Ramai-Ramai Tolak Usulan Tommy Soeharto soal Presiden Dipilih MPR

23 Mei 2018 6:17 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tommy Soeharto, di KPU. (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy Soeharto, di KPU. (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Partai Berkarya, Tommy Soeharto, kembali menjadi sorotan. Kali ini, ia disoroti atas usulnya soal sistem pemilihan presiden diubah seperti sebelum era Reformasi, yaitu presiden dipilih MPR.
ADVERTISEMENT
Tommy beralasan pasangan calon yang berkontestasi dalam Pemilihan Umum membutuhkan dana yang besar. Sehingga ia menilai, presiden harus menjadi mandataris MPR.
"Untuk jadi presiden, gubernur, wali kota, bupati itu membutuhkan dana yang enggak kecil. Jadi presiden harusnya jadi mandataris MPR. Harus MPR lagi. Buktinya Inggris masih melakukan hal serupa, kenapa kita harus metodenya Amerika," jelas Tommy, seperti dikutip dari Al-Jazeera, Selasa (22/5).
Karena sistem pemilihan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat membutuhkan dana yang besar, apabila dikembalikan seperti era Orde Baru, kata Tommy, biaya politik yang dibutuhkan bisa ditekan.
"Kita kembali kepada UUD 45 yang asli. Itu jati diri bangsa negara. Yang lebih relevan dan tidak jadi high cost politics. Dan itu tidak ada salahnya," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Usulan Tommy ini langsung mendapatkan respons negatif dari berbagai partai politik. Partai Gerindra, misalnya, tidak setuju dengan usulan Tommy ini. Sebab, apabila presiden kembali dipilih MPR, maka UUD 1945 harus diamandemen dan UU Pemilu juga harus diubah.
"Dan sudah diputuskan di UU Pemilu bahwa pilpres itu harus dilakukan secara langsung suara terbanyak. Jadi sudah tidak bisa kembali ke MPR kecuali kita mengubah, mengamandemen UUD 45. Kecuali kita juga mengubah UU Pemilu," kata Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria kepada kumparan di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senanyan, Jakarta Pusat.
Ahmad Riza Patria (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ahmad Riza Patria (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
Penolakan yang sama juga diutarakan PDIP. Anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP Komarudin Watubun mengatakan, usulan ini dinilai mundur dan butuh waktu untuk mengubah UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Itu sebagai ide boleh, tapi itu pemikiran mundur. Karena apa, harus membutuhkan amandemen UUD kalau mau dilakukan pemilihan melalui MPR lagi," ujarnya.
Komarudin juga menilai, pemerintahan yang dipilih melalui MPR justru menimbulkan kesewenang-wenangan dan sikap otoriter.
"Dalam praktik bernegara selama Orde Lama ke Orde Baru, wah ini kemudian ditafsirkan sudah pemimpin suka-suka saja, tidak dibatasi," kata dia.
Partai Golkar pun menolak usulan ini. Anggota Komisi II DPR Fraksi Golkar Firman Soebagyo mengungkapkan, ajang pemilihan umum baik itu pilkada, pileg, dan pilpres dilaksanakan atas dasar ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu. Sehingga, ketika UU menyatakan pemilihan langsung, maka amanat dan perintah UU tersebut harus dilaksanakan.
"Karena UU-nya sudah memerintahkan pemilihan langsung, maka kita laksanakan UU. Kalau mau mengubah kita perlu bikin forum kajian. Karena tujuan daripada pemilihan langsung ada memberikan mandat kepada rakyat sebagai pemegang hak suara. Itu esensi filosofinya," kata Firman.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, PKB mempertanyakan dasar usulan Tommy tersebut. "Tentu kalau itu yang menjadi usulan Pak Tommy atau pihak lain, tentu kami harus mempelajari apa yang menjadi dasar-dasarnya," kata Ketua DPP PKB Jazilul Fawaid kepada kumparan.
Politikus PKB Jazilul Fawaid (Foto: Jazilul Fawaid/Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Politikus PKB Jazilul Fawaid (Foto: Jazilul Fawaid/Facebook)
Ia berpendapat, apabila ingin merubah sistem pemilu dari langsung menjadi lewat MPR membutuhkan mekanisme di parlemen, yaitu amandemen UUD. Namun, Jazilul menilai, usulan ini perlu dikaji karena pemilihan langsung tidak masalah, asalkan ada jaminan pemilu berlangsung demokratis.
"Jadi begini, itu memerlukan amandemen UUD. Tapi prinsipnya bahwa yang terpenting pilpres dilakukan secara demokratis. Asal konstitusi demokrasi menjadi tak bungkam, seperti itu enggak masalah," tuturnya.
PKS juga mengungkapkan perlu ada kajian lebih dalam soal usulan Tommy ini. Menurutnya, pemilihan presiden melalui MPR memang lebih murah dan cepat. Tapi juga membuat partisipasi masyarakat mengecil dan cenderung oligarki.
ADVERTISEMENT
"Pilihan melalui MPR sederhana, mudah, dan cepat. Tapi pola ini membuat partisipasi rakyat mengecil dan cenderung oligarki. Dipilih rakyat (langsung) memang rumit, mahal, dan lama prosesnya," kata Mardani melalui pesan singkat.
Sementara itu, PPP menyebut usulan Tommy ini sebagai langkah mundur dalam demokrasi. Anggota Komisi II DPR Fraksi PPP Achmad Baidowi menyebut, usulan tersebut akan sia-sia selama UUD 1945 tak kunjung diamandemen. Apalagi saat ini tidak ada urgensinya untuk mengubah sistem pilpres melalui MPR.
"Saat ini kamu belum melihat urgensinya. Selama konstitusi belum diamandemen, ya hanya menjadi wacana yang sia-sia," katanya melalui pesan singkat.
Achmad Baidowi anggota komisi II DPR (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Achmad Baidowi anggota komisi II DPR (Foto: Wikipedia)
Namun, hanya ada satu partai yang mendukung usulan Tommy itu, yaitu Partai Hanura. Anggota Komisi II DPR Fraksi Hanura Rufinus Hutahuruk menyambut baik usulan itu. Ia pun sepakat, sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini membuat biaya politik semakin besar.
ADVERTISEMENT
"Kelihatannya memang ini berbagai varian dan variabel yang mengacu kepada ada yang menyebut joki, ada yang menyebut money politics," kata Rufinus.
Menurut Rufinus, jika usulan bertujuan untuk memperbaiki persoalan politik uang dan efisiensi biaya politik, maka hal itu sah-sah saja. Tentunya, kata dia, sistem itu harus dikaji secara akademik terlebih dahulu.
“Nah kalau itu dikembalikan untuk demi efisiensi, ya silakan saja. Betul, kita perlu kajian juga secara akademik, kita komparasi tentunya bagaimana (pemilihan) presiden itu dulu dipilih oleh MPR,” ujar Rufinus.
Lalu, bagaimana pendapat pengamat mengenai hal ini? Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai, usulan Tommy itu hanya akan mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru, yaitu presiden bisa berkuasa lama dan otoriter karena kekuasaan dipegang sekelompok orang saja.
ADVERTISEMENT
"Kalau diterapkan, itu membuka ruang bagi lahirnya kembali otoritarian seperti di masa lampau. Dan konklusinya kita tidak punya masalah. Kita tidak punya masalah dengan sistem pemilihan langsung karena tidak ada problem fundamental yang diakibatkan mekanisme pemilihan langsung itu," ujar Titi kepada kumparan.