Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
17 Lipsus Pilihan kumparan di Ujung 2017
31 Desember 2017 15:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Tahun 2018 sudah di depan mata. Sebelum mengucapkan selamat tinggal pada 2017, kumparan mengulas kembali 17 liputan khusus pilihan untuk anda (disertai sekelumit kisah di balik proses pembuatannya).
ADVERTISEMENT
Pada 2018, bila anda memiliki saran atau gagasan tentang topik lipsus apa yang sebaiknya diangkat, kami akan menyediakan saluran khusus untuk berkomunikasi dengan anda, pembaca kumparan.
Akhirnya, semoga semua kisah yang telah disajikan, bisa membawa manfaat bagi kita semua. Dan ke depannya, kami berupaya untuk terus mengulik dan menghadirkan kisah menarik. Salam hangat ;)
1. Riany, Mengasuh Anak di Balik Jeruji (22 Desember 2016)
Siang itu cerah. Riany Wijaya menggendong bayi perempuannya di bawah rimbun pohon mangga. Selendang merah muda tersampir di bahu, membungkus hangat si bayi di dadanya. Riany yang bersandal jepit kemudian duduk bersila beralaskan tikar di atas rumput, memangku nyaman si bayi.
Mereka tidak sedang berada di halaman rumah atau taman, tapi di dalam kompleks Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Wanita Tangerang yang berlokasi di Jalan Daan Mogot. Di sana, bangunan-bangunan lapas mengelilingi sejumlah ruang terbuka hijau.
ADVERTISEMENT
***
Semua berawal dari narkotika. Satu malam di bulan September 2015, Riany digerebek polisi di kamar kosnya di Grogol, Jakarta Barat. Saat itu ia usai mengonsumsi sabu-sabu bersama tiga temannya. Riany dan seorang kawannya ditangkap, sedangkan dua orang lainnya lepas karena kebetulan sedang tak di kamar.
“Saya sedang mandi. Enggak lama kemudian ada yang mengetuk pintu, dan lampu mati,” kata Riany, mengenang malam celaka itu.
Polisi masuk ke kamar ketika Riany masih memakai handuk. Ia langsung diminta memakai baju dan digelandang ke Mabes Polri.
Maka hari-hari pahit Riany dimulai. Ia diadili saat hamil.
***
Kisah lengkap Riany (dan Beatrice), bersama kehidupan para narapidana perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita Tangerang dapat disimak pada artikel-artikel menyentuh yang diramu Maria Sattwika Duhita , Deanda Dewindaru , dan Utomo Priyambodo . Ketiganya menjejak lantai dingin penjara, mengintip denyut aktivitas di balik dinding-dinding “penyekap” itu.
ADVERTISEMENT
2. Merayakan Buku (23 April, 17 Mei, 3 Oktober 2017)
Tingkat melek huruf di Indonesia pada orang dewasa atau di atas 15 tahun, menurut laporan UNESCO, pada 2002 hanya 87,9 persen. Angka tersebut kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia (88,7 persen), Vietnam (90,3 persen), dan Thailand (92,6 persen) di tahun yang sama.
Selain soal melek huruf, ketersediaan buku pun dirasa sangat kurang. Di Indonesia, saat itu rata-rata hanya 18 ribu judul buku per tahun diterbitkan. Jumlah itu terhitung kecil jika dibandingkan Jepang yang mampu menerbitkan 40 ribu judul buku per tahun atau China dengan 140 ribu judul per tahun.
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu dulu, kiamat buku belum lagi datang di Indonesia. Meski dihantam perkembangan zaman, buku-buku belum semembosankan itu. Sebaliknya, penerbit-penerbit indie menggeliat, berkembang pesat, dan berjejaring erat dengan segala keterbatasannya.
***
ADVERTISEMENT
3. Senja Terakhir Soeharto Memimpin Negeri (18-21 Mei)
Hari itu bukan hari biasa. Ketegangan mengambang di seluruh penjuru negeri sejak fajar merekah. Di jantung kekuasaan, puluhan ribu tentara berjaga bersiaga. Perang seolah bisa meledak kapanpun. Tak ada yang tahu akan seperti apa nasib negara di pengujung hari.
Pagi 20 Mei 1998 itu, jalan menuju Lapangan Monumen Nasional diblokade aparat keamanan dengan kawat berduri, seiring rencana demonstrasi besar ribuan mahasiswa di Monas. Bukan demonstrasi biasa, melainkan aksi dengan tujuan penting: menumbangkan kekuasaan Soeharto yang telah bercokol lebih dari tiga dekade.
Jumlah tentara yang bertambah berlipat ganda hingga 80.000 personel membuat Amien Rais, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang bergabung bersama aksi mahasiswa di Gedung MPR/DPR menuntut Soeharto mundur, akhirnya membatalkan pengerahan mahasiswa ke Monas --mengambil momen Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh 20 Mei.
ADVERTISEMENT
Kedua pihak, aparat dan mahasiswa, saling menahan diri. Mereka sama tahu, pemicu sekecil apapun dapat berakibat fatal: darah bisa tumpah di tanah tumpah darah.
***
Rangkaian momen di seputar kejatuhan Soeharto tak pernah bosan diceritakan ulang dan dituliskan dalam buku. Sedikit saja temuan baru, kesaksian yang belum pernah diungkap, dapat membawa kesan baru pada hari-hari menegangkan itu.
Semula, kami tak terlalu berminat berlama-lama mengulik-ulik kisah Soeharto. Namun setelah berdiskusi, rangkaian kisah itu akhirnya justru kami rentang panjang, mulai tanggal 18 Mei, ketika 19 tahun sebelumnya Gedung MPR/DPR RI diduduki ribuan mahasiswa yang menuntut Soeharto mundur, sampai tanggal 21 Mei saat kejatuhan Soeharto, ditutup pada 22 Mei dengan menyoal dan mengulas laju demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru tumbang.
ADVERTISEMENT
Liputan ini bisa dibilang dadakan, karena kami sesungguhnya tak punya banyak waktu untuk meramunya. Hanya atas kemurahan hati Yang Kuasa--dan semangat, upaya, serta riset kebut tak putus, sejumlah narasumber bisa dihubungi di injury time, dan wawancara dilakukan sampai tengah malam sebelum laporan turun keesokan paginya.
Berikut beberapa di antara hasil racikan Anggi Kusumadewi , Ardhana Pragota , Tio Ridwan , dan Maria Sattwika --yang tak akan “hidup” tanpa sentuhan lensa kamera dan dokumentasi fotografer andal Aditia Noviansyah serta Muhammad Firman Hidayatullah, saksi mata peristiwa Mei ‘98 yang sehari-hari melebur bersama massa di jalanan.
ADVERTISEMENT
4. Dibunuh: Kisah Wawan dan Sumarsih di Lingkar Buram ‘98 (3 Agustus)
Angin sore bertiup tenang di pekuburan Joglo, Jakarta Barat.
Lamat-lamat, di tengah desir angin, suara perempuan terdengar. Seperti rapalan mantra.
“Sekarang saya bahagia bersama Wawan. Saya selalu berbahagia bersama Wawan.”
Perempuan bergaun hitam itu duduk di samping sebuah makam. Tangannya menggenggam rosario. Lidah api dari lilin menari-nari di atas pusara.
Nyaris satu jam ia duduk di sana, bergeming menghentikan waktu, berdoa khusyuk untuk satu nama yang terpancang di atas kuburan: Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan).
***
Hampir 20 tahun sebelumnya, Wawan berbincang dengan ibunya, Maria Katarina Sumarsih.
“Bu, masa sih Wawan itu urutan nomor satu dari lima orang yang akan dihabisi,” ujar Wawan kepada Sumarsih.
ADVERTISEMENT
“Dihabisi? Apa artinya?” ujar Sumarsih, balik bertanya. Ia jadi resah.
“Ya mau dibunuh, Bu,” jawab Wawan.
“Hah, mau dibunuh?” Hati Sumarsih mencelos. Ia panik. Mencemaskan keselamatan anak bujangnya.
***
Aksi Kamisan menjadi ajang pertemuan Ardhana Pragota dengan Sumarsih, inisiator gerakan itu yang juga ibunda korban Tragedi Semanggi, Wawan. Setelah berkomunikasi putus sambung beberapa kali, Ardhana--yang biasa disapa Gota--bertamu ke rumah Sumarsih untuk mendengar kisahnya.
Gota, lulusan Hubungan Internasional UGM itu, memang amat suka mendengar kisah hidup manusia. Berbalik dengan wajah-kadang-seramnya, ia punya hati lembut cenderung sendu melankolis. Berikut rangkaian cerita yang ia susun usai bertemu Sumarsih--diperkuat dengan cerita dan kesaksian yang ditulis langsung oleh orang-orang dekat Wawan.
ADVERTISEMENT
Damai menyertaimu, Wawan.
5. Astari dan Tradisi Sunat Perempuan Jawa (10 Agustus)
Apanya yang dipotong, dan kenapa harus dipotong?
Dari pertanyaan tersebut, Maria Sattwika menggali soal tradisi sunat perempuan di Indonesia. Lulusan Ilmu Komunikasi UI yang pemerhati isu gender itu mencoba menuntaskan rasa penasarannya: apakah budaya sunat perempuan merugikan perempuan atau tidak? Tentu saja, jawabannya tak hitam dan putih.
6. Revolusi: Pemuda Bersiap Mengepung Jakarta (15-17 Agustus)
“Dengan satu isyarat dari Bung Karno, seluruh Jakarta pasti akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung Jakarta, melancarkan revolusi bersenjata...”
ADVERTISEMENT
Jakarta malam itu, 15 Agustus 1945, amat menakutkan. Dengan kobar api revolusi di dada, para pemuda di seantero kota siap bertempur demi sebuah Indonesia Merdeka.
***
17 Agustus jelas diperingati tiap tahun. Ini tanggal sakral bagi Indonesia. Pada tanggal itu, Republik Indonesia lahir. Selebrasi berlangsung di mana-mana. Tapi kami tak hendak jatuh pada seremoni belaka--yang berlangsung riuh dan berlalu cepat seiring berakhirnya hari.
Maka kami membuka lembaran sejarah, meniti peristiwa demi peristiwa yang terjadi jelang Indonesia Merdeka, dan membentangkannya agar ia tak sekadar masa lalu, namun kisah berharga untuk diserap generasi muda--yang di tangan merekalah nasib bangsa ini terletak.
Bertopang riset dan studi literatur, ditambah sejumlah wawancara, Rina Nurjanah , Wandha Nur , dan Anggi Kusumadewi berbagi kisah-kisah itu.
ADVERTISEMENT
7. Wisata Horor Menjamur: Dari Mistis Jadi Bisnis (12 September)
“Saksikan aksi melukis makhluk gaib dan membuka mata batin.”
“Kami akan mengajak anda menyusuri situs peradaban kuno yang memiliki mata air berkhasiat untuk membuang sial. Mari sucikan diri di kolam keramat.”
“Wisata supranatural: tamu spesial dari komunitas indigo.”
ADVERTISEMENT
Poster-poster semacam itu kini bertebaran di jagat maya. Seiring booming-nya gaya hidup “jalan-jalan” atau berwisata alias traveling, tur mistis ikut menjamur.
Anda akan diajak menuju tempat-tempat, bangunan, atau lokasi yang sarat mitos atau kisah seram. Dan sebagai bonus atas “keberanian” menembus malam (ya, wisata ini biasa berlangsung malam hari), anda bisa saja beroleh “sentuhan”, “bisikan”, atau “kedipan mata” dari para “sahabat” di dunia lain.
Nuansa mistis memang tak luput dirambah sektor wisata, bahkan jadi ladang bisnis menggiurkan. Ragam paket horor ditawarkan, memanjakan peminat metafisika--hal-hal nonfisik yang tak terlihat.
***
Bermula dari selebaran-selebaran promosi wisata mistis, Maria Sattwika dan Rina Nurjanah mendalami segala perkara soal jenis trip tersebut. Maria--penyuka horor yang agresif mencari tantangan--menyambangi komunitas Semarangker di Semarang untuk menjajal sendiri tur mistis di bangunan angker pada malam Jumat.
ADVERTISEMENT
Sementara Rina--si pemilik otak scientific yang suka menolong--mendatangi antropolog folklor UI untuk mencari tahu alasan ilmiah di balik perkara serba-horor tersebut. Berikut hasil laporan duet Rina-Maria, yang semakin horor dengan sentuhan video “misteri” Cornelius Bintang .
8. Kisah Getir Pemadam Rp 10 Ribu Per Jam (21 September)
Pukul 01.00 WIB dini hari, kondisinya benar-benar turun. Denyut nadi melambat meski alat pacu jantung terus bekerja keras. Pagi itu, maut dan alat medis elektronik buatan manusia tengah berduel, di tengah kencang untaian doa sanak saudara.
ADVERTISEMENT
Imam Topik Hidayat sudah tak sadarkan diri sejak hari pertama masuk ruang ICU. Namun meski kondisi Imam drop secara drastis, Erlin Triyanti tak pernah benar-benar kehilangan harapan. Istri Imam tersebut berpikir, “Mungkin ini fase naik turun seperti biasanya.”
Dengan keyakinan itu, Erlin memutuskan untuk menyimpan sendiri kabar memburuknya kesehatan Imam. Beberapa petugas dari Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Kota Bandung yang ikut berjaga di rumah sakit, tak luput ia paksa untuk tidak mengabari soal kondisi terkini suaminya kepada rekan-rekan yang tengah bertugas.
Pukul 04.30 WIB, dokter Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin meminta persetujuan Erlin untuk menghentikan kerja alat pacu jantung yang sudah dipasang sejak sehari sebelumnya.
Dalam diam Erlin tahu, nyawa suaminya sudah tak tertolong. Ia menyetujui saran dokter.
ADVERTISEMENT
Setengah jam kemudian, Imam meninggalkan dunia.
***
Pemadam kebakaran bukan profesi mudah. Untuk mencari tahu kehidupan di balik pekerjaan menantang itu, Tio Ridwan dan Muhammad Faisal datang ke Bandung, kota di mana kebakaran pabrik tekstil pada bulan September merenggut dua nyawa petugas pemadam mereka.
Sebetulnya, semula hanya satu nyawa melayang. Namun sang rekan yang koma, menyusul kemudian. Berita sedih itu membuat Tio dan Faisal yang semula hendak berbincang agak santai di kantor Dinas Kebakaran Kota Bandung, melesat ke rumah duka bersama para anggota pemadam.
Tio yang sehari-hari berhati keras, sontak melunak melihat suasana pilu mengambang di udara. Ia mengharu biru saat melaporkan peristiwa di lapangan, sambil sesekali menggosok matanya. Berikut kisahnya.
ADVERTISEMENT
9. Meraup Tuah dari Sampah (28 September)
Gunung sampah di zona tiga merupakan yang paling besar dan tinggi dari lima zona di TPST Bantargebang. Di zona itulah Wawan biasa mencari peruntungan pada sekitar 6.000 ton sampah yang berasal dari sisa-sisa konsumsi 10 juta penduduk Jakarta setiap harinya.
Saat berjalan menuju titik mendaki gunung sampah, Wawan beberapa kali menunjuk-nunjuk butir-butir cahaya yang bergerak jauh di ketinggian. Butir-butir cahaya itu merupakan tanda bahwa Wawan tidak akan sendirian. Butir-butir cahaya itu berasal dari headlamp para pemulung yang tengah bekerja.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai puncak gunung sampah setinggi 36 meter di zona tiga itu, bukan perkara mudah bagi yang tak terbiasa. Curamnya bidang gunung sampah membuat napas payah. Tenaga untuk bernapas pun dikuras oleh bau sampah yang melesak ke hidung.
Tak kurang dari 10 menit mendaki, puncak lautan sampah pun tergapai.
***
Siapa peduli dengan sampah? Asal membuang sampah pada tempatnya, sudah bagus. Tapi sampah yang membuat jijik banyak orang itu nyatanya justru menjadi sumber penghidupan bagi sebagian orang lainnya.
Begitulah kehidupan berputar dengan saling kontras, seperti siang dan malam yang terus muncul bergantian dan saling bersisian kala senja.
ADVERTISEMENT
10. Hidup dan Mati dalam Buaian Batik (2 Oktober)
Batik punya seribu makna dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dalam sehelai kain, tertuang proses daur hidup manusia dari lahir hingga berpulang ke pelukan Bumi.
Kain batik digunakan sebagai alas saat bayi lahir ke dunia dari rahim ibunya. Kain yang basah kuyup oleh air ketuban--disebut kopohan--dipercaya menjadi obat rewel sang bayi.
Motif yang digunakan untuk kain kopohan ialah kawung yang melambangkan kesucian dan panjang umur, parang yang melambangkan kegigihan, serta truntum yang melambangkan berseminya kehidupan serta kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Bahkan di akhir hidup sebagai manusia, batik masih setia menemani hingga jasad berada di liang lahat. Batik digunakan untuk nglurup atau selubung jenazah.
Motif yang digunakan biasanya kawung polos yang berarti kembali ke alam asal atau motif slobok yang punya makna pengantar doa agar arwah dimudahkan jalannya.
***
Kerap kali yang kita tahu soal batik terbatas. Semisal, batik ada di mana-mana, bahkan dipajang dan dijual di mal dengan harga mahal yang tak berahabat dengan kantong. Yang tidak kita ketahui, di balik itu ada peluh si pembuatnya.
Menyambut Hari Batik, “Ochi” Amanaturrosyidah dan Ulfa Rahayu berkelana ke beberapa kota untuk melihat langsung proses pembuatan beragam batik--beserta filosofi yang terkandung di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Kebetulan, Ochi yang lulusan Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB amat lekat dengan seluk-beluk batik. Bersama Ulfa yang cekatan mengabadikan visual menarik, berikut beberapa laporan mereka.
11. Meredam Amarah Gunung Agung (12 Oktober)
Magma masih terus menggelegak sejak Gunung Agung naik status. Asap belerang putih menyembur tipis dari atas kawah.
ADVERTISEMENT
Seorang budayawan Bali menangis sedih. Ia menganggap letusan Gunung Agung bentuk peringatan bagi manusia, seolah orang Bali melakukan dosa hingga gunung mereka yang selama 54 tahun tenang, kini kembali bergemuruh.
Gunung Agung bukan sekadar bentang alam bagi penduduk Hindu Bali. Ia takhta Batara Siwa, satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Gunung itu menjadi poros sembahyang seantero pulau.
Peradaban Bali bermula di kaki Gunung Agung.
Beberapa waktu sebelum Gunung Agung meletus, Ardhana Pragota dan Cornelius Bintang menyambangi Karangasem, Bali, untuk melihat seperti apa situasi di lapangan. Mereka tak sekadar menemukan tenda pengungsian, tapi juga kegigihan masyarakat Hindu Bali menghormati alam dan Tuhan-nya dalam kosmologi keyakinan mereka.
ADVERTISEMENT
12. Membedah Wajah Setan Perempuan dalam Film Horor Indonesia (26 Oktober)
Marwani hanya bisa tidur, makan, dan berbaring di kasurnya. Wajahnya pucat, raganya lemah. Sehari-hari, ia menggunakan lonceng bila hendak meminta bantuan dari anak-anak atau suaminya untuk sekadar makan atau disisir rambutnya. Hingga ibu empat anak itu wafat dan seluruh keluarga berduka.
Namun, kesedihan tak berlangsung lama, dan segera bertukar dengan ngeri tak terperi. Roh Ibu ternyata tetap di rumah itu--bersama “kawan-kawan” sedunianya kini.
Semasa hidup, Mawarni adalah penyanyi sukses, cantik, populer. Penggemarnya begitu banyak. Ia meraih Platinum Records, tanda karyanya telah mencapai angka penjualan hingga satu juta.
Namun, nyatanya tak ada kesempurnaan dalam hidup. Dan bagi Mawarni, ketenaran dan kekayaan tak lengkap tanpa kehadiran anak-anak. Sayangnya, ia tak juga punya anak. Hingga hal itu membuatnya mengabdi pada sebuah sekte kesuburan--yang akhirnya membuat ia mati tak tenang, dan berimbas teror terhadap keluarga yang justru ia sayangi.
ADVERTISEMENT
***
Penggambaran setan perempuan dalam film sesungguhnya memiliki sejarah panjang. Dari waktu ke waktu, wujud setan perempuan di layar kaca pun berubah-ubah mengikuti zaman.
***
Pengabdi Setan, film horor karya Joko Anwar yang meledak di pasaran, menjadi gerbang pembuka kisah. Horor adalah jenis film yang tak pernah mati. Dari zaman ke zaman, ia laris dilahap penonton. Dan transformasi penggambaran wujud hantu perempuan menjadi salah satu hal menarik untuk diamati dan diulas.
Banyak keberuntungan dalam proses pengerjaan liputan ini. Termasuk ketika Joko Anwar sang sutradara, dan Ayu Laksmi si pemeran Ibu Setan, secara kebetulan punya waktu luang untuk kami temui. Maka Rina Nurjanah , pemain teater di bangku sekolah, tak menyia-nyiakan waktu menjumpai Joko Anwar di salah satu restoran di Cikini.
ADVERTISEMENT
Sementara Anggi Kusumadewi --yang ngefans pada sosok Ayu Laksmi di dunia nyata--tak keberatan memangkas waktu luangnya demi bermalam minggu bersama si Ibu Setan, juga Maria Sattwika .
Disokong riset ketat Maria dan Wandha Nur , dengan video “mendebarkan” Prima Gerhard , bergulirlah rangkaian kisah berikut.
13. Kisah Haru Meriel Bergelut dan Berdamai dengan Kanker (16 November)
“Kenapa harus aku, Tuhan? Aku kan anak baik. Kenapa aku? Yang lain kan banyak. Kenapa aku yang harus sakit leukemia? Aku kan masih mau sekolah,” protes Meriel pada Tuhan.
ADVERTISEMENT
Dia marah pada Tuhan karena memilih mengujinya dengan penyakit seberat leukemia--kanker darah.
Namanya Meriel Ambrosine. Dia terkena kanker darah di usia belia, saat beranjak 12 tahun.
Meriel kini telah tiada, kembali ke pangkuan Sang Pemberi Nyawa.
***
Ini salah satu liputan tersedih kami. Ulfa Rahayu , wartawan lulusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik Universitas Esa Unggul, harus berkali-kali menahan tangis saat mewawancarai narasumber.
Dengan menguatkan hati, ia merangkai kisah tentang anak-anak pengidap penyakit berat yang berada di ujung ajal. Tak ada lagi harapan hidup bagi mereka. Hari demi hari, mereka tahu bisa kapanpun dijemput maut.
Bagaimana bila kita tahu umur kita akan berakhir pada angka berapa? Bagaimana bila kita tahu tersisa berapa lama lagi waktu yang kita punya? Berikut kisah memilukan sekaligus menguatkan dari anak-anak istimewa itu.
ADVERTISEMENT
14. Jalan Panjang Penghayat Menuju Kolom Agama KTP (23 November)
Pertempuran ini sebetulnya bukan milik Khristofel Praing. Ia, yang menjabat sebagai Kepala Dinas Dukcapil Sumba Timur, cukup terjamin kehidupannya. Ia beragama Kristen, agama mayoritas di Pulau Nusa Tenggara Timur, tempatnya tinggal. Hak-hak dasarnya sebagai warga negara terjamin, terpenuhi.
Namun, melihat belasan ribu masyarakat di tempatnya tinggal tak mendapatkan kesempatan yang sama, Praing buka suara dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Gedung Mahkamah Konstitusi RI, awal Februari 2017.
ADVERTISEMENT
“Tidak lazim memang saya berada di sini, tapi saya dalam keterpanggilan moril, keterpanggilan tanggung jawab.”
Praing kemudian bercerita, bagaimana penghayat kepercayaan Marapu di Sumba Timur per Desember 2016 mencapai 18.714 orang. Angka tersebut hampir 10 persen dari jumlah penduduk yang ada di seluruh kabupaten. Sayangnya, angka sebesar itu justru menjadi korban dari peraturan.
Mereka dicap ateis karena kolom KTP mereka kosong. Bagaimana lagi, sebab masyarakat kurang tahu bahwa kolom agama yang kosong di KTP bukan berarti tak beragama.
***
Ini tentang keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan empat penghayat dari empat kepercayaan yang berbeda. Para penghayat kepercayaan kini punya hak untuk mengisi KTP mereka sesuai keyakinannya.
Sempat tersendat karena otak penuh setelah melakukan begitu banyak riset, Tio Ridwan --lulusan Hubungan Internasional UI yang keras hati dan perfeksionis--akhirnya merampungkan laporannya tentang urusan pelik soal kelindan keyakinan dan aturan negara ini.
ADVERTISEMENT
Bersama Ardhana Pragota dan Agritama Prasetyanto (keduanya kawan sekelas saat berkuliah di jurusan Hubungan Internasional UGM) yang turun ke lapangan untuk menemui pejabat terkait dan mendengar kisah para penghayat serta melihat langsung ritual peribadatan mereka, ketiganya menyusun rangkaian kisah berikut--yang tak akan sama tanpa sentuhan tangan Ridho Robby dalam cerita video.
15. Stigma Buruk Pengacara dan Perkara Korupsi (14 Desember)
Profesi pengacara menjadi buah bibir lantaran pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, tampil begitu setia membela kliennya. Berbagai cara seolah ia lakukan untuk meloloskan Novanto dari jerat hukum. Bagai bumper, ia siap berdiri paling depan untuk kliennya.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, apapun seakan bakal dilakukan Fredrich demi membebaskan Novanto. Meski akhirnya dugaan ini tak terbukti dengan putusnya hubungan Novanto dengan sang pengacara. Fredrich--didahului Otto Hasibuan--mundur dari tim kuasa hukum Novanto.
Sudah jadi rahasia umum, perkara korupsi menggiurkan pengacara. Para pegacara tak menampik bayaran yang diterima dari klien perkara korupsi memang besar.
***
Dari situ, cerita begulir ke dunia balik layar pengacara. Termasuk gaya hidup jetset mereka, yang ternyata tak selalu seperti yang terlihat.
ADVERTISEMENT
16. Menyibak Teror Seksual di Tempat Kerja (30 November)
Lilis (bukan nama sebenarnya) setiap hari digoda oleh atasannya di tempat kerja. Bukan sekadar digoda bahkan, tapi diajak untuk berhubungan intim. Ajakan itu bisa datang kapan saja jika si bos sedang “tinggi”, via teks pesan singkat atau terang-terangan di kantor.
Menghadapi teror seksual itu, Lilis hanya diam, menelan semua itu sendiri. Jika ia menggeleng menolak permintaan si atasan, dia diperlakukan buruk sehari penuh, membuat suasana kerja jadi sungguh tak enak.
Hingga Lilis akhirnya benar-benar dipaksa berhubungan seksual dan tak kuasa menolak--badan besar si lelaki menindih tubuhnya yang mungil, ia terguncang namun tak sanggup untuk bercerita kepada siapapun.
***
Kehidupan kantor bagi sebagian kaum urban tak selalu manis. Kerap pahit, bahkan tragis. Apa yang dialami Lilis masuk kategori terakhir. Untuk mencari tahu soal itu, Maria Sattwika mewawancara korban. Bersama Aulia Aminda Dhianti , berikut laporannya.
ADVERTISEMENT
17. Menyibak Dunia Rahasia Para Ilusionis (21 Desember)
Mungkin pernah suatu hari kita terkesima dengan satu aksi sulap menerbangkan uang kertas, menembus tembok, atau bahkan berjalan di atas air. Lalu, kita didera ribuan tanya di benak, sambil mulut menganga dan dahi berkerut.
Kok bisa ya?
The Sacred Riana mungkin bisa kembali membawa deretan pertanyaan dan kebingungan itu. Dalam aksi puncaknya di ajang kompetisi bakat Asia’s Got Talent, Riana memanggil beberapa penontonnya untuk naik ke atas panggung, plus Jay Park, salah satu juri yang tak menduga dirinya bakal dilibatkan dalam permainan.
ADVERTISEMENT
Setelah semua berkumpul, Riana meminta mereka duduk mengelilingi meja kayu bulat, dengan tangan ditaruh di atasnya. Selanjutnya, Riana meminta Jay untuk memikirkan satu ketakutan terbesar dalam hidupnya.
Jay mengangguk, sedangkan yang lain diam menunggu instruksi Riana--separuh waswas separuh penasaran, mungkin. Beberapa saat kemudian, Riana berucap kalimat yang mengisyaratkan meja bulat itu menjadi salah satu medium bagi makhluk dari “dunia lain” untuk berinteraksi dengan manusia.
Tak lama, meja terangkat melayang dan bergerak tak beraturan ke sudut-sudut panggung. Para peserta, dengan wajah tegang dan mata sedikit membelalak, mengikuti arah gerak meja itu, dengan tangan masih tetap menempel di atas meja.
Hingga setelah mereka berputar-putar mengitari separuh panggung, Riana memukul keras meja yang melayang itu.
ADVERTISEMENT
Brakkk! Dan meja tersebut lalu jatuh dan diam.
Riana lantas berjalan sedikit memutari peserta, mendatangi Jay.
“Sebutkan ketakutan terbesar yang kau pikirkan,” kata Riana pada Jay.
“Ketidakbahagiaan,” jawab Jay.
Detik berikutnya, Riana mengangkat sepotong papan tipis yang berada di atas meja. Dan ternyata, papan itu bertuliskan satu kata: unhappiness (ketidakbahagiaan)--persis seperti jawaban Jay.
Semua penonton dan juri terpana. Tepuk tangan membahana.
***
Berawal dari rasa penasaran atas aksi panggung Riana, Anggi Kusumadewi , lulusan Hubungan Internasional Universitas Jember yang menggemari segala hal serba-suram, menemui rekan-rekan dan manajer Riana, Bow Vernon, di markas Trilogy Magic Factory bersama Ulfa Rahayu . Dari situ, cerita tentang dunia pesulap dan kehidupan para ilusionis bergulir.
Sementara Maria Sattwika menemui Deddy Corbuzier yang kerap disebut Bapak Sulap Modern Indonesia, untuk menggali lebih jauh seputar trik balik layar para pesulap. Ia juga berjumpa pesulap senior Indonesia, Mister Lie, yang sampai saat ini bersetia di jalur sulap klasik. Berikut beberapa rangkaian kisahnya yang dapat anda nikmati--plus video asyik olahan Nugraha Satia Permana .
ADVERTISEMENT
Abakadabra! Sampai jumpa di 2018!