Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Beragam opini menggumpal di memori otakku soal kehidupan muslim di daerah otonom Xinjiang China. Kata mereka, baik yang sudah pernah ke sana maupun sekadar tahu dari orang lain, muslim Uighur yang tinggal di Xinjiang mendapat perlakuan berbeda.
ADVERTISEMENT
Lantas, penasaran sampai rasa ingin tahu yang begitu membuncah berakhir dengan jawaban, yang membuatku cukup bisa meluruskan jenggotku yang berantakan sambil bergumam.
Dicari di beberapa literatur, Uighur adalah etnis minoritas di China yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah, ketimbang mayoritas bangsa Han.
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke-20 etnis bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaan mereka dengan nama Turkistan Timur.
Namun pada tahun 1949, Mao Zedong, pemimpin besar China menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan China dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Untuk mencari tahu kehidupan masyarakat muslim Uighur tersebut, kumparan (kumparan.com) mendapatkan kesempatan menjadi perwakilan Indonesia untuk lawatan ke Xinjiang selama 11 hari beberapa waktu lalu. Di hari-hari jelang terakhir, rombongan dibawa ke sebuah kota di Xinjiang di mana banyak warga muslim Uighur hidup di sana.
ADVERTISEMENT
Kota tersebut adalah Yi Ning. Waktu tempuh menuju kota tersebut dari Ibu Kota Urumqi, jika menggunakan mobil, sekitar 7 jam perjalanan. Bila menggunakan pesawat terbang maka waktu yang dibutuhkan ke sana hanya 1 jam.
Kami ke sana menggunakan pesawat terbang. Berharap bisa mendapatkan informasi yang lebih mendalam selama di Yi Ning. Namun takdir berkata lain, cuaca buruk membuat penerbanganku delay hingga 11 jam.
Aku baru bisa menikmati Yi Ning dan mencoba mencari jawaban atas opini-opini tentang muslim Uighur keesokan harinya. Pagi hari sekitar pukul 9.00 waktu setempat, aku dan kawan-kawan media dari 23 negera lainnya menuju permukiman muslim Uighur di kota tersebut.
Tiba-tiba mobil berhenti di pinggir jalan. Kupikir sudah sampai. Namun ternyata belum, setelah turun dari mobil kami diminta menaiki kendaraan tradisional mirip delman untuk menelusuri permukiman muslim Uighur.
ADVERTISEMENT
Tuk tik tak tik tuk.
Suara lari kuda mengantarkan perjalananku menelusuri permukiman yang di kanan kirinya banyak bangunan sederhana. Jalanannya memang cukup sempit dan tidak banyak mobil berlalu lalang.
10 Menit aku menikmati perjalanan, akhirnya kami tiba di tujuan. Setibanya di tempat tersebut, rombongan disambut dengan pemuda lokal yang berperan sebagai pemandu lengkap dengan mikrofon melingkar di telinganya.
Pemuda tersebut memang tak seperti warga China kebanyakan. Kulitnya putih wajahnya mirip bule, seperti orang Kazakhtan, Uzbekistan atau negara sejenisnya. Pemuda tersebut bernama Shepket, berusia 26 tahun.
Shepket menyambut kami dengan ramah. Ia adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas di Xinjiang. Meski bisa berbicara bahasa lokal Uighur, ia memberikan penjelasan tentang kampungnya dengan bahasa China.
ADVERTISEMENT
Serba serbi kehidupan
Kebanyakan penduduk muslim Uighur bertani, berkebun juga mencari penghidupan dengan membuat kerajinan. Kehidupan mereka begitu harmonis. Begitu klaim secara umum yang dijelaskan Shepket.
"Di sini kita lebih banyak waktu untuk berkeluarga kalau musim dingin sudah tiba. Kalau musim panas seperti sekarang, kami keluar dengan pekerjaan masing-masing," urai Shepket.
Rumah-rumah muslim Uighur memang dibangun sederhana namun begitu hangat. Luasnya tak seberapa. Tapi biasanya dalam satu lahan milik keluarga ada beberapa bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda.
"Ada bangunan yang khusus ditempati saat musim dingin. Ada juga yang memang khusus dijadikan tempat berkumpul saat summer," tuturnya.
Bangunan musim dingin dibuat begitu hangat dengan dinding yang dilapisi dengan karpet yang cukup tegal. Di ruang tengah juga terdapat tungku yang siap dinyalakan. Di sana tak terdapat kasur. Yang ada hanya beberapa karpet tebal yang dinilai Shepket sudah cukup menghangatkan.
ADVERTISEMENT
Untuk bangunan musim panas, ventilasi dibuat lebih banyak. Maklum saja, jika musim panas, matahari cukup terik dan bisa membakar kulit warga Yi Ning meski angin tetap kencang. Di sisi bangunan juga terdapat ladang yang tak begitu luas, yang dapat ditanami dengan berbagai jenis tanaman.
Saat kami asyik mendengarkan penjelasan Shepket, ada warga yang berkumpul sekadar untuk melihat. Ada juga anak-anak yang berlarian di hadapan kami. Begitu menggemaskan.
Shepket menjelaskan, warga di sini begitu menikmati kehidupan. Memang belum banyak yang bisa berbicara bahasa nasional, namun menurutnya kesempatan untuk mempelajarinya terbuka.
Selain itu, Shepket menambahkan, pemerintah XInjiang membuka akses pendidikan dan keterbukaan informasi yang cukup untuk masyarakat Uighur. Seperti ceritaku sebelumnya, ada sekolah untuk warga minoritas dan juga stasiun televisi dengan terjemahan bahasa Uighur.
ADVERTISEMENT
"Yang kurang mungkin pelatihan bidang usaha untuk anak muda. Sudah ada, namun perlu ditambah untuk memotivasi anak muda di sini agar lebih berpikiran modern," papar Shepket.
Kami juga sempat dibawa ke sebuah industri kerajinan karpet dan pakaian. Pekerja di sana kebanyakan warga Muslim Uighur.
"Di sini barangnya juga dikirim ke kota-kota besar,"
Benarkah ada diskriminasi saat beribadah?
Lantas bagaimana dengan kehidupan beragama?
Shepket menjelaskan, tak ada larangan untuk warga muslim Uighur menjalankan aktivitas ibadah sesuai keinginannya masing-masing. Semua bisa salat 5 waktu.
"Namun memang suara azan tak boleh terlalu keras. Jadi azan tidak menggunakan speaker," kisahnya.
Hal ini sepertinya terjadi di seluruh wilayah China. Ketika aku 5 hari di Urumqi pun aku tak pernah mendengar gema suara azan.
ADVERTISEMENT
Salah seorang warga China, Zou, menjelaskan hal itu memang terjadi sejak lama.
"Semua beraktivitas dengan saling menghargai satu sama lain. Untuk yang tinggal di dekat masjid pasti mendengar suara azan. Salat Jumat pun tak dilarang," ungkap dia.
Memang suasananya agak berbeda.Bagi warga asing yang ingin salat Jumat di masjid semua wajib menunjukan identitasnya lewat paspor. Mereka juga harus melewati x-ray.
"Saya rasa itu penting dan wajar," ucap dia.
Pemerintah Xinjiang merasa bahwa semua harus taat dengan atiran yang ada. Maksud memperketat keamanan di masjid karena semata-mata demi kepentingan semua warga baik lokal maupun asing.
"Semua pasti ada alasannya kenapa sebuah aturan diberlakukan," ungkap dia.
Menjelang bulan Ramadhan, aku juga pernah mendengar kabar warga muslim tak boleh berpuasa. Aku pun sempat menanyakan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Lantas apa jawabannya?
"Tidak dilarang untuk semua. Hanya untuk mereka yang kerja di pemerintahan. Mungkin takut mengganggu kinerja," jawab Zou.
Simak kisahku sebelumnya di sini: