Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tanggal 19 Mei, 19 tahun lalu, Soeharto menyadari kekuasaannya tinggal seujung kuku --bisa lepas kapanpun, tinggal tunggu waktu. Kala itu situasi negara sudah kacau balau. Kerusuhan merebak di mana-mana, dan ribuan mahasiswa demonstran menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Hari itu, Soeharto memanggil 9 tokoh Islam: Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saat itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, budayawan Emha Ainun Nadjib, Nurcholish Madjid selaku Rektor Universitas Paramadina, Ali Yafie sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, Achmad Bagdja dan Ma’ruf Amin dari NU, Abdul Malik Fadjar dan Sumarsono dari Muhammadiyah, Yusril Ihza Mahendra selaku Guru Besar Hukum Tata Negara UI, dan KH Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia.
Kesembilan tokoh Muslim tersebut, selama dua jam lebih, memaparkan situasi terkini saat itu kepada Soeharto: rakyat ingin dia mundur.
Dihadapkan pada kenyataan tak terelakkan, Soeharto mengusulkan pembentukan Komite Reformasi dan berencana merombak kabinet. Kabinet Pembangunan VII hendak ia ganti menjadi Kabinet Reformasi.
ADVERTISEMENT
Komite Reformasi akan terdiri dari unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan pakar. Mereka bertugas merampungkan penyusunan Undang-Undang Pemilu, UU Kepartaian, UU Susunan dan Kedudukan MPR DPR dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Rencana itu sepintas tampak realistis, sebab reformasilah yang memang diinginkan rakyat.
Maka usai pertemuan maraton sepanjang pagi hingga siang itu, Soeharto menggelar konferensi pers, menyatakan tak keberatan untuk mundur dari jabatan presiden.
“Bagi saya, sebetulnya mundur dan tidak itu tidak menjadi masalah. Yang perlu kita perhatikan, apakah dengan kemunduran saya kemudian keadaan akan segera bisa diatasi. ... saya sebagai Presiden, Mandataris MPR, akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin,” ujar Soeharto.
Pada bagian akhir pidatonya, Soeharto kembali menegaskan bahwa tak menjabat presiden sama sekali bukan soal baginya.
ADVERTISEMENT
“Dalam bahasa Jawa, tidak menjadi Presiden, tidak patheken. Kembali menjadi warga negara biasa tidak kurang terhormat dari presiden asalkan bisa memberikan pengabdian kepada negara dan bangsa. Jadi, jangan dinilai saya sebagai penghalang. Tidak sama sekali. Semata-mata karena tanggung jawab saya.”
Niat membentuk Komite Reformasi yang terlihat realistis itu hanya menemukan satu kendala: rakyat, mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR, tak peduli dengan apapun rencana Soeharto karena yang mereka inginkan adalah Soeharto mundur, bukan justru ia yang memimpin reformasi terjadi.
Respons negatif atas rencana Soeharto menguat ketika sore harinya, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Industri Ginandjar Kartasasmita, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Mohammad (Bob) Hasan, serta Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng menghadap Soeharto untuk membawa kabar buruk dari sektor ekonomi.
ADVERTISEMENT
Laporan dibuka dengan informasi soal kerusakan jaringan distribusi ekonomi akibat aksi penjarahan dan pembakaran pusat-pusat perbelanjaan oleh massa. Disusul kabar bahwa beberapa peminat saham BUMN menyatakan mundur, dan akhirnya disampaikan bahwa para ekonom senior bereaksi negatif atas rencana pembentukan Komite Reformasi dan perombakan kabinet.
Kedua hal itu, menurut sejumlah ekonom kawakan Indonesia, merupakan tindakan mengulur-ulur waktu.
Keesokannya, 20 Mei, Soeharto ditinggalkan para menterinya. Inilah saat ia memulai masa-masa sunyi seperti yang dahulu dialami Sukarno saat kekuasaannya diambil alih dan dicerabut perlahan oleh Soeharto.
Di Gedung Bappenas, 14 menteri bidang ekonomi dan industri menggelar pertemuan dan sama-sama bersepakat untuk tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi atau Kabinet Reformasi bentukan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Mereka tahu betul, arah angin sudah berubah. Opsi apapun bersama Soeharto bukan lagi pilihan. Orde Baru segera tamat.
14 menteri itu lantas berkirim surat kepada Soeharto --yang kemudian dibaca Soeharto dengan perasaan terpukul.
Surat itu, pada alinea pertama, sudah langsung menyatakan secara tersirat bahwa Soeharto harus mundur.
Tahu badai telah datang, Soeharto menerima takdirnya. Ia mundur esok harinya, 21 Mei, diiringi gemuruh sukaria ribuan mahasiswa di Gedung MPR/DPR. Bangunan itu seperti hendak roboh diguncang ledakan pekik-gaung yang muncul serentak.
“Ia (Soeharto) merasa dikhianati. Ia ditinggalkan oleh teman-teman dan mereka yang ia percaya selama ini. Ini melukai perasaannya. Sejumlah 14 menteri yang mundur membuat Soeharto berpikir: mereka tidak memerlukan saya lagi, jadi mereka mencampakkan saya,” tulis Jusuf Wanandi dalam bukunya,
ADVERTISEMENT
Keempat belas menteri yang meninggalkan Soeharto itu ialah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Gri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Meski Soeharto merasa dikecewakan, sikap 14 menteri itu --yang melihat tak ada lagi masa depan bagi pemerintahan Soeharto-- cukup wajar mengingat keadaan negara saat itu bergolak tak keruan, dengan sentimen pasar negatif di sana-sini.
Jusuf Wanandi lebih lanjut dalam bukunya menyebut “para menteri itu munafik.” Secara khusus ia menyoroti Harmoko, mantan Menteri Penerangan Soeharto yang kala itu menjabat Ketua DPR/MPR.
“Ketua DPR Harmoko, beberapa bulan sebelumnya mengatakan setelah Safari Ramadhan, yaitu lawatan ke daerah-daerah, bahwa rakyat menganggap tidak ada tokoh lain yang dapat memimpin negara ini kecuali Soeharto. Setelah kerusuhan bulan Mei terjadi, ia mengatakan bahwa Soeharto harus pergi karena rakyat menolaknya.”
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi pers 19 Mei atau dua hari sebelum kejatuhannya, Soeharto menyinggung soal mereka, yang sebelum rusuh merebak, menyebut ia masih mesti menjabat.
Soeharto mengatakan, sebelum ia dilantik menjadi presiden lagi pada Sidang Umum MPR Maret 1998, ia sudah bertanya kepada seluruh kekuatan politik --Golkar, PDI, PPP, ABRI-- apakah rakyat masih menghendakinya memimpin negara.
“Apa benar rakyat Indonesia masih percaya pada saya, karena saya sudah 77 tahun. Agar dicek benar-benar daripada semuanya itu. Kalau iya, baiklah, tentu saya terima dengan rasa tanggung jawab. Jadi, saya terima (jabatan presiden) bukan karena kedudukannya, tetapi karena tanggung jawab. Lebih-lebih saat kita menghadapi kesulitan akibat berbagai krisis. Rasa-rasanya kalau saya tinggal begitu saja, lantas bisa dikatakan tinggal gelanggang colong playu --artinya meninggalkan keadaan yang saya masih harus turut bertanggung jawab.”
ADVERTISEMENT
Rekan lain yang dianggap Soeharto berkhianat adalah Habibie. Pada pidato 19 Mei, Soeharto mengungkapkan keraguan untuk menyerahkan jabatan kepada Habibie, wakil presidennya.
Jika ia mundur, kata Soeharto, berarti jabatan presiden mesti diserahkan kepada wakil presiden. “Apakah ini jalan penyelesaian masalah dan tidak akan timbul masalah lagi. (Bagaimana jika) nanti Wakil Presiden juga harus mundur lagi. Kalau begitu terus-menerus, itu menjadi preseden. Dengan sendirinya, negara dan bangsa akan kacau…”
Atas ucapan Soeharto itu, Habibie rupanya tak sepakat, dan menyatakannya secara blakblakan kepada Soeharto.
“Habibie protes terhadap komentar Soeharto yang mengatakan Habibie tidak dapat menggantikannya. Padahal kenyataannya, Habibie adalah wakil presiden. Sesuai konstitusi, ia yang harus mengambil alih apabila presiden berhalangan,” tulis Jusuf Wanandi.
ADVERTISEMENT
Pendiri CSIS itu mengatakan, “Soeharto merasa dikhianati oleh Harmoko dan Habibie, sehingga dia tidak pernah mau menemui mereka lagi setelah ia turun dari jabatan.”
Bahkan beberapa tahun berselang saat kesehatan Soeharto kritis menuju sekarat, Habibie yang menyempatkan diri datang dari Jerman untuk menengoknya di rumah sakit, pada akhirnya tak dapat menjumpainya.
“Seluruh keluarga Soeharto melarang Habibie untuk bertemu Soeharto. Harmoko lebih cerdas untuk tidak datang sama sekali ke rumah sakit.”
Habibie mengakui penolakan Soeharto bertemu dirinya. Tahun 2015, dalam sebuah wawancara, Habibie menceritakan upaya dia menjenguk Soeharto terpaksa kandas.
“Saat itu saya dan Bu Ainun dalam kondisi kurang sehat. Kami terbang dari Jerman untuk menengok Pak Harto yang sakit. Turun pesawat, kami langsung ke RSPP, tak mampir dulu ke rumah. Begitu sampai RSPP, kami tak diizinkan menemui beliau. Saya sudah mencoba. Tapi karena tidak bisa, ya sudah. Saya dan Bu Ainun langsung kembali ke bandara dan terbang lagi ke Jerman,“ ujar Habibie.
ADVERTISEMENT
Nada getir terdengar saat Habibie bercerita. Ia bahkan tak pergi ke mana-mana setibanya di Indonesia, dan malah langsung kembali ke Jerman, karena satu-satunya tujuan dia ke Indonesia ketika itu ialah menjenguk Soeharto --dan gagal.
“Saya tetap dan selalu hormat pada Pak Harto,“ tegas Habibie.
“Soeharto meninggalkan pemerintahan begitu saja. Setelah ia mundur pada pagi hari 21 Mei 1998, ia pulang ke rumah dan mengumpulkan semua anggota keluarganya. ‘Kita akan menghadapi masa sulit. Persiapkan diri. Ini tidak mudah, kalian harus kuat,’” demikian tulis Jusuf Wanandi dalam bukunya.
Di akhir kekuasaannya, ujar Jusuf, Soeharto juga mundur seperti Sukarno.
“Karakter Soeharto tentu sangat berbeda dari Bung Karno. ... Namun Soeharto juga mundur ketika merasa ada kemungkinan terjadinya pertumpahan darah antara Angkatan Darat --yang sebagian dikendalikan oleh menantunya (Prabowo)-- dan para mahasiswa. Pada akhirnya, perbedaan di antara kedua presiden ini tidak banyak.”
ADVERTISEMENT
Soeharto, akhirnya, menapaki sunyi yang dirasa Sukarno.