dan lelaki. Pada dasarnya, perempuan dan lelaki sama-sama dapat bekerja efektif dalam lingkungan kondusif.
ADVERTISEMENT
Namun, tanpa intensi untuk mengotak-ngotakkan keduanya, perbedaan pola kepemimpinan antara lelaki dan perempuan lumrah terjadi.
Perempuan misalnya memiliki kecenderungan memimpin dengan gaya mentoring atau membimbing. Mereka cenderung mengayomi dan menyukai sistem partisipatoris yang membuat seluruh orang dalam divisinya terlibat dan berperan.
Hal tersebut berbeda dengan gaya memimpin lelaki yang mayoritas memiliki kecenderungan mengontrol atau memegang kendali penuh atas sistem yang bekerja di bawahnya.
Perbedaan gaya kepemimpinan itu, mau-tak mau, menciptakan iklim bekerja yang berbeda. Dan itu pasti kentara, tidak mungkin tidak.
Pada beberapa kondisi, perempuan dipandang sebagai role model yang transformasional, membantu para staf untuk mengembangkan kemampuan, dan mendidik mereka agar lebih berdedikasi dan kreatif.
Pendekatan kepemimpinan semacam itu akan efektif bila diterapkan dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang memiliki sistem kerja kolaboratif dan tak bersekat --berbeda jauh dengan perusahaan tradisional dengan sistem hierarki.
ADVERTISEMENT
Namun, tentu saja tak semua perusahaan memiliki suasana dan iklim kerja yang sesuai dengan gaya tersebut. Gaya itu misalnya tak cocok diterapkan pada bidang militer yang penuh fungsi perintah dan kontrol.
Pada kondisi yang memerlukan kontrol tinggi seperti itu, iklim partisipatoris sudah tentu akan menjadi serangan balik bila diterapkan.
Ilustrasi rapat. (Foto: Pixabay)
Sebuah studi yang dikembangkan tahun 1990 oleh peneliti asal Amerika, Eagly dan Johnson, menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan perempuan cenderung berorientasi pada hubungan interpersonal dan demokratis.
Sementara laki-laki lebih berorientasi pada hubungan pekerjaan, performa kerja, dan cenderung otokratik --menghendaki segala kebijakan dan keputusan ada di tangannya.
Hasil riset lanjutan pada 2003 menunjukkan bahwa perempuan memiliki pola kepemimpinan yang mengusung semangat kreativitas dan partisipatif dalam penyelesaian masalah dan pengelolaan konflik. Perempuan dinilai dapat menjadi mentor yang suportif dan royal memberi penghargaan bagi anak buah yang memiliki performa kerja baik.
ADVERTISEMENT
Perbedaan mendasar lain adalah lelaki tidak banyak terlibat dalam detail pekerjaan dari sistem yang berada di bawahnya. Mereka hanya mengontrol --memberi penugasan dan memastikan semua berjalan seperti seharusnya.
Hal itu berbeda dengan kecenderungan perempuan yang lebih melibatkan diri dalam pekerjaan stafnya. Itu sebabnya bos perempuan relatif pandai mencairkan suasana dengan bawahannya, berbeda dengan bos lelaki yang terasa lebih “kaku” dalam memimpin.
[Baca juga ]
Terlepas dari segala bentuk tren dan pola itu, riset menyimpulkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki gaya kepemimpinan khas yang terbentuk secara natural, dan itu bisa jadi berbeda satu sama lain tergantung pada sifat masing-masing individu sehingga tak bisa dipukul rata.
ADVERTISEMENT
Perempuan mungkin saja memiliki pendekatan lebih lembut, sehingga untuk beberapa orang, hal itu justru membuat mereka canggung dan bingung.
Namun pada kasus lain, bisa jadi bos lelakimu justru menggunakan pendekatan feminim, sedangkan bos perempuanmu malah memiliki pendekatan maskulin.
[Baca juga: ]
Ilustrasi kekuatan perempuan. (Foto: Pixabay.)
Pada masa ini, bukan hal aneh melihat deretan perempuan memegang posisi tinggi dalam sistem hierarki organisasi dan perusahaan.
Namun, para bos perempuan tersebut justru acap kali medapat keluhan dari anak buah mereka yang sesama perempuan. Komplain datang beragam, mulai dari kesulitan menghadapi emosi si bos yang dianggap terlampau dinamis alias fluktuatif alias kadang meledak-ledak, sampai karakter perfeksionis si bos yang terus meminta revisi pekerjaan hingga tak ditemukan setitik debu kesalahan pun pada lembaran laporan.
ADVERTISEMENT
Untuk urusan pekerjaan, hubungan sisterhood tampaknya tak mutlak berlaku. Tak perlu terlalu berharap dapat mengandalkan empati antarperempuan.
Dalam beberapa riset psikologis bisnis, bekerja dengan bos perempuan dipandang lebih sulit, terlebih jika anda juga seorang perempuan.
Riset American Management Association tahun 2011 menunjukkan, 95 persen responden perempuan merasa pernah dipandang rendah oleh pemimpin perempuan mereka, setidaknya satu kali sepanjang pengalaman kerja mereka dengan si bos perempuan itu.
Kondisi tersebut, menurut penelitian terkait, disebut dengan istilah queen bee syndrome, yakni sensitivitas yang menghinggapi para perempuan dengan jabatan tinggi.
Terma queen bee syndrome diperkenalkan oleh Stanies, Jayaratne, dan Tavris. Menurut mereka, sindrom itu banyak muncul pada perempuan yang merasa memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan lain.
ADVERTISEMENT
Riset lain yang dilakukan pada 2010 oleh Workplace Bullying Institute pun menunjukkan bahwa 80 persen dari kalimat bernada merendahkan yang diucapkan perempuan, ternyata ditujukan untuk perempuan lain yang ia rasa lebih rendah dari dirinya.
Terbentuknya queen bee syndrome tak lepas dari pengaruh budaya patriarki dalam dunia kerja yang kerap bersikap keras dan diskriminatif terhadap perempuan. Perjuangan perempuan untuk menggapai posisi tinggi dalam sebuah hierarki mengalami tantangan lebih rumit dibanding lelaki yang sering diuntungkan karena dianggap lebih layak (dari perempuan).
Ilustrasi tim. (Foto: Pixabay.)
Bos perempuan bukan hanya dikeluhkan oleh sesama perempuan, tapi juga lelaki. Repot memang --meski lagi-lagi, ini tergantung pada individu.
Pada beberapa kasus, kepemimpinan perempuan membawa “perkara” baru, yakni munculnya rasa terancam pada lelaki. Perasaan terancam itu lantas memicu konfrontasi dari lelaki terhadap perempuan yang menduduki posisi lebih tinggi darinya.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah riset oleh Personality and Social Psychology Bulletin, terlihat bahwa pemimpin perempuan lebih sulit mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat dari pegawai laki-laki yang bekerja di bawahnya. Dengan menggunakan pola eksperimen, riset ini mendedah bagaimana pegawai pria cenderung melawan bila bertemu dengan manajer perempuan, misalnya dalam hal penggajian dan pembagian bonus.
Pegawai pria juga cenderung memasang “harga” lebih tinggi ketika bertemu dengan manajer perempuan. Di sisi lain, berdasarkan hasil riset lain, perempuan condong tak percaya diri ketika harus melakukan negosiasi gaji, sehingga kerap kali proses negosiasi gaji lebih banyak disetir oleh laki-laki.
Dilansir Mashable, seorang asisten profesor di Washington State University, Leah Sheppard, menyatakan ada kemungkinan sebagian lelaki merasa terancam dengan kenyataan bahwa perempuan kini mampu menjajaki posisi terdepan dalam sebuah organisasi atau perusahaan.
ADVERTISEMENT
Walau sekarang sudah banyak laki-laki yang mendukung bahkan bergabung dalam mendukung gerakan perempuan, masih ada rasa terancam pada ego dan maskulinitas lelaki.
“Terdapat banyak laki-laki yang sangat percaya pada kesetaraan gender, namun masih merasa terancam (dengan kepemimpinan perempuan). Ketika mereka membayangkan bekerja di sebuah organisasi, mereka enggan membayangkan memiliki seorang manajer perempuan,” kata Sheppard.
Bos perempuan, seperti juga bos lelaki, bagaimanapun dituntut untuk pandai dan mampu mengelola situasi di lingkungan kerjanya, apapun rintangannya.
Apakah kamu punya bos perempuan, atau kamulah sang bos perempuan? Yuk, bagi ceritamu di kolom komentar di bawah ini.
Ilustrasi bos perempuan. (Foto: Pixabay)