Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Seni Menjawab Pertanyaan di Momen Idul Fitri
31 Maret 2025 8:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rizal Mifthakul Prayogi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Idul Fitri adalah hari yang dinantikan oleh umat Muslim di Indonesia. Setelah menjalani ibadah puasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, hari kemenangan ini menjadi momen penuh sukacita yang sarat dengan makna spiritual dan sosial. Sebagai puncak dari perjuangan menahan hawa nafsu, Idul Fitri mengajarkan nilai-nilai keikhlasan, pengampunan, dan kebersamaan. Menjelang hari raya, umat Muslim berupaya meningkatkan ketakwaan melalui berbagai ibadah seperti puasa, salat malam, zakat fitrah, serta memperbanyak amal kebaikan. Selain itu, persiapan menyambut Idul Fitri juga mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi di setiap daerah, mulai dari tradisi mudik ke kampung halaman, penyajian makanan khas, hingga kebiasaan saling bermaafan yang menjadi ciri khas perayaan ini.
ADVERTISEMENT
Saat hari raya tiba, lantunan takbir berkumandang di setiap masjid dan mushola, menciptakan suasana syahdu dan penuh kebahagiaan. Aroma kue-kue khas Lebaran, seperti nastar, kastengel, dan ketupat sayur, mulai tercium dari rumah-rumah. Banyak keluarga yang sejak dini hari sudah sibuk menyiapkan hidangan spesial untuk disantap bersama setelah salat Idul Fitri. Di tengah euforia perayaan, momen berkumpul bersama keluarga besar menjadi hal yang paling dinantikan. Setelah sekian lama disibukkan dengan rutinitas masing-masing, Idul Fitri menjadi kesempatan untuk mempererat silaturahmi dengan sanak saudara dan sahabat lama.
Namun, dalam kebersamaan tersebut, ada pula fenomena sosial yang kerap terjadi, yaitu pertanyaan-pertanyaan seputar pencapaian hidup. Mulai dari "kapan menikah?" bagi yang masih lajang, "kapan lulus?" bagi yang masih menempuh pendidikan, hingga "kapan punya momongan?" bagi yang sudah menikah. Bagi sebagian orang, basa-basi semacam ini adalah cara mencairkan suasana dan mempererat hubungan. Namun, bagi yang ditanya, pertanyaan tersebut bisa menjadi beban tersendiri dan menimbulkan perasaan tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan berbasa-basi dalam budaya Indonesia memang memiliki peran penting dalam membangun hubungan sosial. Norma sosial yang kuat membuat pencapaian hidup seperti pendidikan, pekerjaan, pernikahan, dan memiliki keturunan menjadi tolok ukur tertentu di masyarakat. Budaya mudik dan silaturahmi saat Idul Fitri mempertemukan kembali keluarga besar yang mungkin sudah lama tidak berjumpa. Momen ini sering kali menjadi ajang berbagi cerita, mengenang masa lalu, serta bertanya tentang perkembangan hidup masing-masing anggota keluarga. Selain itu, dalam penelitian Muskinul Fuad menjelaskan bahwa tradisi memberi angpau kepada anak-anak juga menjadi bagian yang dinanti-nantikan dalam perayaan ini, menambah keceriaan dan kebahagiaan di hari yang istimewa.
Namun, tidak semua orang nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan pribadi tersebut. Oleh karena itu, persiapan mental menjadi hal yang penting untuk menghadapi berbagai interaksi sosial di hari raya. Menyikapi basa-basi dengan santai dan memahami bahwa hal tersebut merupakan bagian dari budaya bisa membantu mengurangi ketegangan. Lebih dari itu, penting bagi kita semua untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Idul Fitri bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang bagaimana kita saling menghargai, berbagi kebahagiaan, dan memperkuat hubungan dengan keluarga serta sesama. Perayaan ini mengajarkan nilai-nilai luhur tentang kasih sayang, kebersamaan, serta pentingnya menjaga tali silaturahmi. Dengan demikian, Idul Fitri menjadi momen refleksi, kebahagiaan, dan kesempatan untuk memulai lembaran baru dengan hati yang lebih bersih dan penuh rasa syukur.
Bagi yang ingin menghadapi pertanyaan-pertanyaan klasik dari saudara atau kerabat dengan cara yang unik, berikut adalah beberapa jawaban kreatif ala tokoh filsafat:
Kapan lulus?
Will to Power style
"Lulus adalah konsep yang diciptakan oleh mereka yang takut akan kebebasan berpikir. Aku tidak menunggu kelulusan; aku menciptakan jalanku sendiri!"
ADVERTISEMENT
Ubermensch style
"Lulusan biasa menerima gelar. Aku? Aku akan menciptakan gelar untuk diriku sendiri dan mendefinisikan makna keberhasilan dengan caraku!"
Eksistensi dan Kebebasan style
"Kelulusan bukanlah sekadar tanggal atau momen tertentu, melainkan pilihan yang harus kuambil sendiri. Aku bertanggung jawab atas jalanku, dan ketika waktunya tepat, aku akan menyelesaikannya sesuai dengan makna yang kutentukan sendiri."
Tanggung Jawab Pribadi style
"Aku percaya bahwa pendidikan bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi tentang bagaimana aku membentuk diriku sendiri. Kelulusan akan datang ketika aku merasa siap untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hidupku."
Kapan menikah?
Kapitalisme style
"Pernikahan adalah institusi yang dalam masyarakat borjuis sering kali ditentukan oleh kepemilikan dan warisan, bukan oleh cinta sejati. Saya berharap dapat melampaui hal itu”.
ADVERTISEMENT
Filosofis dan Ironis style
"Menikah? Saya telah menikah dengan realitas yang absurd dan penuh ironi. Mungkin saya menikah pada hari ketika kesadaran terhadap ketidakadilan sosial tumbuh, atau mungkin itu hanyalah mitos modern yang kita ciptakan untuk menghindari kekosongan eksistensial."
Dialektis style
"Sebenarnya, saya menikah dengan kontradiksi dan hasrat sejak lama waktu hanyalah konstruk ideologi. Tanggal tertentu? Itu hanyalah fiksi yang diciptakan oleh sistem kapitalis untuk menaklukkan waktu."
Kapan punya momongan?
Psikoanalisis alam bawah sadar style
"Pertanyaan yang menarik. Apakah keinginan memiliki anak benar-benar berasal dari diriku sendiri, atau ini adalah dorongan dari alam bawah sadar yang dipengaruhi oleh Oedipus complex dan tekanan sosial?"
Kritik kekuasaan dan struktur sosial style
ADVERTISEMENT
"Konsep ‘punya anak’ hanyalah konstruksi sosial yang berakar pada mekanisme kontrol biopolitik. Negara ingin kita punya anak agar bisa mereproduksi tenaga kerja dan mempertahankan sistem kekuasaan yang ada."
Dialog filosofis style
"Sebelum menjawab pertanyaanmu, biarkan aku bertanya: Apakah tujuan sebenarnya dari memiliki anak? Apakah itu untuk meneruskan garis keturunan, ataukah itu hanya ilusi yang diciptakan oleh masyarakat? Mari kita diskusikan."
Rasionalisme syle
"Aku berpikir, maka aku ada. Namun, apakah anak-anak juga harus berpikir untuk benar-benar ada? Sebelum menjawab kapan, kita harus memastikan bahwa memiliki anak adalah keputusan yang didasarkan pada rasionalitas, bukan sekadar emosi."
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan klasik ini secara kreatif, kita bisa menyikapi momen Idul Fitri dengan lebih santai dan menyenangkan tanpa mengurangi esensi dari silaturahmi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kamu mau pakai style dari siapa?