Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Angga Fauzan, Cowok Boyolali dengan Prestasi yang Mendunia
4 Januari 2019 17:06 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:19 WIB
ADVERTISEMENT
Cowok tulen Boyolali yang pada 17 Maret 2019 mendatang akan berumur 25 tahun ini merupakan pendiri komunitas Boyolali Bergerak . Menjadi roda penggerak bagi anak muda rantau Boyolali, komunitas ini mendorong mereka untuk berbagi dan membuat gerakan positif serta berkontribusi bagi kota asalnya, Boyolali.
ADVERTISEMENT
Kegiatannya beragam, mulai dari memberi bantuan perlengkapan sekolah bagi anak-anak SD sampai mentoring seluk-beluk kuliah buat siswa kelas XII SMA. Semua kegiatan itu bermula dari tercetusnya ide-ide ‘gila’ yang enggak pakai lama, langsung dieksekusi buat memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
Namun siapa sangka di balik sosoknya yang selalu peduli sesama, Angga sebenarnya dibesarkan dari keluarga miskin dan enggak lepas dari derita. Sempat hidup merantau ke Ciracas, Jakarta Timur, usaha jualan ayam goreng ayahnya berakhir dengan penggusuran pada 2004.
Mau tak mau, keluarga Angga yang terdiri dari ayah, ibu, Angga, dan satu adik perempuannya harus balik ke kampung halaman di dukuh Tumang Krajan, Desa Cepogo, Kabupaten Boyolali , Jawa Tengah.
“Rumahku tuh (di Boyolali) dulu bekas kandang kambing punya si Mbah (orang tua ayah). Jadi si Mbah dulu punya kandang kambing direnovasi jadi rumah. Rumahnya masih bentuk triplek sama bambu gitu sampai aku lulus kuliah,” kepada kumparan Angga bercerita.
ADVERTISEMENT
Hidup di bawah garis kemiskinan, untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, ayah Angga harus alih profesi menjadi pengrajin tembaga. Sedangkan sang ibu bekerja menjadi penjaja gorengan keliling desa.
“Ibuku jual gorengan dari aku SD sampai aku kuliah, jual ayam goreng, jual tempe goreng, bakwan dan sebagainya. Pokoknya penjual gorengan itu, dan dia keliling desa. Muter dari jam 2 siang sampai jam 6 atau 7 sore, tuh. Entah enggak peduli hujan-panas, tanggal merah-tanggal biasa, dia tetap jual gorengan,” kenangnya.
Akibat latar belakang kehidupan itulah masa SD di Boyolali terasa berat bagi Angga. Ia kerap dirundung teman-temannya karena kondisi ekonomi keluarga yang miskin dan juga karena enggak bisa bahasa Jawa.
“Di-bully karena aku kurang mampu, karena macam-macam lah. Dari situ sebenarnya membuat aku mikir, sebenarnya kasihan kalau lihat orang miskin tuh karena ngalamin sendiri,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Nekat sekolah
Angga pun sempat terancam putus sekolah saat hendak memasuki SMA . Orang tua mengaku enggak sanggup menyekolahkannya karena kekurangan dana. Mengetahui keadaan ini, Angga malah nekat mendaftar ke SMA N 3 Boyolali, salah satu SMA favorit yang berjarak 15 km dari rumahnya, dan diterima.
“Awalnya (buat bayar uang pangkal sekolah) bapakku terpaksa menghutang. Aku bahkan sempat mau dimasukkin ke panti asuhan (dekat sekolah) biar (biaya akomodasi) lebih murah. Enggak usah transportasi dari rumah ke Boyolali yang 15 km sekali jalan, 30 km bolak- balik,” terangnya.
Namun ibunya tak setuju. Bagi ibunya, untuk apa dimasukkan ke panti asuhan, wong kenyataannya Angga masih punya orang tua? Ya sudah, dengan segala kemampuan yang ada, akhirnya orang tua mencari cara untuk membiayai pendidikan SMA-nya.
ADVERTISEMENT
Menyekolahkan Angga bukan keputusan percuma. Ketika SMA, dia berhasil menyabet 14 prestasi kejuaraan dari kompetisi menggambar, pidato, majalah dinding dan sebagainya. Meskipun begitu, tiap masa ujian Angga selalu mendapat kartu ujian sementara karena telat membayar SPP.
Kenekatan Angga tak berakhir sampai SMA saja. Sudah tahu orang tuanya kesulitan dana sejak SMA , ia malah bersikukuh melanjutkan kuliah. Tak tanggung-tanggung, jurusan Desain Komunikasi Visual kampus ITB yang dipilihnya dan diterima. Namun, kini orang tuanya tak protes soal biaya karena Angga bisa mandiri.
Angga mendapat beasiswa Bidikmisi . Dia mendapat tunjangan hidup Rp 900.000 ribu per bulan untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari saat kuliah. Selain itu, berbagai proyek pun dikerjakan untuk menambah uang sakunya.
Dari proyek desain kementerian, jadi asisten dosen Agama Islam, hingga mengajar kursus menggambar privat pun dilakoninya selama tinggal di Bandung. Di luar itu, ia pun jadi penerima beasiswa Rumah Kepemimpinan, sebuah program beasiswa yang mengader calon pemimpin-pemimpin bangsa.
ADVERTISEMENT
Prestasi mendunia
Selama kuliah prestasi Angga makin menggila. Menulis satu-satu prestasinya pun bikin capek saja. Sebab tak hanya prestasi lokal, dia pun pernah menjejakkan diri dan prestasinya ke berbagai belahan dunia.
Angga sempat aktif menjadi Exchange Participant AIESEC di ITB dan sempat mengajar di Panti Asuhan Ceporer, Ho Chi Minh, Vietnam selama 45 hari ketika bulan Ramadhan tahun 2014.
Selain itu, bersama rekan-rekannya Angga mendirikan Nusantara Young Leaders, sebuah komunitas buah forum kepemudaan se-Asia Tenggara di Universitas Indonesia tahun 2013. Di kegiatan tersebut, Angga mendapatkan penghargaan sebagai Best Delegate dari lebih 100 mahasiswa dari berbagai negara.
Angga juga aktif di kegiatan Aku Masuk ITB, Komunitas Buku Untuk Negeri, Lingkar Sastra ITB sebagai Wakil Ketua, National Leadership Camp 2016 sebagai Koordinator Acara, dan Keluarga Remaja Islam Masjid Salman ITB dengan menggagas Kopdar Aktivis Muda Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Lulus dari ITB tahun 2016, Angga sempat bekerja di Badan Ekonomi Kreatif dan juga sebuah startup selama dua tahun lamanya. Setelah itu ia memutuskan untuk ikut beasiswa LPDP pada 2018. Ia kini kuliah S2 di jurusan Design and Digital Media, The University of Edinburgh di Inggris.
Mengidolakan Sutopo
Sebagai anak muda, Angga juga punya idola. Baginya, Sutopo Purwo Nugroho , Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah sosok inspiratif yang jadi panutannya. Ia juga menggambarkan Sutopo sebagai kader Boyolali terbaik.
“Pak Sutopo itu orang Boyolali yang walaupun sakit, kondisinya itu hidup mati, bukan sakit gigi yang ala-ala gitu, tapi dia itu tetap memberikan sesuatu buat Indonesia gitu. Sesuatu yang diberikan pun sesuatu yang penerang dari gelap,” ujarnya dari Edinburgh.
Selama ini Sutopo memang kerap menjadi sumber utama informasi terpercaya mengenai peristiwa bencana. Tak hanya orang awam, kalau ada bencana, wartawan pun bertanya kepadanya.
ADVERTISEMENT
“Pak Sutopo itu berdiri di tengah-tengah, jadi yang mana hoaks, yang mana benar. Dia itu datang ngasih informasi seperti ini, kondisinya seperti ini, masyarakat seperti ini, masyarakat jadi tenang, enggak usah bingung, solusinya begini dan sebagainya,” kata cowok yang mengaku ingin bertemu langsung dengan Sutopo tersebut.
Menurut Angga, apa yang dilakukan Sutopo itu menjadi tanda bahwa sosok idolanya enggak egois. Meskipun mengidap kanker paru-paru mengerikan, ia tetap mampu bertugas buat bangsa dan negara.
“Di situ aku belajar bahwa kita juga enggak boleh egois, walaupun kondisinya lagi gimana-gimana, kita harus memberikan yang terbaik. Apalagi kondisinya kayak aku, lagi enak kuliah di luar negeri, di salah satu kampus terbaik dunia. Dapat uang LPDP juga gede, tapi masa aku enggak mau berbuat sesuatu, aku malu banget sama Pak Sutopo gitu, kan?” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Karena inspirasi dari Sutopo itulah Angga semangat untuk terus berkarya dan menebar manfaat bagi sekitar. Cowok yang bercita-cita sebagai Menteri Pariwisata itu berharap komunitas Boyolali Bergerak yang didirikannya semakin lebar gerakannya, lebih bermanfaat, dan menjawab berbagai permasalahan masyarakat.
“Terakhir, (Boyolali Bergerak) jadi inspirasi buat anak muda untuk turut bergerak mengubah nasibnya, dan membuat Boyolali sendiri sebagai kota inspirasi itu sendiri. Boyolali tuh bisa loh nyiptain banyak gerakan. Aku juga berharap kota-kota lain bisa punya gerakan banyak kayak gini,” tutupnya.