Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memahami Maksud Penularan COVID-19 Melalui Udara (Airborne Transmission)
14 Agustus 2020 17:17 WIB
Diperbarui 30 Desember 2020 8:16 WIB
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa tulisan yang telah saya publikasikan tentang Covid-19 sering menekankan bahwa penelitian atau sains bekerja sangat cepat untuk memahami penyakit ini. Baik itu penelitian terkait vaksin , usaha untuk memahami asal usul virus, hingga bagaimana virus ini menyebar, telah memenuhi ruang-ruang publikasi ilmiah. Tidak jarang, fakta yang sebelumnya telah mapan harus terbantahkan ketika penelitian terbaru berhasil menguak misteri SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan krisis kesehatan masyarakat terburuk selama satu dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Fenomena demikian ini bukanlah aib bagi sains, justru ini merupakan hal bagus. Dan begitulah memang sains bekerja. Pemahaman utuh dibangun melalui fakta-fakta hasil penelitian sebelumnya yang telah ada dan menjadikan pengetahuan tentang sesuatu bersifat jauh lebih baik, walaupun mungkin belum sempurna.
Belum percaya bahwa beberapa fakta yang telah mapan harus rela dibenturkan dengan penelitian baru yang lebih andal?
Perdebatan jalur penularan Covid-19
Sekitar empat bulan lalu, kanal YouTube Kompas mengunggah video berjudul “Ternyata Hoaks! WHO Tegaskan Virus Corona Tak Menular Lewat Udara”. Video yang tepatnya diunggah pada 30 Maret lalu ini telah mendapatkan sekitar sejuta kali tayang. Pada saat itu, video ini sangat berguna karena WHO sendiri juga meyakini bahwa SARS-CoV-2 menular secara langsung melalui cipratan cairan yang keluar dari mulut ketika berinteraksi dengan orang yang terinfeksi (direct transmission). Hal itu juga yang menjadikan kita harus mengenakan masker, menjaga jarak, dan tidak menyentuh wajah, ketika berinteraksi.
ADVERTISEMENT
Sampai sekitar empat minggu lalu, kanal YouTube Kompas mengunggah lagi sebuah video yang menjelaskan kemungkinan virus ini dapat menular melalui udara. Bukan hanya Kompas, WHO sendiri pun telah merevisi “fokus” mereka pada Juli lalu. Di mana sebelumnya mereka menekankan bahwa jalur utama penyebaran Covid-19 adalah melalui kontak langsung dengan orang terinfeksi, dan menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, kemungkinan juga virus ini menular melalui udara.
Sebelumnya, WHO mengatakan bahwa penularan melalui udara tidak mungkin terjadi di luar lingkungan rumah sakit. Menurut mereka, hal ini terjadi karena beberapa prosedur di rumah sakit sendiri dapat menghasilkan partikel super kecil yang dapat bertahan di udara lebih lama dibandingkan cipratan (droplets) cairan mulut. Namun, setelah banyak desakan dari bukti ilmiah, WHO “terpaksa” mengamini kemungkinan penularan Covid-19 melalui jalur udara.
ADVERTISEMENT
Dipublikasikannya surat terbuka yang ditulis oleh Lidia Morawska dan Donald K. Milton dalam jurnal Clinical Infectious Diseases, mendesak WHO untuk mengubah pernyataan mereka mengenai jalur penyebaran virus. Artikel (surat terbuka) tersebut ditandatangani oleh 239 ilmuwan (termasuk 2 penulis) dari 32 negara. Secara ringkas surat tersebut mencoba menguraikan bukti yang menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat menular melalui partikel yang sangat-sangat kecil dari cipratan cairan mulut ketika berbicara, bernapas, menyanyi, batuk, atau bersin, yang melayang di udara.
Selain itu, para ilmuwan itu juga mengatakan bahwa ruang tertutup dengan sistem ventilasi yang tidak memadai menjadi faktor penularan Covid-19. “Penularan aerosol jarak pendek, terutama di lokasi dalam ruangan tertentu, seperti ruangan yang penuh sesak dan ventilasi yang tidak memadai dalam jangka waktu yang lama dengan orang terinfeksi tidak dapat disingkirkan,” demikian pernyataan WHO untuk menanggapi surat terbuka Morawska dan ilmuwan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, sudah waktunya bagi seluruh otoritas kesehatan nasional ataupun internasional lain juga mempertimbangkan kemungkinan transmisi airborne (penularan udara), mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk pencegahan, serta memperbarui penerapan protokol kesehatan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana virus yang sebelumnya dipahami menular melalui kontak langsung (direct transmission) dengan orang yang terinfeksi, berubah statusnya menjadi virus yang (kemungkinan) menular melalui udara (airborne)?
Untuk menjawab pertanyaan di atas secara utuh, kita harus merincikan dan memecahnnya menjadi beberapa sub pertanyaan. Pertama, kita harus memahami dan menjawab terlebih dahulu pertanyaan "dalam bentuk apa, sebenarnya, virus ini masuk ke dalam tubuh?"
Cipratan besar dan cipratan kecil
Saat sebuah virus dikatakan menular melalui udara (airborne), hal itu mengacu pada situasi di mana virus yang terkandung dalam cipratan kecil dapat tetap bertahan di udara untuk jangka waktu yang cukup lama. Salah satu contoh penyakit yang termasuk kategori transmisi airborne ini adalah campak. Angka rata-rata reproduksi kasus campak (R-naught) adalah 12-18. Hal ini berarti penyandang campak dapat menularkan pada rata-rata 12 hingga 18 orang sehat. Virus yang menyebabkan campak sendiri diperkirakan dapat bertahan di udara hingga 2 jam.
ADVERTISEMENT
Mendefinisikan apakah SARS-CoV-2 menular melalui udara atau tidak, ternyata merupakan hal yang cukup rumit. Banyak istilah yang digunakan dalam penentuan transmisi airborne ini membingungkan. Untuk bagian ini, kita akan menjawab pertanyaan; Dalam bentuk apa virus itu masuk ke dalam tubuh? Apakah itu melalui udara? Atau terpapar langsung melalui cipratan cairan mulut (droplets)?
Untuk memahami bagaimana penyakit pernapasan menyebar, dan jalur apa yang “dipilih” virus untuk masuk ke tubuh inangnya, terdapat pendekatan yang relatif sederhana untuk memahaminya. Pendekatan ini merujuk pada William Wells, seorang ilmuwan yang mempelajari penularan tuberkulosis pada 1930-an.
Walaupun pendekatan ini berumur tua, tetapi ini adalah fondasi dari pendekatan-pendekatan terbaru.
Mari kita mulai: Saat seseorang menghembuskan napas, bersin, bicara, menyanyi, atau batuk, terdapat cipratan cairan dari mulut (droplets) yang keluar bersamaan dengan aktivitas itu.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua pembagian cipratan cairan yang keluar ketika berbicara atau melakukan aktivitas mulut lain. Cipratan pertama ukurannya relatif besar. Jenis cipratan ini bisa langsung jatuh ke permukaan sebelum menguap ke udara (pernah melihat seseorang yang “muncrat” ketika berbicara? Cipratan cairan yang keluar dari mulut itu tidaklah langsung menguap tapi jatuh ke permukaan, kan?).
Penularan penyakit melalui cipratan besar inilah yang sering kita sebut sebagai “droplet/contact spread”, di mana penularan penyakit terjadi karena menyentuh permukaan yang terkontaminasi oleh droplets yang mengandung virus atau terpapar langsung dengan cipratannya tanpa perantara menyentuh permukaan. Pada level ini, seseorang harus berada cukup dekat dengan orang terinfeksi untuk bisa tertular. Itulah mengapa kita menerapkan jaga jarak dan tidak sering-sering menyentuh wajah.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, jenis cipratan kedua berukuran relatif lebih kecil dari cipratan pertama. Sangat kecil bahkan mungkin Anda tidak menyadari cipratan itu ada.
Dalam kondisi tertentu, jenis cipratan kedua ini biasanya dapat bertahan di udara lebih lama dan mungkin dapat melayang di udara sampai berjam-jam atau menguap sebelum mencapai permukaan. Jika di dalam cipratan super kecil ini terdapat kuman, kuman tersebut dapat melayang bersama cairan ini di udara. Seperti debu yang Anda lihat melayang-layang di udara. Cipratan jenis kedua ini disebut sebagai aerosol atau droplets nuclei (inti droplets).
Saat orang yang terinfeksi Covid-19 bersin, misalnya, ia tidak hanya mengeluarkan droplets atau cipratan berukuran besar yang langsung jatuh ke permukaan, tetapi ia juga mengeluarkan aerosol, droplets super-super kecil yang dapat mengkontaminasi udara. Udara yang terkontaminasi aerosol ini dapat saja dihirup oleh orang lain yang sehat lalu kemungkinan akan jatuh sakit setelah tertular. Dan inilah yang menjadi alasan Covid-19 dikatakan dapat menular melalui udara. Partikel dari virus SARS-CoV-2 mampu terbawa keluar dari aktivitas mulut dalam bentuk aerosol yang dapat terbawa udara dan menginfeksi orang yang menghirupnya.
ADVERTISEMENT
Sampai sini dapat kita pahami bahwa aerosol adalah cipratan kecil (tiny droplets). Untuk selanjutnya, kita akan menggunakan istilah droplets untuk cairan yang berukuran besar dan berat, dan aerosol untuk cipratan cairan yang lebih kecil, yang mungkin melayang di udara. Aerosol adalah droplets yang lebih kecil, dan droplets adalah aerosol yang lebih besar.
Itu tadi pendekatan lama, bagaimana dengan pendekatan baru?
Ok, Wells menguraikan perbedaan yang jelas antara droplets dan aerosols menurut ukurannya. Seperti yang kita ketahui, droplets jatuh ke permukaan sedangkan aerosol melayang di udara. Wells sendiri dalam artikel yang dipublikasikannya menggambarkan perbedaan jarak yang dapat ditempuh dan waktu jatuh (atau menguap) dari aerosol dan droplets (Lihat gambar di atas).
ADVERTISEMENT
Namun, kasusnya tidaklah selalu demikian. Penelitian terkini mengenai penyakit pernapasan (respiratory disease) telah menemukan pendekatan baru yang sedikit lebih rumit.
Dalam artikel yang dipublikasikan di JAMA, Lydia Bouroubia menjelaskan bahwa yang terpenting bukanlah apakah ketika kita bernafas, bersin, dan batuk mengeluarkan droplets yang langsung jatuh ke permukaan atau aerosol yang melayang di udara, tetapi hal yang patut disoroti adalah adanya embusan (gas) yang masuk, terjebak, dan terbawa melayang bersama udara saat melakukan aktivitas yang mengharuskan mulut aktif.
Gas atau hembusan ini mungkin tidak terlihat saat cuaca sedang cerah dan panas karena dapat menguap lebih cepat, tapi akan cukup terlihat ketika, misalnya, musim dingin. Itulah yang menjelaskan mengapa saat musim dingin atau ketika berada di tempat yang dingin, Anda mengeluarkan asap (gas) dari mulut ketika berbicara. Kondisi udara yang lembab memungkinkan gas embusan itu menghindari penguapan lebih cepat dan dapat bertahan lebih lama di udara.
ADVERTISEMENT
Menurut Bourobia, hembusan gas dan droplets yang mengandung patogen, dalam beberapa kasus, dapat menempuh jarak 7 hingga 8 meter. Tergantung bagaimana keadaan lingkungan dan seberapa kuat energi yang mendorong gas (hembusan) itu keluar.
Kuatnya dorongan ketika mengeluarkan embusan atau gas ini dapat mempengaruhi jauh penyebaran. Ketika gas tersebut keluar karena batuk atau bersin, misalnya, gas embusan mungkin bisa mencapai jarak yang lebih jauh dibandingkan hanya dengan berbicara. Namun, hal tersebut juga tetap tergantung pada kondisi fisiologi seseorang dan kondisi lingkungan seperti kelembaban udara dan suhu.
Dengan kata lain, terdapat beberapa kondisi ketika batuk, bersin, atau aktivitas mulut lainnya, di mana droplets atau cipratan besar tidak langsung jatuh ke permukaan, dapat menyebar lebih dari satu meter, dan dapat bertahan di udara lebih lama.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, beberapa kajian teoritis telah berkembang untuk membuktikan penyebaran virus corona melalui udara. Sebuah studi laboratorium, dalam kondisi ideal, menemukan bahwa virus dapat "hidup" dalam bentuk aerosol hingga 16 jam. Studi lain melacak berbagai jenis droplets yang keluar dari mulut manusia saat berbicara. Studi ini menggunakan laser sebagai alat pelacakannya. Dikutip dari Vox , studi ini menemukan bahwa “berbicara normal menghasilkan droplets yang dapat tetap bertahan selama lebih dari puluhan menit dan sangat mampu menularkan penyakit di ruang tertentu”
Penelitian lain telah menemukan bukti terdapatnya RNA virus di udara kamar rumah sakit. Namun, WHO menegaskan bahwa, “tidak ada penelitian yang menemukan virus dapat hidup dalam sampel udara”, hal itu berarti bahwa virus yang melayang di udara itu tidak bisa menulari orang lain atau virus tersebut hanya berjumlah sangat sedikit dan tidak mungkin menulari orang lain.
ADVERTISEMENT
Apa yang saya jabarkan di sini adalah bahwa perbedaan antara partikel pembawa virus ini masih menjadi topik perdebatan yang sangat ketat di kalangan para ilmuwan. Penggunaan istilah droplets, aerosols, atau embusan gas, menjadi lebih membingungkan ketika istilah droplets dan aerosol adalah sama dan yang sebenarnya menginfeksi itu embusan gas. Apakah hembusan gas tidak bisa diartikan sebagai aerosol saja?
Morawska, ilmuwan yang menulis surat terbuka bersama 200-an ahli lainnya, mengatakan pada Vox bahwa, “apa yang kami coba katakan adalah, yah, tidak perlu risau mengenai apakah Anda menyebutnya aerosol atau apakah Anda menyebutnya droplets,” Menurutnya, apa yang terpenting adalah fakta bahwa virus SARS-CoV-2 ini “berada di udara dan Anda menghirupnya. (Virus) itu keluar dari hidung dan mulut kita. Dapat bertahan lama di udara dan orang lain bisa menghirupnya”
ADVERTISEMENT
Namun, bukti-bukti yang telah kita bahas ini memiliki keterbatasan. Studi laboratorium tidak dapat menggeneralisasi secara sempurna kondisi dunia nyata tempat virus menyebar dan menginfeksi orang. Hanya karena virus dapat menjalar dalam droplets atau aerosol, tidak lantas berarti mampu menginfeksi orang yang berjarak cukup jauh. Virus dapat terdegradasi dengan cepat di luar tubuh. Juga, dosis (sering disebut virual-load, seberapa banyak virus yang masuk tubuh) adalah hal penting. Terpapar virus dengan jumlah kecil mungkin tidak cukup untuk membuat seseorang sakit.
Untuk mengetahui bagaimana SARS-CoV-2 menyebar melalui udara dalam setting natural (bukan dalam studi lab), kita harus mempelajari penelitian pelacakan kontak (contact tracing study).
Studi kasus penelusuran atau pelacakan kontak menunjukkan bukti penyebaran melalui udara
Telah kita ketahui bahwa penelitian lab memberikan kemungkinan teoritis mengenai penularan “jalur” udara. Bagaimana dengan dunia nyata? Ahli epidemiologi mencoba berbagai pendekatan untuk menjawab pertanyaan mana udara yang aman dan mana yang tidak. Mereka mengamati pola penyebaran virus di dunia nyata setelah menemukan beberapa klaster kasus yang hanya bisa dijelaskan melalui penyebaran udara dan menentukan apakah jalur udara ini merupakan faktor yang penting. Inilah yang disebut sebagai studi kasus contact tracing.
ADVERTISEMENT
Ketika media massa ramai melaporkan banyaknya jumlah orang yang sakit setelah pertemuan dalam ruangan (indoor), Kim Prather, ilmuwan aerosol dari University of California, San Diego, mulai mempertanyakan kelayakan rekomendasi pembatasan sosial dengan jarak 1.8 meter yang diterbitkan oleh otoritas kesehatan.
Mengutip dari laman Nature, penyebaran dalam ruangan atau indoor menunjukkan bahwa virus ditularkan dengan cara berbeda dari yang diasumsikan oleh otoritas kesehatan (ingat, otoritas kesehatan mengasumsikan penularan melalui droplet/direct transmission). Prather mengemukakan bahwa satu-satunya cara seseorang tertular virus dalam ruangan walaupun telah menjaga jarak adalah karena virus itu berada di udara “dan semua orang menghirup udara itu,” Ilmuwan yang juga turut serta menandatangani surat terbuka Morawska bersama 200-an ahli lainnya itu menggambarkan bahwa hal tersebut seperti, “Pistol asap.”
ADVERTISEMENT
Peneliti yang mendalami kemungkinan penularan virus jalur udara ini biasanya merujuk pada kasus dari klaster latihan paduan suara yang terjadi di Washington sebagai contoh. Sebanyak 61 anggota paduan suara Skagit Valley Chorale berkumpul untuk latihan yang berlangsung selama dua setengah jam. Meskipun anggotanya telah mencuci tangan sebelum masuk ruangan, tidak berpelukan atau berjabat tangan, setidaknya 33 penyanyi terdampak Covid-19 dan 2 orang di antaranya meninggal.
Penyelidik dan ilmuwan yang mendalami kasus ini menyimpulkan bahwa virus menyebar dari dalam aerosol yang keluar dari mulut saat menyanyi. Selain itu, terdapat sesuatu yang disebut peneliti sebagai “super-emitter” yang menghasilkan lebih banyak partikel aerosol daripada umumnya. Walau demikian, para ilmuwan ini juga tidak menutup kemungkinan penularan terjadi melalui benda yang terkontaminasi ataupun cipratan besar (droplets).
ADVERTISEMENT
Morawska, seperti dikutip dari Nature, telah memodelkan kondisi di aula latihan dan mengatakan bahwa tidak perlu ada “super-emitter” atau “super-spreader” agar virus ini menyebar luas. Menurutnya, kondisi ventilasi yang tidak memadai, waktu bersama (terpapar) yang lama, dan aktivitas menyanyi yang mendorong kuat partikel keluar dari mulut, sudah cukup untuk menjelaskan banyaknya jumlah orang yang terinfeksi dalam paduan suara itu.
Sebuah studi kasus (pre-print, belum peer reviewed) penelusuran lainnya datang dari Cina. Para peneliti mencoba menyelidiki awal mula wabah yang terjadi di kuil Buddha dengan menelusuri penyebaran hingga menemukan salah satu orang yang menggunakan bus sebagai alat transportasi ke kuil. Ternyata, dalam bus itu terdapat satu orang yang sakit, dan setelahnya, 24 dari 67 orang di dalam bus tersebut pun jatuh sakit. Penumpang yang duduk dekat jendela bernasib lebih baik. Hal ini selain menunjukkan kemungkinan penularan melalui udara juga menunjukkan pentingnya ventilasi dan sirkulasi udara yang memadai agar aerosol yang mengandung virus tidak terperangkap di dalam ruangan tertutup.
ADVERTISEMENT
Satu studi kasus lain menunjukkan bahwa aerosol yang terbawa arus udara dari AC di sebuah restoran di Guangzhou, Cina, menjadi penyebab wabah yang mempengaruhi sepuluh pengunjung dari tiga keluarga yang berada di meja berbeda. Alur udara dari AC itu menyebarkan partikel yang keluar dari mulut orang terinfeksi kepada dua meja yang berada di sampingnya. Para peneliti meninjau video dari restoran dan melihat banyak dari pengunjung ini berjarak lebih dari 1.8 meter antara satu dengan lainnya. Tidak ada staf atau pengunjung lain yang berada di dekat AC lain yang terinfeksi.
Rangkuman: Udara aman dan udara berbahaya – Jarak, waktu, lingkungan, dan aktivitas
Studi kasus dari penelusuran kontak yang telah kita bahas dapat memberikan bukti tidak langsung bahwa aerosol membawa virus. Selanjutnya, hal lain yang juga perlu disoroti adalah kapan dan bagaimana (dalam kondisi apa) aerosol membawa virus. Untuk memahami hal ini lebih lanjut, mari kita rangkum hasil penelitian berlatar lab ataupun penelusuran kontak yang telah kita bahas.
ADVERTISEMENT
Jika kita amati lebih jauh, beberapa kesamaan temuan dari penelitian yang mencoba menjelaskan transmisi airborne SARS-CoV-2 meliputi seberapa kuat tenaga yang mendorong aerosol atau droplets (aktivitas); bagaimana kondisi sirkulasi udara (lingkungan); seberapa lama kemungkinan terpapar (waktu). Menggunakan beberapa bukti riset, mari kita telusuri satu per satu.
Seperti yang sudah kita bahas, kuatnya tenaga yang mendorong cipratan cairan mulut keluar kemungkinan dapat mempengaruhi seberapa jauh droplets atau aerosol yang terkontaminasi virus terbawa udara. Ketika bersin misalnya, partikel virus mungkin terdorong lebih jauh ketimbang saat berbicara. Namun, bukan berarti saat berbicara kita tidak mengeluarkan partikel. Sebuah studi yang diterbitkan di bulan Mei lalu (dan juga telah sedikit kita bahas) mencoba mendeteksi cipratan yang keluar dari mulut menggunakan laser yang sangat sensitif ketika seseorang berbicara.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa saat berbicara keras, seseorang dapat mengeluarkan ribuan cairan mulut per detik. Cairan ini bahkan mampu bertahan hingga 8 sampai 14 menit dalam lingkungan udara yang tertutup dan stagnan. Dari hasil ini para peneliti menyimpulkan,”terdapat kemungkinan besar bahwa berbicara normal menyebabkan penularan virus melalui udara di lingkungan tertentu.”
Tidak terbatas hanya pada aktivitas mulut seperti bicara dan bersin, Morawska bersama rekan peneliti lainnya juga telah menerbitkan sebuah artikel riset (pre-print, belum peer-reviewed) yang menemukan bahwa orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 menghembuskan 1.000 hingga 100.000 salinan RNA virus per menit. Hal tersebut mengkonfirmasi adanya patogen yang keluar saat seseorang yang terinfeksi menghembuskan napas. Ya, hanya menghembuskan napas. Karena para partisipan riset di sini hanya menghembuskan napas, RNA virus mungkin terbawa dalam aerosol yang keluar saat menghembuskan napas dan bukan dari droplets yang biasanya keluar saat bicara, bersin, atau batuk.
ADVERTISEMENT
Beberapa studi di atas menunjukkan bahwa hanya dengan aktivitas sederhana seperti bernapas dan berbicara, memungkinkan seseorang yang terinfeksi mengeluarkan partikel virus dari tubuh mereka. Namun, tentu saja kasusnya tidak selalu demikian. Kita membutuhkan penjelasan dari faktor lain agar aktivitas “sederhana” ini tidak menjadi terlalu menakutkan.
Kita butuh kembali pada studi penelusuran kontak untuk memahami ini. Seperti yang kita ketahui dari penelusuran kasus paduan suara di Washington, anggota paduan suara berada di aula yang memiliki sirkulasi udara yang buruk. Jika ribuan aerosol dapat bertahan 8 hingga 14 menit dalam kondisi ruangan yang tertutup dan stagnan, maka apa yang terjadi jika berada di tempat yang sama dengan durasi waktu yang lebih lama? Tentu akumulasi virus akan lebih banyak dan udara di aula itu mungkin dipenuhi oleh virus. Itulah yang terjadi pada klaster paduan suara Washington. Latihan paduan suara tersebut bahkan diperkirakan berlangsung selama 2.5 jam.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, melakukan aktivitas yang mengharuskan mulut aktif seperti bernyanyi, ditambah berada di ruangan yang memiliki sirkulasi udara buruk atau tertutup, selama berjam-jam, dan tanpa menjaga jarak, merupakan paduan aktivitas yang sangat beresiko tertular – untuk tidak mengatakan mematikan. Empat hal ini tentu tidak harus selalu hadir bersamaan untuk memunculkan infeksi baru. Jika seseorang berada dalam kerumunan yang salah satu orang sudah terinfeksi Covid-19 dalam waktu yang lama, walau sirkulasi udara bagus, hal itu juga sudah memungkinkan seseorang tertular virus.
Maka dari itu, sebelum Anda berencana melakukan rapat bersama kolega di masa PSBB transisi dan pembukaan sektor publik ini, ada baiknya untuk menanyakan terlebih dahulu empat hal terpenting yang meliputi lingkungan (apakah ruangan rapat memiliki sirkulasi udara yang bagus?), waktu (Seberapa lama rapat akan berlangsung?), jarak (Adakah penerapan jaga jarak selama beberapa meter antar peserta rapat?), dan juga aktivitas (Seperti bernyanyi).
ADVERTISEMENT
Apa yang harus kita lakukan setelah memahami kemungkinan airborne ini?
Studi lab dan juga studi kasus penelusuran kontak telah mencoba menemukan bukti-bukti penularan Covid-19 melalui udara. Sayangnya, hal ini masih belum bisa menjawab seberapa banyak dosis virus yang dibutuhkan untuk menginfeksi seseorang dan juga mana udara yang benar-benar aman.
Secara keseluruhan, kita tetap bisa memahami bahwa virus SARS-CoV-2 menular melalui orang-orang yang berkerumun. Baik penularan tersebut terjadi karena droplets, aerosol, hembusan, atau kombinasi dari semuanya, sebagian besar rekomendasi dan protokol kesehatan yang kita terapkan masihlah sangat bermanfaat untuk menjaga diri dan orang lain dari penularan.
Hindari kerumunan atau keramaian, khususnya di ruang tertutup dan memiliki sirkulasi udara yang buruk bahkan saat mengenakan masker. Menjaga jarak di luar ruangan juga tetap menjadi hal yang patut dilakukan karena dapat menghalangi kita dari kemungkinan terciprat oleh droplets ketika seseorang bersin.
ADVERTISEMENT
Menggunakan masker juga masih layak untuk dilakukan. Faktanya beberapa penelitian telah menemukan bahwa dengan masker, mampu menahan sekian persen partikel cairan yang keluar dari mulut. Masker membantu kita tidak terpapar langsung dengan cairan mulut, terutama droplets, walau memang kita membutuhkan lebih banyak strategi lain untuk menghadapi penularan melalui aerosol dan hembusan yang super kecil.
Hal lain yang patut kita lakukan setelah mengetahui kemungkinan penularan airborne ini adalah dengan mengusahakan sirkulasi udara yang baik. Pada tanggal 29 Juli, WHO mengeluarkan serangkaian rekomendasi umum tentang ventilasi untuk tempat umum dan fasilitas kesehatan.
Mengubah sistem sirkulasi udara bisa jadi memakan biaya yang tidak sedikit secara finansial. Namun, beberapa langkah perubahan kecil dari kebiasaan kita tidak selalu mahal. Menurunkan kaca jendela taxi, misalnya, adalah contoh yang dapat kita terapkan. Di lingkungan sekolah, ruang kelas dapat dikosongkan antar beberapa mata pelajaran dengan jendela dan pintu terbuka untuk menurunkan tingkat virus di udara.
ADVERTISEMENT
Mengapa masih harus melakukan protokol kesehatan? Karena, baik itu menular melalui udara atau kontak langsung, kewajiban kita masihlah sama: Menjaga diri sendiri, orang yang kita cintai, dan orang lain secara umum, terhindar dari penyakit yang menjengkelkan ini.