Donald Trump Versus Dunia soal Polemik Yerusalem Ibu Kota Israel
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perlawanan dari berbagai arah membidik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sejak menyatakan komitmen pindahnya Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah AS pun dibumbui kecaman hingga bentrokan di penjuru dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah pidato di kantor Misi Israel untuk PBB di Washington, Selasa (28/11), Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan Trump fokus mempertimbangkan "kapan dan bagaimana" pemindahan dilakukan.
Pasalnya, Trump dikejar tenggat waktu yang jatuh pada Desember 2017 untuk memutuskan apakah akan memindahkan kedubes atau menangguhkannya lagi hingga enam bulan ke depan.
Belum sempat memutuskan, sejumlah petinggi negara mengecam langkah Trump tersebut. Di antaranya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang mengancam akan memutuskan hubungan Turki dengan Israel bila AS memindahkan kedubesnya.
Pihak yang paling dirugikan, Palestina , ikut mengais iba dari Rusia sampai Paus Benediktus, agar mereka kompak menolak rencana kontroversial Trump.
ADVERTISEMENT
Namun nyatanya niatan Trump tidak mudah goyah . Pada Kamis (7/12) Trump melontarkan pernyataan yang membuat dunia terasa bara.
"Saya telah menetapkan bahwa sekarang saatnya untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel," kata Trump di Gedung Putih seperti dikutip dari Associated Press (AP).
Melalui sebuah dokumen , AS meminta Israel untuk menahan diri dalam bersuka cita agar tidak semakin memicu kemarahan dunia.
Seakan percuma, dunia sudah kepalang geram. Setelah pernyataan tersebut, semakin banyak petinggi negara yang mencacat aksi Trump.
Kecaman dari Berbagai Pihak
Melalui Twitter, Presiden ke-25 Prancis Emmanuel Macron yang sangat menghargai perbedaan, mengatakan kalau Prancis tidak setuju dengan keputusan ini. Ia lebih mendukung untuk mencari solusi antara dua negara (Israel dan Palestina).
ADVERTISEMENT
Sementara, menurut Perdana Menteri Inggris, Theresa May, pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem seharunya tidak dilakukan.
Negara tetangga AS, Kanada, pun tidak tinggal diam. Perdana Menteri Justin Trudeau menegaskan Kanada tidak akan mengekor langkah Trump dengan memindahkan Kedubes Kanada ke Yerusalem.
Tidak hanya itu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi bahkan mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menggelar sidang terkait langkah semena-mena Donald Trump.
Bentrokan Tak Terelakkan
Pengakuan Trump terhadap Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel juga memicu amarah dari kelompok militan, Al-Nojaba . Mereka mengancam akan menyerang tentara AS yang berjumlah sekitar 5.262 personel di Irak.
ADVERTISEMENT
Kelompok Hamas di Gaza melalui pemimpinnya Ismail Haniya , juga menyerukan Intifada atau "kebangkitan" jilid tiga. Haniya menandaskan, peluncuran Intifada tidak akan berhenti sampai pembebasan Yerusalem dan Tepi Barat.
Sirine pun merauh dari beberapa titik di Israel usai tiga tembakan roket dari Jalur Gaza pada "hari kemarahan ", Jumat (8/12). Tidak tinggal diam, Israel langsung melancarkan serangan balasan dengan jet tempur dan tembakan dari tank.
Kondisi Palestina terkena imbasnya. Demonstrasi pecah di Tepi Barat, 49 warga lokal terluka setelah polisi Israel melakukan tindakan keras dalam membubarkan demonstran. Membuat suasana Palestina kian mencekam.
Menurut keterangan dari Kementerian Kesehatan Palestina, satu korban bernama Mohammed Al-Masri meninggal akibat bentrokan yang terjadi di daerah selatan Gaza.
ADVERTISEMENT
Hingga Senin (18/12) aksi protes di Palestina terus memakan korban. Seorang remaja bernama Mohammed Tamimi (14) koma setelah ditembak oleh tentara Israel dengan peluru karet dalam aksi demonstrasi di Tepi Barat.
PBB Hambat Langkah AS
Selain itu, DK PBB berencana melakukan voting terkait draf Resolusi yang membatalkan keputusan Donald Trump.
Diberitakan Reuters, Senin (18/12), beberapa diplomat yang menjadi anggota DK PBB disebut mendukung rancangan Resolusi ini. Namun tampaknya strategi ini akan diveto AS.
Benar saja, pada Selasa (19/12) AS menolak Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menarik keputusannya. Padahal, dari 15 anggota DK PBB, AS menjadi negara satu-satunya yang menolak resolusi tersebut.
Tapi tunggu dulu, sebab Palestina punya jurus lain untuk mewujudkan Resolusi yang sama melalui Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 orang. Langkah itu diambil karena AS tidak bisa memveto keputusan Sidang Majelis Umum. Namun sayangnya, Resolusi melalui jalur ini tidak mengikat secara hukum.
ADVERTISEMENT
Voting di Sidang Majelis Umum PBB pada Kamis (21/12) menjadi kemenangan besar bagi Palestina. Lobi-lobi Israel dan AS gagal total, 128 negara terang-terangan mendukung Resolusi yang menolak pengakuan Trump soal Yerusalem.
Hasil total ada 128 negara yang mendukung Resolusi, sembilan negara menolak, dan 35 negara abstain. Hasilnya memang tidak mengikat secara hukum, tapi cukup membuat AS berang.
Sampai-sampai Trump mengancam akan memotong bantuan keuangan bagi negara-negara yang memilih rancangan Resolusi PBB.
"Mereka mengambil ratusan bahkan miliaran juta dolar, dan kemudian mereka memberikan suara menentang kita. Baiklah, kita lihat pilihan mereka itu. Biarkan mereka memberikan suara melawan kita. Kita akan menghemat banyak uang, kita tidak peduli," kata Trump di Gedung Putih seperti dikutip dari Reuters, Kamis (21/12).
ADVERTISEMENT
Mengutip pernyataan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana , Resolusi menjadi babak baru dari penentangan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dunia perlu merumuskan apa tindakan selanjutnya atas AS dan Israel usai resolusi PBB tersebut.
Pertama, pemimpin dan tokoh dunia menyerukan agar AS tunduk pada resolusi PBB karena itu adalah suara mayoritas dunia. Kedua, atas dasar perdamaian, pemimpin dan tokoh dunia menghimbau kepada para politisi AS, termasuk mantan presiden, untuk mengingatkan Trump pengaruh Resolusi MU PBB terhadap kepemimpinan AS.
"Bukannya membuat America Great Again tetapi Make America Worst," tutup Hikmahanto.