Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Hasil Reportase Se-Nusantara: Semrawut Melulu Spanduk Kampanye Pemilu
11 Maret 2019 17:35 WIB
Diperbarui 20 Maret 2019 20:08 WIB
ADVERTISEMENT
Satu hal yang selalu menjadi penanda berlangsungnya Pemilu Legislatif (Pileg): menjamurnya alat peraga kampanye (APK) di ruang-ruang publik. Umumnya menampilkan wajah, nama, logo partai politik, nomor urut, hingga slogan calon anggota legislatif (caleg).
ADVERTISEMENT
Media kampanye tersebut kerap mengotori pemandangan kota karena kesemrawutannya. Beberapa di antaranya bahkan mengganggu hak pengguna jalan hingga merusak lingkungan.
Kesemrawutan itu melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu yang mencakup jenis, ukuran, hingga lokasi pemasangan APK. Pasal 30, misalnya, melarang APK ditempel di jalan-jalan protokol, sarana dan prasarana publik, hingga di taman dan pepohonan.
Hasil liputan media-media lokal yang menjadi partner kumparan memotret fenomena semrawutnya APK para caleg di daerah mereka.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) rata-rata mencopot ratusan hingga ribuan APK yang dipasang karena melanggar aturan. Di Mamuju jumlahnya mencapai 980 APK, di Malang sekitar 1.200 APK, dan di Solo sekitar 2 ribu APK.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus, pencopotan APK berbuntut panjang kepada tindak kekerasan seperti di Surabaya, yakni Satpol PP dianiaya orang usai mencopot APK. Diduga orang tersebut tersinggung karena APK yang dicopot merupakan milik caleg yang didukungnya.
Beberapa caleg pemilik APK biasanya berdalih pemasangan dilakukan pendukung atau tim suksesnya. Sejumlah caleg lain menyiasati agar APK mereka tidak dicopot dengan memasangnya di warung makan dan rumah warga, seperti caleg Partai Solidaritas Indonesia di Surabaya. Ada pula yang memilih tidak menggunakan APK di ruang publik untuk berkampanye, seperti caleg di Sulawesi Tenggara.
Lalu ada seorang caleg di Gorontalo memilih menggunakan karung bekas sebagai media spanduk kampanyenya, ketimbang harus membuatnya secara modern dengan menggunakan jasa percetakan karena tidak memiliki biaya kampanye yang besar. Hal ini bukan isapan jempol belaka, sebab ada seorang caleg di Malang bahkan bisa menghabiskan Rp 500 juta untuk biaya kampanye.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, beberapa warga Jambi menyatakan tak ingin memilih caleg yang melanggar aturan soal APK. Mereka menganggap caleg yang melanggar aturan itu akan lebih berani melanggar berbagai aturan lain jika terpilih. Warga juga mengeluh APK itu tetap terpasang meski Pemilu sudah usai.
Hasil peliputan media partner kumparan ini menunjukkan betapa mudah kemerdekaan warga untuk menikmati ruang publik direbut saat Pemilu. Dosen Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko, menyebut pemasangan atribut kampanye sebagai bentuk terorisme visual.
“Jadi sekarang iklan politik menjadi bagian dari sampah visual. Bahkan dia sekarang sudah menjadi teroris visual karena mengganggu kemerdekaan visual di ruang publik. Sehingga mereka tidak bisa melakukan proses patembayatan (kebersamaan) sosial,” kata Sumbo.
ADVERTISEMENT
***
Berikut beberapa berita hasil reportase se-Nusantara yang dapat anda baca:
---
Anda juga bisa menyimak secara lengkap karya jurnalistik para partner kumparan soal semrawut spanduk pemilu dengan mengklik tautan topik ini: Reportase Se-Nusantara .