Jurusan di SMA Dihapus, Pakar Bilang: Bisa Kemajuan, Bisa Kemunduran

Konten Media Partner
29 Desember 2021 14:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tiga pakar pendidikan dari Yogya memberikan pandangannya terkait dihapuskannya pilihan jurusan di SMA.
Suasana para siswa SMA 4 saat mengikuti UNBK , Selasa (2/4). Foto: Dok. Istimewa
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), akan menghapuskan penjurusan di SMA. Sehingga, pada kurikulum 2022 mendatang, tak akan ada lagi jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa. Sebagai gantinya, pemerintah merancang kurikulum prototype yang akan diterapkan secara terbatas mulai tahun ajaran 2022/2023. Kurikulum prototipe itu memungkinkan siswa lebih leluasa dan fleksibel untuk memilih mata pelajaran yang dia sukai sesuai minat dan bakatnya, meskipun mata pelajaran tersebut campuran dari bidang IPA, IPS, dan Bahasa.
ADVERTISEMENT
Kebijakan baru Kemendikbudristek tersebut mendapat berbagai respons dari sejumlah pengamat maupun praktisi pendidikan.
Pakar pendidikan dari Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS), Ki Darmaningtyas, mengatakan bahwa kurikulum prototipe yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek bukan sesuatu yang signifikan. Kurikulum ini, menurutnya tidak berbeda jauh dengan Kurikulum 2013. Pasalnya, Kurikulum 2013 sebenarnya juga didesain supaya siswa bisa memilih mata pelajaran sesuai dengan yang diminati.
“Kalau tidak banyak berubah, kenapa mesti woro-woro? Biar tampak bekerja gitu ya? Bahwa Menteri nadiem ini membawa perubahan?” kata Darmaningtyas ketika dihubungi, Senin (27/12).
Darmaningtyas. Foto: Dok. Pribadi
Darmaningtyas juga menyangsikan jika nantinya siswa benar-benar dibebaskan memilih mata pelajaran yang dia minati sehingga sama sekali tak mendapatkan mata pelajaran lain. Misalnya, jika siswa hanya memilih mata pelajaran IPS dan sama sekali tak mendapatkan mata pelajaran IPA, Darmaningtyas khawatir cara berpikir anak-anak ke depan jadi semakin tidak rasional dan sistematis.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, dia menilai pelajaran IPA memberikan manfaat praktis untuk mengajarkan anak berpikir sistematis, analitik, dan kritis.
“Saya khawatir masyarakat kita ke depan makin mudah termakan hoaks karena kurang berpikir kritis lagi,” ujarnya.
Apalagi jika mengingat masyarakat Indonesia tidak memiliki tradisi membaca yang panjang seperti di negara-negara maju. Karena itu, Darmaningtyas mendorong supaya pemerintah tidak sekadar mengkopi konsep pendidikan yang ada di negara-negara lain, melainkan disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Langkah Maju, Tapi Tetap Butuh Pedoman
Dekan MIPA UNY, Ariswan. Foto: Widi Erha Pradana
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNY, Ariswan, mengatakan bahwa penghapusan penjurusan di SMA merupakan langkah maju untuk dunia pendidikan Indonesia. Selain akan menghilangkan pengkastaan, bahwa anak IPA lebih pintar ketimbang anak IPS dan sebagainya, konsep ini menurutnya juga akan memberikan keleluasaan kepada siswa terhadap bidang yang dia minati. Konsep ini mirip dengan konsep Kampus Merdeka yang ada di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
“Tapi kebijakan ini juga bisa jadi sebuah kemunduran jika tidak dibarengi oleh pedoman yang jelas,” kata Ariswan ketika ditemui di kantornya.
Pedoman itu berupa mata pelajaran apa saja yang mesti dipilih oleh siswa, jika dia ingin menjadi ahli di bidang tertentu. Misal dia ingin jadi ekonom, dokter, insinyur, ahli bahasa, maka ada panduan mata pelajaran apa saja yang diperlukan mereka jika ingin bekerja di bidang-bidang tersebut.
Apalagi, ilmu yang diperoleh di SMA nantinya juga akan dikembangkan di jenjang perguruan tinggi. Sehingga, semuanya mesti terintegrasi supaya mereka tetap dapat mengikuti pelajaran-pelajaran yang diajarkan di jenjang yang lebih tinggi.
“Dan di usia mereka kan masih sangat butuh pedoman, tidak bisa dibebaskan sebebas-bebasnya, bisa bablas nanti. Kalau perlu ada peta jalan, jika siswa ingin jadi apa, maka pelajaran yang harus dia ambil apa saja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pedoman ini menurut Ariswan perlu dibuat oleh tim yang berisi para ahli pendidikan, dan dikeluarkan oleh Kemendikbudristek, atau minimal dinas pendidikan setempat. Jika proses pemilihan mata pelajaran oleh anak ditentukan oleh tiap sekolah, akan sangat riskan mengingat kualitas pendidikan di tiap sekolah yang sampai sekarang belum merata.
“Harus ditentukan oleh orang yang memang ahli, sebisa mungkin dari kementerian. Tanpa ada pedoman, ini justru akan jadi kemunduran,” kata Ariswan.
PR Besar Mengubah Mindset Guru dan Ekosistem Sekolah
Muhammad Nur. Foto: Dok. Pribadi
Pengamat pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, menanggapi positif rencana pemerintah untuk menghapus penjurusan di SMA. Hal ini menurutnya penting untuk siswa yang punya peminatan di luar bidang IPA, IPS, maupun Bahasa. Apalagi saat ini, semakin banyak bidang-bidang pekerjaan baru yang muncul seiring perkembangan teknologi yang tak bisa diakomodir oleh jurusan-jurusan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Saya melihat pemerintah sedang berusaha mengantisipasi semakin beragamnya peminatan, yang ke depan mungkin akan bergeser tidak hanya dibatasi oleh jurusan IPA, IPS, dan Bahasa saja,” kata Muhammad Nur Rizal.
Namun, biasanya kegagalan bukan terjadi pada konsep atau perencanaannya, melainkan pada pengoperasional atau pelaksanannya. Rizal mencontohkan Kurikulum 2013 yang bersifat tematik untuk mengintegrasikan tiap mata pelajaran dengan tujuan membangun dasar pemikiran siswa yang sebenarnya mirip dengan Kurikulum 2013 ini.
Namun, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Banyak sebabnya, terutama karena ketidaksiapan guru dan ekosistem sekolah dalam mengimplementasikan kurikulum ini. Karena itu, yang perlu disoroti saat ini adalah perubahan mindset dan kesiapan guru serta ekosistem sekolah. Perubahan mindset itu kemudian harus diikuti dengan perubahan perilaku mengajar, bagaimana guru menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif dan memberikan kesempatan siswa untuk berkembang dan meracik kurikulumnya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Jika tidak ada perubahan mindset, meskipun struktur kurikulumnya sudah membolehkan siswa itu memilih pelajaran sesuai keminatannya, hasilnya akan sama saja, sia-sia,” ujarnya.
Perubahan mindset guru dan ekosistem sekolah inilah yang menurut Rizal akan jadi PR besar pemerintah. Sebab, sampai sekarang dia melihat belum ada upaya yang masif dari pemerintah untuk melakukan perubahan cara pandang guru terkait bagaimana mendidik siswa sesuai dengan struktur kurikulum ini.
Apalagi, pendekatan pelaksanaan kurikulum baru ini adalah pendekatan project, dimana di sana ada anggaran, bukan sebuah gerakan yang tumbuh dari masing-masing sekolah. Karena itu, dibutuhkan pendampingan yang serius dari pemerintah . Pendampingan ini bukan yang kaitannya dengan urusan administrasi, namun lebih ke pendampingan langsung ke sekolah untuk mengetahui apakah ada perubahan. Jika tidak ada perubahan, pemerintah harus langsung melakukan intervensi. Atau, jika ada konteks budaya lokal sekolah yang berbeda dengan kurikulum prototipe, maka bisa segera melakukan revisi atau penyelarasan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, apakah pemerintah memiliki tangan-tangan untuk melakukan itu dan memastikan terjadinya perubahan mindset dan perilaku pada guru-guru di sekolah tersebut?
“Kalau itu tidak terjadi, setahun pun akan gagal,” ujarnya.
Perubahan mindset guru menurut Rizal memang jadi hal mendasar untuk terciptanya perubahan pendidikan. Hal ini dibuktikan oleh survei dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), bahwa perubahan pendidikan di seluruh benua itu tidak dimulai dari kurikulum, melainkan dari perubahan mindset,
“Pola pikirnya dulu, orientasi kebijakan politik pendidikannya itu lebih memanusiakan atau ke penyeragaman,” ujarnya.
Sedangkan ekosistem sekolah yang dibutuhkan, di antaranya bagaimana menciptakan interaksi antara guru dan murid serta lingkungan yang lebih positif, memberikan ruang emosi dan gerak yang seimbang bagi murid, lingkungan belajar yang membuat murid berani bertanya dan bereksplorasi, membuat murid punya keberanian untuk berkomunikasi dan berkolaborasi, dan sebagainya. Semua itu, menurutnya juga perlu dibangun jika ingin perubahan kurikulum ini membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
“Dukungan masyarakat dan orangtua juga penting, sehingga harus ada wacana perubahan besar-besaran dulu yang dilakukan oleh pemerintah untuk ini, kalau itu tidak dilakukan ya akan gagal,” kata Muhammad Nur Rizal. (Widi Erha Pradana / YK-1)