Aroma Keserakahan di Balik Rencana Reformasi Kompetisi Eropa

14 Mei 2019 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Trofi Liga Champions. Foto: Gabriel Bouys/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Trofi Liga Champions. Foto: Gabriel Bouys/AFP
ADVERTISEMENT
Sang iblis, kata mereka, selalu bersemayam dalam detail-detail tersembunyi. Sebelum sebuah peristiwa terjadi, bagian-bagian yang lebih kecil akan digerakkan sedemikian rupa dan biasanya pergerakan ini baru terlihat ketika gambar besar sudah tersusun. Jika itu sudah terjadi, artinya kita semua sudah terlambat.
ADVERTISEMENT
Desember tahun lalu UEFA mengumumkan bahwa pada 2021 mendatang mereka akan mulai kompetisi antarklub Eropa yang ketiga di bawah Liga Champions dan Liga Europa. Kala itu Presiden UEFA Aleksander Ceferin berujar bahwa penyelenggaraan turnamen baru ini didasarkan pada semangat mendobrak eksklusivitas. Akan tetapi, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Ceferin mengawali kiprahnya di UEFA sebagai sosok pembaharu. Pada masa-masa awal kepemimpinannya pria Slovenia itu menegaskan bahwa dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi gap antara klub kaya dan klub miskin. Dia senantiasa memosisikan diri sebagai penentang utama wacana yang dianggap bakal menguntungkan klub-klub berada.
Pernyataannya soal kompetisi antarklub Eropa ketiga—yang hingga kini masih disebut sebagai UEL2 itu—adalah salah satu contoh konkret betapa pedulinya Ceferin terhadap kelangsungan hidup klub-klub kecil.
ADVERTISEMENT
"Kompetisi ini dilahirkan berkat pembicaraan berkelanjutan antara kami (UEFA) dengan klub-klub yang tergabung dalam Asosiasi Klub Eropa (ECA)," kata Ceferin sebagaimana dilansir situs resmi UEFA.
"Ada tuntutan dari klub-klub untuk meningkatkan peluang mereka untuk berpartisipasi di kompetisi Eropa. Ini adalah pendekatan strategis kami dan sesuai dengan tujuan UEFA—untuk membuat kompetisi Eropa yang lebih berkualitas dan lebih inklusif," tambahnya.
Namun, benarkah demikian? Jika niat Ceferin dan UEFA memang murni, mengapa ada bau ECA yang begitu menyengat di sana?
***
ECA pada dasarnya adalah grup lobi yang lahir dari puing-puing G-14. Bagi para pembaca yang belum cukup tua untuk mengingat apa itu G-14, mereka adalah gerombolan klub-klub elite Eropa yang selalu berupaya untuk mengeruk keuntungan semaksimal mungkin. Sejak dibentuk pada 2000, mereka selalu menempatkan diri sebagai oposisi, baik bagi UEFA maupun FIFA, terutama jika pembicaraan sudah menyangkut uang.
ADVERTISEMENT
G-14 sendiri akhirnya bubar karena campur tangan presiden FIFA kala itu, Sepp Blatter. Akan tetapi, mereka lahir kembali sebagai ECA. Meski kesannya lebih inklusif—ECA punya 100 anggota dari 53 negara anggota UEFA, sementara G-14 terakhir hanya beranggotakan 18 klub, di dalam ECA ada kelompok kecil yang tak berbeda dengan G-14 dulu. Buktinya, sejauh ini, yang pernah memimpin ECA adalah petinggi dua klub raksasa, Karl-Heinz Rummenigge (Bayern Muenchen) dan Andrea Agnelli (Juventus).
Ketika ECA berada di bawah kendali Rummenigge, dari 2008-2016, itulah wacana pembentukan Liga Super Eropa pertama kali muncul. Pada tahun terakhir kepemimpinan Rummenigge, sebuah proposal sampai ke alamat ECA. Proposal itu datang dari Charlie Stillitano, pemilik Relevent Group yang merupakan operator International Champions Cup.
ADVERTISEMENT
Presiden Bayern Muenchen, Karl-Heinz Rummenigge. Foto: AFP/Christof Stache
Di mata Stillitano, sepak bola adalah urusan profit dan profit semata. Pernah suatu kali dia berkata bahwa [industri] sepak bola tidak membutuhkan tim-tim seperti Leicester City. Meskipun pernah menjadi juara Premier League di musim 2015/16, Leicester, dalam hemat pria asal New Jersey tersebut, tidak laku dijual.
Itulah mengapa, ketika wacana pembentukan Liga Super ini tebersit di benaknya, dia tidak mengirimkan proposalnya kepada Leicester, melainkan kepada Bayern Muenchen. Rummenigge yang membaca proposal tersebut kemudian memerintahkan pada petugas legal Bayern untuk melakukan pengkajian. Tak lama kemudian, wacana ini mulai diupayakan untuk bisa terealisasi.
Awalnya dari Bayern, kemudian klub-klub elite lain pun ikut dilibatkan. Total, ada sebelas tim di sana, yakni Bayern, Juventus, Milan, Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Manchester City, Chelsea, Arsenal, Liverpool, dan Paris Saint-Germain. Sebelas klub itu, layaknya sebuah kartel, bersekongkol untuk mencanangkan sebuah kompetisi elite baru.
ADVERTISEMENT
Menurut rencana, Liga Super Eropa ini akan mulai digulirkan mulai musim 2021/22. Kebetulan, perjanjian hak siar televisi Liga Champions yang sekarang akan habis pada musim 2020/21. Dalam praktiknya nanti, Liga Super tersebut akan mempertemukan 16 klub dengan sistem yang sama dengan Liga Champions: Diawali dengan fase grup, diakhiri dengan sistem gugur.
Sebelas klub tadi rencananya akan mendapat privilese, di mana mereka tidak akan bisa tersingkir dari kompetisi tersebut selama 20 tahun pertama. Mereka juga dijanjikan akan mendapatkan uang sampai 500 juta euro per musimnya hanya dari kompetisi tersebut. Adapun, lima klub lain yang akan berstatus sebagai tamu adalah Internazionale, Atletico Madrid, Roma, Marseille, dan Borussia Dortmund.
Trofi International Champions Cup. Foto: Lionel Ng/Getty Images
Nantinya, Liga Super ini akan dijalankan oleh sebuah operator yang berbasis di Madrid, Spanyol. Kabar soal pembentukan perusahaan operator inilah yang muncul dalam dokumen yang bocor tanggal 22 Oktober 2018 tadi. Di perusahaan itu, setiap klub peserta memiliki saham. Real Madrid, misalnya, berkuasa atas 18,77% kepemilikan, sementara 12,58% lainnya jadi milik Manchester United, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Rencana ini sendiri diketahui publik berkat artikel yang dirilis oleh Der Spiegel, bagian dari Kolaborasi Investigatif Eropa (EIC). Majalah Jerman tersebut mendapat bocoran dokumen hasil retasan Football Leaks yang menujukkan adanya kongkalikong di antara para elite persepakbolaan Eropa. Sebelum itu, Der Spiegel juga sempat merilis artikel mengenai keculasan Manchester City, Paris Saint-Germain, dan Gianni Infantino dalam upaya mengakali Financial Fair Play serta kasus perkosaan yang melibatkan Cristiano Ronaldo.
Oleh Rummenigge dan Bayern, tuduhan Der Spiegel itu dibantah. Sementara, dari Ceferin, sejak 2017 lalu sudah muncul peringatan bahwa UEFA tidak akan membiarkan wacana pembentukan Liga Super Eropa terwujud.
"Kepada klub-klub yang terkait, aku akan mengatakan dengan tenang dan tanpa rasa senang, tetapi tegas: tidak akan ada liga tertutup. Itu semua tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita junjung, titik," kata Ceferin.
ADVERTISEMENT
"Kami tidak akan pernah tunduk dengan upaya pemerasan dari mereka yang berpikir bisa memanipulasi liga-liga kecil atau memaksakan kehendak kepada asosiasi ini hanya karena mereka kaya dan berkuasa," tambahnya.
Akan tetapi, seiring dengan pengumuman UEFA tentang pembentukan kompetisi antarklub kelas tiga tadi, segalanya berubah. Liga Super Eropa memang tampaknya tidak akan terwujud sepenuhnya. Namun, ada kemungkinan besar ia akan lahir dalam bentuk lain.
***
Pekan lalu, tanggal 9 Mei 2019, New York Times melepas sebuah artikel berjudul 'Proposal to Restructure Champions League Leaves Out Most of Europe'. Sesuai judulnya, artikel tersebut menjelaskan soal reformasi kompetisi antarklub Eropa. Di sana, kompetisi antarklub ketiga tadi akan memainkan peran krusial.
Liga Super Eropa tampaknya memang tidak akan pernah terwujud. Rencana reformasi yang diwartakan Times itu juga tidak sama dengan wacana yang sempat disebarluaskan Der Spiegel. Akan tetapi, spiritnya sama. Liga Super Eropa dirancang untuk menguntungkan tim-tim raksasa dan reformasi ini pun setali tiga uang.
ADVERTISEMENT
Dalam rencana reformasi itu, kompetisi antarklub Eropa akan diperlakukan layaknya liga domestik, di mana ada promosi dan degradasi. Liga Champions akan jadi kompetisi level teratas, disusul Liga Europa, dan kemudian diakhiri oleh UEL2. Tak seperti saat ini, kelolosan ke kompetisi antarklub Eropa tak lagi sepenuhnya ditentukan oleh prestasi di kompetisi domestik. Malah, relevansi liga domestik nantinya bakal sangat kecil.
Presiden ECA, Andrea Agnelli, dan Presiden UEFA, Aleksander Ceferin. Foto: AFP/Andreas Solaro
Dalam proposal itu dijelaskan bahwa mulai musim 2024/25 nanti, 24 tim tertatas dari 32 klub yang bermain di Liga Champions musim itu dipastikan bakal bermain di kompetisi musim berikutnya. Sementara, delapan tim baru pada musim depan akan diambil dari Liga Europa dan kompetisi domestik dengan proporsi 50:50. Empat tim lolos ke Liga Champions dari Liga Europa, sisanya dari kompetisi domestik. Hal serupa berlaku di Liga Europa dan UEL2.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perubahan juga dilakukan pada penyelenggaraan fase grup. Jika saat ini fase grup digelar dalam delapan grup berisikan empat tim, nantinya 32 klub itu akan dibagi dalam empat grup berisikan delapan tim. Dengan begini, sebuah tim bisa bermain sampai 14 kali di fase grup. Sedangkan, untuk fase gugur, tidak ada perubahan sama sekali.
Proposal ini sendiri merupakan hasil rancangan UEFA dan ECA. Pekan lalu UEFA sudah mempresentasikan proposal ini kepada perwakilan dari penyelenggara liga-liga domestik. Hasilnya, tentangan didapatkan. Salah satu tentangan muncul dari Javier Tebas, Presiden La Liga.
"Ini bukan cuma rencana dan proposal yang masih bisa didiskusikan lagi. Ini adalah proyek konkret yang sudah dikembangkan UEFA bersama kelompok kecil berisikan klub-klub kaya Eropa yang bertujuan mereformasi kompetisi klub Eropa dalam format yang bisa menghancurkan kompetisi domestik serta kelangsungan finansial mayoritas klub Eropa," kata Tebas.
ADVERTISEMENT
"Kami mau saja diajak berdialog, tetapi kalau proyek ini yang diajukan, kami tidak akan mau bernegosiasi," tambahnya.
Presiden La Liga, Javier Tebas. Foto: AFP/Roslan Rahman
Tebas benar. Reformasi kompetisi Eropa itu memang berpotensi membunuh liga-liga domestik serta klub-klub yang kurang berada.
Saat ini, lolos ke kompetisi Eropa adalah hadiah besar bagi klub-klub peserta kompetisi domestik. Bahkan, kadangkala persaingan merebut tiket kompetisi Eropa lebih ketat dibanding perebutan gelar juara. Di Serie A, misalnya, di saat Juventus sudah memastikan gelar juara jauh-jauh hari, masih ada Inter, Atalanta, Milan, Roma, Lazio, dan Torino yang berebut tiket Liga Champions sampai pekan ke-37.
Persaingan itu punya nilai jual tinggi dan apabila ia dimatikan maka kompetisi domestik pun bakal kehilangan banyak hal, terutama uang. Selain itu, dengan keberadaan 14 pertandingan fase grup tadi, ada kemungkinan pertandingan antarklub Eropa bisa digelar pada akhir pekan.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, pemegang hak siar dan sponsor akan lebih memilih untuk mendekat kepada pertandingan yang mempertemukan dua raksasa Eropa ketimbang pertandingan liga biasa. Jika ini sampai terjadi, kompetisi domestik bakal jadi anak tiri.
Rencana reformasi ini memang ditentang oleh penyelenggara liga. Akan tetapi, bagi klub-klub kaya dari Italia dan Spanyol, ini adalah jalan pintas untuk menyaingi tim-tim Premier League dari segi pendapatan. Itulah mengapa, mayoritas dukungan atas reformasi ini lahir dari klub-klub tersebut. Juventus dan Barcelona adalah dua tim yang presidennya sudah menyatakan dukungan secara gamblang.
Presiden Juventus, Andrea Agnelli. Foto: AFP/Marco Bertorello
Meski demikian, tidak semua klub setuju. Saint-Etienne, misalnya, khawatir perubahan ini akan membunuh mimpi para suporter untuk menyaksikan timnya lolos ke kompetisi Eropa dan berlaga menghadapi tim-tim terbaik. Memang benar bahwa kemungkinan itu tetap ada. Namun, untuk mencapai hal itu, prosesnya akan lebih sulit.
ADVERTISEMENT
Jika Saint-Etienne nantinya berada di UEL2, mereka butuh setidaknya dua tahun untuk bisa menembus Liga Champions. Padahal, biasanya setiap musim mereka punya kans untuk mewujudkan itu. Parahnya lagi, di UEL2, jumlah peserta nanti mencapai 64 klub. Artinya, jumlah pertandingan akan sangat banyak dan itu bakal menguras sumber daya.
Lalu, apabila Saint-Etienne nantinya sampai ke Liga Champions, mereka bakal berhadapan dengan tim-tim yang sudah telanjur punya kapital besar. Kesempatan mereka untuk menang pun kian tipis saja. Padahal, seperti yang dikatakan pemilik Saint-Etienne, Bernard Caiazzo, tujuan sepak bola adalah memberi kebahagiaan. "Dan cara memberi kebahagiaan itu adalah dengan memiliki kesempatan meraih kejayaan," katanya.
Walau begitu, Saint-Etienne masih beruntung karena mereka adalah peserta Ligue 1 yang punya kesempatan lolos ke Liga Champions langsung dari jalur domestik. Yang ketiban sial nantinya adalah klub-klub dari Belanda, Portugal, serta negara-negara Eropa Timur. Sebab, mereka tidak berhak untuk lolos langsung ke Liga Champions. Klub-klub ni bakal diitempatkan di Liga Europa yang berisikan 32 peserta, atau bahkan UEL2 yang diikuti 64 tim.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika tentangan muncul terhadap proposal ini. Liga Super Eropa secara literal memang tidak akan terwujud, tetapi perubahan di kompetisi antarklub Eropa yang digagas UEFA dan ECA ini pada dasarnya akan membentuk liga supranasional yang memarginalkan klub-klub kurang berada. Dengan begini, sepak bola memang takkan kehilangan daya tarik. Akan tetapi, ia akan kehilangan jiwanya.