7 Tokoh yang Disapa dan Dikenang kumparan di 2017

31 Desember 2017 20:55 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi waktu (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi waktu (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Tahun berganti, zaman beralih. Dan tiap masa, tiap bidang, memiliki tokohnya.
ADVERTISEMENT
Terdapat ragam sosok yang kami kisahkan sepanjang 2017. Namun, tujuh ini kami pilihkan di pengujung tahun tanpa mengurangi peran penting figur lainnya.
Selamat Tahun Baru!
1. Halim Perdanakusuma sang Prajurit Langit (10 Januari)
Halim Perdanakusuma. (Foto: Dok. Keluarga Halim Perdanakusuma)
zoom-in-whitePerbesar
Halim Perdanakusuma. (Foto: Dok. Keluarga Halim Perdanakusuma)
Halim Perdanakusuma, prajurit Angkatan Udara Republik Indonesia, pada satu masa bagai memiliki nyawa ganda. Saat bergabung dengan Angkatan Udara Britania Raya, dia selalu selamat dalam tiap misi yang dijalaninya.
Ketika itu Perang Dunia II melanda jagat. Nyawa prajurit bak barang murah, melayang dengan mudah. Tapi Halim senantiasa berhasil membawa seluruh pesawat yang ia navigasikan, kembali ke pangkalan dengan selamat.
Pernah waktu skuadronnya dalam perjalanan menuju ke pangkalan di Inggris, mereka dicegat oleh pesawat-pesawat bersenjata roket. Pesawat Halim dibombardir roket. Tapi ia lolos.
ADVERTISEMENT
Keberuntungan berulang itu membuat Halim muda dijuluki The Black Mascot alias Jimat Hitam oleh kawan-kawan penerbang Inggris-nya, merujuk pada kulit berwarna Halim.
Ia dianggap sebagai pembawa keberuntungan dan keselamatan bagi skuadron tempurnya.
Namun keberuntungan itu berhenti di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia, 14 Desember 1947. Pesawat yang dibawa Halim dan rekannya, Iswahjudi, terjebak cuaca buruk dan jatuh.
***
Rangkaian kisah tentang Halim Perdanakusuma termasuk salah satu liputan khusus pertama kumparan. Sempat diwarnai diskusi alot pada proses finalisasi, Wisnu Prasetyo dan Ulfa Rahayu akhirnya merampungkan laporan mereka dari hasil riset dan wawancara dengan keluarga Halim.
ADVERTISEMENT
2. Wiji Thukul: Melawan dan Menghilang (19 Januari)
Wiji Thukul muda membawa buku puisi Aku karya Chairil Anwar ke mana-mana, dan meneriakkan isinya saban hari dengan suara sengau di sana-sini.
Teman-teman sekelas Thukul ingat betul dengan kelakuan nyeleneh kawan badung mereka itu --yang kini lenyap ditelan bumi.
“Ingatanku pasti. Thukul teriak-teriak, alah, tiap hari. Dia kan penggemar Chairil Anwar. Itu lho yang ‘ingin hidup seribu tahun lagi,’ Yang paling sering dibacakan ya puisi itu (Aku),” kata Suparno, teman sekelas Thukul di SMP Negeri 8 Surakarta, Jawa Tengah.
Pujangga Chairil Anwar yang lahir 41 tahun sebelum Thukul, dan wafat 14 tahun sebelum Thukul lahir, menjadi salah satu sumber inspirasi Thukul --yang kemudian tumbuh menjadi penyair pemberontak.
ADVERTISEMENT
***
Bertepatan dengan pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata di bioskop-bioskop 12 kota, kami menurunkan rangkaian kisah tentang Wiji Thukul. Oh tentu, sudah amat banyak cerita tentangnya, dan itu bagus.
Seperti film Istirahatlah Kata-Kata --yang mengisahkan pelarian Thukul saat diburu tentara, berbagai cerita teks tentangnya menandakan: Thukul tak dilupa. Ia, tanpa keberadaan wujud fisiknya, menggaungkan suara nyaringnya melintasi masa.
Anggaplah kami mujur, sebab ayah Tio Ridwan--wartawan kumparan berwajah bulat ramah namun keras hati--ternyata kawan sekelas Thukul. Alhasil, kami mendapat cerita cukup menarik untuk menggambarkan seperti apa Thukul muda.
Tio, bersama Utomo Priyambodo, lulusan Teknik Pertambangan ITB yang saat ini melabuhkan hati pada kerja jurnalistik, dan Ardhana Pragota yang menemui keluarga dan kawan Thukul, lantas menyusun cerita demi penghormatan terhadap api semangat Thukul.
ADVERTISEMENT
Ini juga termasuk salah satu laporan pertama kumparan yang menggunakan motion grafis. Tim Visual--Rina Nurjanah (yang kini bergabung dengan Tim Lipsus), Ridho Robby, Syarifah Sadiyah (yang kini telah bergeser ke tempat baru)--dibantu Mateus Situmorang yang serbabisa dari Departemen Brand-comm, bekerja sama mewujudkan motion grafis perdana mereka di kumparan.
3. Lika-liku Hidup Benyamin Sueb (5 Maret)
Ilustrasi Benyamin Sueb (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Benyamin Sueb (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Roda takdir seseorang bisa berubah cepat dan tak terduga. Siapa bisa menyangka?
Benyamin cilik misalnya, yang menjadi yatim sejak umur 2 tahun, mungkin tak pernah mengira ngamen yang biasa dilakukannya sejak kecil, membuatnya menjadi penyanyi terkenal ketika sudah dewasa.
ADVERTISEMENT
Kisah Benyamin kecil yang sering ngamen di sekitar rumahnya dengan menyanyikan lagu Sunda Ujang-ujang Nur sudah diketahui banyak orang. Tak hanya itu, bungsu dari 8 bersaudara itu pun mengajak kakak-kakaknya membentuk kelompok mengamen.
Orkes Kaleng, itulah nama kelompok yang dibuat oleh Benyamin S. Diberi nama Orkes Kaleng karena alat-alat yang digunakan berasal dari barang-barang bekas. Bisa dibilang, itulah salah satu inovasi yang dilakukan Benyamin cilik.
Beranjak dewasa, Benyamin berpindah-pindah kerja. Mulai dari tukang roti dorong, kondektur bus PPD (1959), pegawai bagian amunisi Angkatan Darat (1959-1960), hingga kena PHK ketika bekerja di PD Kriya Jaya (1960-1969).
Meski sambil berpindah kerja, kegiatan bermusiknya tetap berjalan. Ben bergabung dalam kelompok musik Melody Boys sejak 1957. Dia menempati posisi penyanyi latar dan pemain bongo dalam grup band tersebut.
ADVERTISEMENT
Formasi lengkap grup itu dikutip dari buku Kompor Mleduk, terdiri dari A. Rachman sebagai pemimpin dan gitar melodi, sementara bagian vokal diisi oleh Pepen Effendi, Eli Srikudus, Rachmat Kartolo, dan Yoyok Jauhari.
Bertahun kemudian, atas dorongan Bing Slamet, Ben masuk dapur rekaman dan mulai menyanyikan lagunya sendiri.
***
Memperingati hari lahir Benyamin Sueb, Rina Nurjanah--yang kala itu sedang gencar belajar menulis, Ridho Robby, dan Syarifah Sadiyah menyusun liputan khusus tentang sang musisi legendaris Betawi. Berikut kisah lengkapnya.
ADVERTISEMENT
4. Chairil Anwar: Totalitas dan Konsistensi dalam Berkarya (28 April)
Chairil Anwar, sastrawan Indonesia. (Foto: M. Faisal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Chairil Anwar, sastrawan Indonesia. (Foto: M. Faisal/kumparan)
Membicarakan kesusastraan Indonesia, puisi modern khususnya, tak akan lepas dari Charil Anwar. Puluhan tahun setelah Chairil Anwar dimakamkan di Karet, Jakarta, kutipan-kutipan puisinya justru makin hidup. Kata-katanya yang lugas menjelma macam pepatah.
Puisi Chairil Anwar seperti pemberontakan terhadap rima, metrum, dan perhitungan jumlah suku kata yang begitu apik pada masanya. Chairil bisa hadir dengan satu kata, atau memilih pilihan kata yang justru tak biasa.
Gebrakan yang dia coba lakukan itu menjadi dasar, landasan-landasan puisi modern Indonesia. Bahkan Sapardi Djoko Damono menuliskan dalam penutup Aku Ini Binatang Jalang--buku kumpulan puisi Chairil Anwar, puisi Chairil seperti datang dari masa depan.
***
ADVERTISEMENT
Bertepatan dengan hari kematian Chairil Anwar, Rina Nurjanah dan Utomo Priyambodo membedah lagi sosok dan karya sang pujangga--yang dua pekan sebelumnya diusulkan menjadi pahlawan nasional.
5. Ibu Tien sang Pilar Penopang Soeharto (28 April)
Bu Tien dan Pak Harto saat kunjungan kerja (Foto: soeharto.co)
zoom-in-whitePerbesar
Bu Tien dan Pak Harto saat kunjungan kerja (Foto: soeharto.co)
Ibu Tien jelas memengaruhi kehidupan lelakinya yang menguasai Indonesia selama 32 tahun. Sedari awal, secara langsung atau tak langsung, ia ikut mendorong Soeharto mencapai puncak jabatan.
Hal tersebut setidaknya terlihat dari kesaksian yang diceritakan kembali oleh harian Berita Buana pada 24 Maret 1973. Alkisah pada tahun 1950, Soeharto hendak berhenti dari kesatuannya. Ia mengaku tak tahan atas fitnah-fitnah yang datang menerpa dirinya, walau tak jelas apa masalahnya. Itu cukup serius sampai-sampai membuat Soeharto ingin berhenti dari ketentaraan. Ia ingin menjadi petani atau sopir taksi.
ADVERTISEMENT
Ibu Tien lalu angkat suara. “Saya dulu diambil istri oleh seorang prajurit dan bukan oleh supir taksi. Seorang prajurit harus dapat mengatasi setiap persoalan dengan kepala dingin walaupun hatinya panas,” ujar Bu Tien, seperti dikutip dari Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita.
Perempuan berwajah ramah dengan lesung pipit itu mungkin tak diingat sesering sang suami, Soeharto. Namun “kesaktian”-nya dalam menopang kokoh Soeharto tak perlu dipertanyakan lagi.
***
Pada hari berpulangnya Ibu Tien, Tio Ridwan dan Maria Sattwika menurunkan rangkaian kisah mengenai sosoknya. Selain bertopang pada riset, Mbak Tutut, putri sulungnya, membagikan kenangan tentang sosok sang ibu yang ngangeni kepada Yufienda Novitasari.
ADVERTISEMENT
6. Menemui Sapardi di Juni Basah Miliknya (19 Juni)
Sapardi Djoko Damono. (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sapardi Djoko Damono. (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
Menemui Sapardi adalah ikhtiar untuk mengabadikan fragmen hidup salah satu penyair terbesar Indonesia dalam 50 tahun terakhir itu.
Lihatlah bagaimana puja-puji terucap bagi Sapardi: Goenawan Mohamad pernah berkata, “Puisi-puisinya harus (karena layak) dicemburui,” Andries Teeuw berujar puisi-puisi Sapardi “Sangat mengejutkan dalam segala kesederhanaannya,” dan Slamet Rahardjo dengan lugas berujar bahwa Sapardi, “Seperti puisinya saja, sederhana tapi mantap.”
Sapardi disebut-sebut telah memperbarui dunia sastra Indonesia. Ia menjadi penengah konvensi dan avantgardisme sastra, menjadi titik moderat di antara dua kutub (dulu Lekra vs Manikebu) yang pada suatu masa pernah saling berebut panggung.
Saking berpengaruhnya, puisi-puisi Sapardi disebut-sebut menjadi pijakan bagi ribuan sastrawan lain yang lahir setelahnya untuk menemukan gaya bahasa mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
***
Tio Ridwan sudah lama mengagumi Sapardi, dan menemuinya macam mimpi mewujud nyata. Tak perlu dikatakan betapa senang hatinya, sampai-sampai cemas apa yang ia tuliskan tak bakal sesuai ekspektasi. Setelah didera demam dadakan dalam proses menulis, beginilah kisahnya mengalir.
7. Menyelami Semesta Magis Danarto (18 November)
Sejak publikasi cerita pendeknya, Danarto mulai dikenal luas sebagai seorang penulis, bukan sekadar pelukis. Namanya kian diperhitungkan melalui cerita-cerita pendek lainnya yang kemudian dibukukan. Buku kumpulan cerita pendek Danarto yang pertama terbit pada 1975 berjudul Godlob.
ADVERTISEMENT
Dibanding melukis, menulis cerita pendek bagi Danarto jauh lebih sederhana dan tidak memerlukan modal banyak. Menulis sering kali ia kerjakan ketika lukisan-lukisannya tidak laku dijual--sementara pundi-pundinya sudah surut untuk membeli keperluan melukis.
“Kalau sastra itu gampang, cuma beli kertas satu rim dengan satu bolpoin sudah jadi cerpen dan puisi. Kalau cerpen gagal, hanya diremas-remas kertas itu, (lalu) dibuang. Tapi kalau kanvas misalnya, sudah bertube-tube cat tertumpah di situ,” ujar Danarto.
Setiap kali mulai menulis, Danarto tak memiliki bayangan apa-apa. Menulis saja. Bakat seni lukisnya justru terbawa ketika ia menulis.
“Saya menulis sastra sebenarnya seperti melukis,” ujarnya.
***
Wandha Nur sempat mengurung diri di kamar dan tenggelam bersama berbagai tulisan Danarto untuk menyelami alam pikir sastrawan yang disebut Goenawan Mohamad sebagai “pelopor realisme magis di Indonesia” itu.
ADVERTISEMENT
Kami bertamu ke kediaman Danarto dan mengundangnya bermain ke kumparan untuk mengetahui kondisinya kini. Ada selentingan menyebut keadaan Danarto sekarang tak terlalu baik, dan begitulah memang.
Danarto sama sekali tidak menyembunyikan kesulitan-kesulitannya, namun pula tak mengeluhkan apapun. Ia teguh meyakini hidup ini cobaan Yang Kuasa, dan tak ada lain yang mesti dilakukan kecuali menjalani sebisanya--dan tetap bertawakal.
Beginilah seorang Danarto kami coba kisahkan dalam beberapa bagian, dilengkapi motion grafis apik dari Muhammad Faisal.
Pada akhirnya, setiap orang punya cerita, setiap orang adalah “pendongeng”.