Kisah tentang Para Bos Perempuan

21 April 2017 9:47 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi pulang kantor (Foto: thinkstock)
Pengalaman bekerja, mulai dari gaji pertama yang mungkin hanya sanggup untuk mengisi perut dengan mi instan, berpindah ke kantor yang menawarkan gaji dan fasilitas lebih layak, konflik dan intrik antar-rekan kerja, sampai kecocokan atau bahkan perseteruan dengan pimpinan, ialah deretan cerita yang akan selalu dikenang para pekerja.
ADVERTISEMENT
Kesan personal terhadap kolega dan atasan khususnya, akan terus melekat di benak meski tempat bekerja telah berpindah.
Ini juga yang dialami Rifa, seorang perempuan muda yang kini banting setir dari dunia rancang bangun ke visual media karena “kesal” dengan atasannya.
Rifa sesungguhnya sudah cukup malang melintang sebagai arsitek. Ia menjajaki tanah Jawa hingga Sumbawa demi memperoleh hasil sempurna dari tiap proyeknya.
Dalam beberapa kesempatan, ia bekerja dengan tim yang begitu hebat, dan mereka dipimpin oleh seorang perempuan.
Almost the dream team, kecuali --kata Rifa-- sang bos perempuan.
Rifa begitu tak menyukai perempuan bos itu, yang menurutnya begitu manipulatif dan amat perfeksionis. Namun meski kesal, ia tak kuasa menolak permintaan sang bos.
ADVERTISEMENT
“Gue kayak gak bisa nolak kalau diminta buat kerjain sesuatu,” kata Rifa. Termasuk jika pekerjaan itu di luar job desc-nya.
Pada beberapa kasus, Rifa hanya bisa pasrah ketika diminta untuk melakukan pekerjaan di luar porsinya.
“Apalagi gue kan anggota tim yang paling muda, cewek, pribumi pula. Kurang “empuk” apa gue,” kata dia, Senin (17/4).
Rupanya, bos perempuan Rifa adalah seorang asing asal Amerika.
[Baca: ]
Ilustrasi bos perempuan. (Foto: Pixabay)
Kisah serupa dialami Nesya yang sempat bekerja sebagai sekretaris bagi seorang pemimpin perempuan. Ia punya keluhan mirip Rifa.
“Kalau bos perempuan itu lebih perfeksionis. Jadi semua harus bener,” ujar Nesya.
Pada hari pertamanya bekerja, Nesya sudah kena “semprot” karena sebab musabab sederhana namun detail: tak ada piring plastik untuk makan tumpeng bersama, hanya piring kaca yang tersedia, sementara belum ada petugas cleaning service yang bekerja di kantornya.
ADVERTISEMENT
“Kena deh gue, akhirnya gue cari aja piring plastik pakai Go-Jek. Ya begitu deh kalau bos perempuan, perfeksionis,” kata Nesya.
Pengalaman pahit bersama bos perempuan sempat pula dirasakan Vie saat ia menjadi reporter di sebuah televisi nasional. Saat pertama kali mendapat tugas meliput ke luar daerah, Vie berkoordinasi dengan bos perempuannya.
“Haduh, itu pertama kalinya aku pergi ke luar kota dan langsung berangkat sama dia. Waktu itu ada satu hal yang miss buat dikerjakan dalam liputan --kami telat ambil gambar. Terus dia marah-marah, tapi marah-marahnya kebawa sampai kantor,” kata Vie.
Ilustrasi tim. (Foto: Pixabay.)
Berbagai ungkapan kekesalan terhadap bos perempuan kerap muncul dari sisi perempuan. Meski begitu, tak jarang keluhan serupa muncul dari para lelaki yang juga memiliki atasan perempuan.
ADVERTISEMENT
Giannis, lelaki muda yang pernah bekerja di sebuah rumah makan di Bandung, menceritakan pengalamannya. Di restoran itu, Giannis dipercaya sebagai pengelola keuangan. Hingga suatu hari dia melakukan sesuatu yang dirasa tak tepat oleh pemilik restoran yang juga sepupu perempuannya.
Si bos perempuan lantas marah. Masalahnya, emosi si bos terbawa hingga ke rumah, dan dia tinggal serumah dengan Giannis karena mereka masih kerabat.
“Rasanya jadi serba salah, sih. Jadi kalau lo berbuat salah di kantor, terbawa sampai rumah. Jadi pernah satu kali gue bikin salah, itu imbasnya sampai rumah nggak ditegur,” ujar dia.
Gerald juga punya pengalaman serupa saat ia menjadi tangan kanan seorang perempuan pemilik klinik kesehatan. Ia merasakan betul betapa tinggi ekspektasi sang atasan terhadapnya.
ADVERTISEMENT
“Ya perfeksionis, semua harus bener,” kata dia.
[Baca juga ]
Perfeksionis. Emosional. Bossy.
Stereotip itulah yang akhirnya disematkan pada bos-bos perempuan berdasarkan sebuah riset yang dilansir Independent.
Tahun 2011, American Management Association pun melansir riset yang menunjukkan bahwa 95 persen karyawan, terutama perempuan, mengungkapkan perasaan bahwa mereka kerap merasa direndahkan oleh atasan perempuan mereka.
Meski demikian, label tersebut tak sepenuhnya tepat. Dan nyatanya, pakar psikologi bisnis dari Lancaster University, Cary Cooper, menegaskan bahwa dibutuhkan lebih banyak pemimpin perempuan untuk mencapai kesuksesan bisnis.
“Faktanya, pebisnis perempuan kerap mengembangkan karakter positif dalam diri mereka, seperti menjadi sosok yang suportif dan memiliki manajemen waktu yang baik. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kepemimpinan perempuan lebih banyak dibutuhkan dalam dunia bisnis di masa depan,” kata Cooper.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: ]
Ilustrasi bos perempuan. (Foto: Pixabay)
Lalu, bagaimana sesungguhnya kondisi seorang bos perempuan?
Kerap kali para pegawai tak paham dengan situasi yang dialami dan harus ditempuh oleh pemimpin perempuan. Acap kali, tekanan dan tenggat pekerjaan yang begitu padat, serta berbagai keputusan yang harus dibuat, luput dari empati pegawai.
Ine Yordenaya, Direktur Operasional kumparan (kumparan.com), mengatakan pekerjaannya yang begitu padat --dari agenda yang harus dihadiri, tanggung jawab, hingga ritme pekerjaan-- membuatnya tak beda dengan rekan-rekan lelakinya.
Saat ini, Ine bekerja dengan beberapa tim yang berada di bawah koordinasinya. Ine selalu mendorong semangat diskusi dan partisipasi dalam setiap penggarapan proyek hingga pembuatan keputusan. Ini memang gaya kepemimpinan khas perempuan yang menginginkan keterlibatan penuh seluruh anggota tim.
ADVERTISEMENT
“Yang jelas gue percaya sama tim. Kebetulan gue dikasih kemewahan bisa memilih tim di bawah gue, gak cuma terima anak buah. Ketika gue bisa memilih teman yang gabung, gue jadi paham betul dengan kapasitas mereka. Akhirnya gue kasih kepercayaan dan sampai seberapa jauh mereka bisa ambil keputusan. Nah, hal seperti ini yang membuat pekerjaan jauh lebih enak. Gak cuma kerja dalam arti kerja aja, tapi juga suasana pekerjaan,” kata Ine.
Ine terus mengusung suasana kerja yang sarat rasa kekeluargaan. Baginya, semangat untuk berpartisipasi dan saling percaya adalah hal utama yang mesti dijaga timnya.
Seluruh proses komunikasi di tim-tim Ine pun berjalan terbuka dan transparan sehingga meminimalisasi miskomunikasi dalam tim.
Dengan gaya kerja yang partisipatoris dan transparan, Ine berharap timnya dapat bekerja dan berkomunikasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, masalah kenyamanan bekerja dengan bos perempuan dan label yang disematkan pada mereka, memang tak bisa dipandang dari satu sisi saja. Pun, seluruh anggapan tentang bos perempuan tak bisa disamaratakan.
Dan komplain tentang bos perempuan yang perfeksionis, sesungguhnya tanpa disadari karyawan yang mengeluh, sedikit-banyak telah melatih mereka untuk menghasilkan pekerjaan yang sempurna.
Ini misalnya terlihat pada Rifa. Tiap merampungkan pekerjaan apa pun, ia sangat detail, rapi, dan teliti. Sungguh khas perempuan yang terbiasa jeli dan cermat.
Bagaimana dengan pengalaman kamu dengan bos perempuanmu?
Bos perempuan andal Indonesia: Sri Mulyani. (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)