Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Kisruh Arab-Qatar: Ramai-ramai Menghentikan Laju Qatar di Timur Tengah
6 Juni 2017 8:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Bahrain secara resmi memutus hubungan diplomatik dengan Qatar, Senin pagi (5/6). Langkah tersebut diikuti oleh Yaman, Libya, dan Maladewa yang memutuskan melakukan hal serupa siang harinya.
ADVERTISEMENT
Pemutusan hubungan diplomatik tersebut akan berdampak pada beberapa hal, seperti pemulangan warga negara Qatar dari negara-negara itu; pemutusan dan pengalihan jalur transportasi darat, laut, dan udara; serta pada kerja sama negara-negara tersebut dalam Dewan Kerja Sama Teluk atau Gulf Cooperation Council (GCC).
Sebetulnya, pemutusan hubungan diplomatik Qatar oleh negara-negara Arab tersebut adalah fenomena puncak gunung es apabila dilihat dari tren dan perkembangan hubungan negara-negara itu bertahun-tahun ke belakang.
Meski memiliki derajat keseriusan yang berbeda-beda, ketegangan antara negara-negara itu dengan Qatar bukan yang pertama kali terjadi.
Semua bermula dari keinginan Qatar untuk meningkatkan pengaruhnya di luar, baik di regional Timur Tengah maupun di percaturan internasional.
ADVERTISEMENT
Aspirasi tersebut ternyata tak sesederhana apa yang dipikirkan emir-emir Qatar. Meminjam kata-kata Profesor Mehran Kamrava dalam bukunya Qatar: Small State, Big Politics, negara tersebut “[...] consistently punching above its weight.”
Qatar “hanyalah” sebuah negara kecil yang berada di tepi Teluk Persia. Luasnya cuma 11.500 kilometer persegi, tak lebih dari sepertiga luas Provinsi Jawa Barat. Ia berbatasan darat hanya dengan Arab Saudi, sedangkan sisa wilayah lainnya bersisian langsung dengan Teluk Persia, wilayah perairan yang punya sejarah jadi ladang konflik antara negara-negara Arab yang provokatif.
Bahkan hingga 1973, Qatar masih menjadi salah satu negara yang paling miskin di Timur Tengah. Baru setelah produksi minyak meningkat pesat di akhir tahun tersebut, Qatar secara dramatis mengambil posisi sebagai negara dengan pendapatan per kapita terkaya di dunia.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, saat ia masih menjadi negara protektorat dari Britania Raya, Qatar hanya hidup dari sektor perikanan dan usaha mutiara.
Minyak datang, dan boom! Yang disebut dengan oil boom oleh para pakar benar-benar terjadi pada Qatar.
[Baca juga: Isolasi Saudi cs Pukul Telak Ekonomi Qatar ]
Setelah eksplorasi cadangan minyak dan gas di dekade 70-an tersebut berhasil dan produksi meningkat pesat, GDP Qatar meningkat luar biasa pesat. Dibandingkan tahun 1973, GDP Qatar saat ini naik sebesar 1.000 persen atau 10 kali lipat.
Kini, Qatar merupakan negara terkaya di dunia, dengan jumlah GDP per kapita mencapai 129.000 dolar AS, lebih tinggi 27 ribu ketimbang Luksemburg yang menempati peringkat ke-2. Meski begitu, populasi negara kecil tersebut hanya 2,6 juta jiwa. Dan dari jumlah tersebut hanya 313 ribu yang merupakan warga Qatar asli, sementara 2,3 juta lainnya ekspatriat.
ADVERTISEMENT
Rahasia dari jumlah ekspatriat yang hampir delapan kali lipat dari penduduk aslinya tersebut adalah pembangunan dan ekspansi besar-besaran Qatar di segala bidang. Di dalam negeri, segala hal tak luput dari peningkatan mutu secara signifikan. Jaminan kesehatan, sistem pendidikan, hingga infrastruktur secara drastis mereka benahi.
Bahkan, infrastruktur teknologi dan informasinya nomor satu di jazirah Arab, menyalip negara-negara seperti Arab Saudi dan UEA yang sudah masyhur lebih dulu. Saking kayanya, warga Qatar tak perlu lagi mengantre mengurus pajak tahunan seperti di Indonesia. Di negara tersebut, warga negaranya sama sekali dibebaskan dari pajak. Luar biasa.
Namun itu belum cukup buat Qatar. Negara kecil tersebut ingin tampil beda, apalagi dengan tetangganya negara-negara Arab yang tergabung dalam Majlis At Ta'awun Al Khaliji atau GCC tadi. Berbagai langkah dramatis lain diambilnya, yang rata-rata terjadi ketika Emir Hamad bin Khalifa Al Thani mengambil alih kekuasaan monarki negara tersebut di tahun 1995.
ADVERTISEMENT
Di bawah Emir Hamad, Qatar secara jelas melakukan gerakan liberalisasi di segala bidang. Seperti, peluncuran stasiun televisi Al Jazeera (1996), mendorong hak politik perempuan untuk memilih di pemilihan daerah (1999), pembentukan konstitusi tertulis pertama (yang memberikan jaminan hak-hak bagi masyarakatnya; serta jaminan non-diskriminasi atas perbedaan apapun, baik jenis kelamin, ras, bahasa, maupun agama) di tahun 2005, juga pendirian Gereja Katolik Roma di Qatar pada 2008. Keadaan tersebut sama sekali tak bisa ditemui di Arab Saudi hingga kini.
Gerakan modernisasi yang dilakukan Emir Hamad beserta istri dan perdana menterinya tersebut jelas sangat positif bagi masyarakatnya. Namun, lagi-lagi, itu belum cukup. Qatar, yang bisa saja mengajak seluruh masyarakatnya pensiun dini dan tinggal di Prancis dengan uang mereka ini, memilih untuk melebarkan kembali eksistensinya di tempat-tempat yang sebetulnya mungkin tak perlu.
ADVERTISEMENT
Ia turut campur di konflik Libya dengan mendukung pemberontak anti-Qaddafi. Ia terlibat dalam konflik di Suriah dengan mengirim bedil-bedil ke mereka yang memberontak pada Al Assad. Ia membuka pintu lebar-lebar ke Amerika Serikat untuk mendirikan pangkalan militer.
Qatar juga --meski bisa diperdebatkan apakah hal ini benar-benar tak perlu-- dengan keras kepala ingin menggelar Piala Dunia sepak bola di tahun 2022, di tanah mereka yang temperaturnya mencapai 50 derajat Celcius.
Brand dan Usaha Bertahan Hidup
Karena Qatar ingin menjadi seperti Amerika Serikat. Qatar juga ingin menjadi China. Qatar juga ingin menjadi Britania Raya. Qatar, setidaknya, ingin bisa seperti negara-negara Teluk lain yang punya pengaruh luas di dunia internasional. Maka yang dilakukannya, seperti memelihara bisnis lainnya, adalah membangun dan mengembangkan brand.
ADVERTISEMENT
“Qatar tak puas dengan hanya menjadi negara kecil di tengah Teluk Persia,” ucap Shadi Hamid, peneliti dari Brooking Institution di Doha Center, menjelaskan keinginan Qatar untuk menjadi sesuatu yang lebih.
Selain membangun hard power dengan beraliansi bersama Amerika Serikat lewat pembangunan pangkalan militer di negaranya, Qatar juga mencoba membangun pondasi untuk soft power lewat pengaruh di bidang-bidang non militer.
“Mereka ingin meninggalkan pengaruh di politik regional --ah, dan tidak hanya politik, namun juga kultur, olahraga, dan pendidikan,” imbuhnya.
Pertanyaannya adalah, mengapa Qatar ingin melakukan semua itu? Hamid mengatakan, jawaban tersebut bisa digali dengan menengok ke pertengahan dekade 1990-an.
Seperti disebutkan sebelumnya, di tahun-tahun itulah Emir Hamad naik tahta. Pada 1995, ia menggulingkan ayahnya saat tengah berlibur di Eropa. Ini adalah periode waktu yang amat penting bagi Qatar, karena di titik itulah ia kemudian berangkat menuju modernisasi.
ADVERTISEMENT
Namun yang juga tak disadari adalah bahwa Emir Hamad waktu itu langsung menghadapi “countercoup” tak sampai setahun setelahnya. Maksud dari countercoup itu Hamad dimakzulkan karena dianggap tak sah memimpin Qatar.
Dan siapa yang membekingi countercoup tersebut? Tak lain adalah Arab Saudi.
[Baca juga: Qatar Terjepit Kobar Api Perseteruan Saudi-Iran ]
Selain upaya pemakzulan yang didukung oleh Arab Saudi, Hamad juga menjadi saksi langsung terhadap apa yang terjadi pada Kuwait beberapa tahun sebelumnya.
Tahun 1990, Irak menginvasi negara kecil penuh minyak, Kuwait, dan mendudukinya selama tujuh bulan sebelum ganti diserang oleh tentara AS dan koalisinya. Allen Fromherz dalam bukunya berjudul Qatar: A Modern History, mengatakan bahwa Hamad belum melupakan apa yang terjadi pada Kuwait.
ADVERTISEMENT
“Qatar tak mau melihat dirinya sendiri berakhir seperti berlian yang dengan mudah dimaling oleh tetangga yang lebih kuat, seperti apa yang terjadi pada Kuwait,” ucapnya. “Tidak oleh Arab Saudi maupun oleh Iran sekalipun.”
Ketakutan-ketakutan tersebut membuat Qatar pasca-1995 mau tak mau membangun kekuatannya sendiri lewat pengaruh-pengaruh yang coba ia tularkan ke dunia. Dengan pengaruh tersebut, layaknya merangkai hubungan pertemanan, Qatar berharap bahwa mereka tak akan lagi dianggap sebagai entitas remeh yang bisa di-bully di sana-sini.
Negeri Paradoks
Untuk mencapai level yang diinginkannya, Qatar berkorban banyak hal. Selain di dalam negeri, Qatar juga mencari pegangan dari negara-negara lain. Salah satunya dengan membangun hubungan yang amat baik dengan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Di daerah bernama Al Udeid, sekitar 32 kilometer dari Doha, berdiri sebuah pangkalan militer bagi Angkatan Udara AS. Pangkalan ini melayani US Central Command, termasuk semua operasi militer AS di Afghanistan. Dari pangkalan ini pula AS menyimpan kekuatan militer udara yang menjadi komitmen AS terhadap keselamatan Arab Saudi.
Paradoks mulai tercium. Tak hanya bagi Qatar, pangkalan tersebut juga digunakan untuk Arab Saudi --yang justru sering berkonflik dengan Qatar.
Tak cukup sampai di situ. Ketika Qatar menerima Angkatan Udara AS, negara tersebut juga secara ironis mengizinkan Taliban Afghanistan untuk membentuk kantor politik di Doha.
Selain itu, meski terhitung dekat dengan Arab Saudi, Qatar juga tetap memertahankan hubungan baik dengan Iran. Bahkan, kedua negara terhubung dalam sebuah kerja sama ladang gas raksasa bersama.
ADVERTISEMENT
Qatar, sederhananya, bersikap amat pragmatis terhadap semua pihak. Ia bertaruh keselamatan pada AS, sementara di kaki lain juga memertahankan hubungan dekat dengan kelompok-kelompok teror seperti Hamas dan negara yang mendukungnya, Iran.
[Baca juga: Donald Trump, sang Berandal di Krisis Qatar-Saudi ]
Sikap tersebut lahir karena pendirian Qatar yang inklusif pada entitas politik lain --yang membuat Qatar terbuka bagi siapapun, termasuk pada Ikhwanul Muslimin, Hamas, dan pemberontak-pemberontak melawan otoritarianisme di negara-negara Arab.
Di situlah salah satu upaya pembangunan soft power Qatar mulai membuahkan hasil.
Al Jazeera, kantor berita yang didanai oleh uang minyak dan gas Qatar, menjadi media yang selalu mengabarkan dan mendukung orang-orang prodemokrasi yang tergabung dalam peristiwa Arab Spring. Hal ini terjadi dari Libya hingga Suriah.
ADVERTISEMENT
Maka, melihat Al Jazeera sebagai ancaman, negara-negara tersebut sudah berkali-kali mengancam dan kemudian memblokir layanan kantor berita tersebut di akhir Mei 2017 lalu. Intinya, peningkatan pengaruh Qatar, baik via media maupun medium lain, tak begitu disukai negara-negara konservatif Arab.
[Baca juga: Al Jazeera Terhantam Krisis Qatar-Saudi ]
Kegerahan Geng Arab Tradisional
Dengan segala paradoks, pragmatisme, dan hedging sana-sini yang kadang tak tentu arah tersebut, Qatar jelas mendapatkan banyak perlawanan. Yang paling utama jelas dari Arab Saudi, yang gerah dengan agresivitas Qatar melawan segala batasan-batasan yang secara tradisional berlaku, seperti memulai dan memertahankan hubungan yang mesra dengan Iran.
[Baca juga: Iran, “Biang Keladi” Putusnya Hubungan Saudi-Qatar ]
Dengan mendekat pada Iran, Qatar jelas secara tidak langsung menantang Saudi. Isu pertama jelas dikotomi Suni-Syiah yang dimiliki Saudi dan Iran. Meski begitu, hal itu sebenarnya tak seberapa. Hal yang lebih mendesak --menurut Tia Mariatul Kibtiah, pengamat Timur Tengah dari Universitas BINUS-- adalah kemungkinan pergeseran politik Qatar menuju Iran.
ADVERTISEMENT
Iran mendorong demokratisasi di dalam negerinya, kontras dengan negara-negara Arab lain yang menerapkan sistem monarki. Demokrasi inilah yang tak disukai monarki Saudi, dan menjadi alasan lain mengapa Saudi berang terhadap negara-negara yang dekat dengan Iran, termasuk kini Qatar.
Selain itu, agresivitas yang secara umum ditunjukkan oleh Qatar juga bermasalah bagi negara-negara Teluk lain. Maka, apapun yang dilakukan Qatar dalam meningkatkan perannya di kawasan Timur Tengah, dipandang sebagai hal yang mengancam bagi Saudi yang selama ini menjadi pentolan di kawasan tersebut.
Dan dengan lakunya dalih terorisme, Saudi yang tak mau kehilangan dominasi di jazirah Arab kini balik “menginjak” Qatar.